Memahami Amien Rais yang Tegur Muhammadiyah soal Kebebasan Memilih Saat Pilpres

muhammadiyah

MOJOK.CO – Seharusnya kita santai saja menanggapi pernyataan Amien Rais. Toh beliau juga tidak menyebut sama sekali pihak mana yang harus didukung oleh PP Muhammadiyah kok.

Bukan Amien Rais namanya kalau nggak bikin sesuatu yang viral. Usai perkara Ratna Sarumpaet yang bikin geger negeri ini, mantan Ketua MPR ini kembali jadi headline banyak kantor berita karena “ancam” Ketum PP Muhammadiyah soal sikap netral dalam Pilpres 2019 nanti.

Nggak main-main tentu saja, kata “jewer” mendadak jadi trending gara-gara Amien Rais menyebut, “Di tahun politik, tidak boleh seorang Haedar Nashir (Ketum PP Muhammadiyah) memilih menyerahkan ke kader untuk menentukan sikapnya di Pilpres. Kalau sampai seperti itu akan saya jewer.”

Amien Rais merasa Muhammadiyah tidak boleh membebaskan kadernya untuk memilih pemimpin dalam Pilpres. Muhammadiyah harus tegas memilih. Sikap netral barangkali bagi Amien bukanlah langkah yang strategis—mengingat Nahdlatul Ulama (NU) jelas-jelas cenderung bakal condong ke KH. Ma’ruf Amin.

Tak berselang lama, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengeluarkan pernyataan yang berseberangan dengan Amien Rais. Menurut IMM, sikap PP Muhammadiyah sudah sesuai dengan hasil Muktamar pada 1971 di Makassar soal independensi ormas Islam terbesar kedua di Indonesia ini dalam politik. Ada sikap jaga jarak dari Muhammadiyah ini agar ormas ini tidak dianggap sebagai kantong suara partai politik.

Memangnya apa sih yang dikhawatirkan oleh sosok Amien Rais dari keputusan PP Muhammadiyah ini?

Pilihan bersikap netral bagi Muhammadiyah tentu jadi kemunduran bagi politisi senior macam Amien Rais. Di saat ormas seperti NU secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan, Muhammadiyah tidak boleh dong nggak berpihak. Dari kacamata politik, ini jadi kerugian.

Meski PAN sendiri bukan cerminan langsung suara dari Muhammadiyah, layaknya PKB yang tidak otomatis mewakili suara NU, tapi sikap Muhammadiyah ini seperti mencederai PAN yang sudah bertaruh banyak untuk Pilpres kali ini.

Meski begitu, seharusnya orang-orang menanggapi santai saja pernyataan Amien Rais. Toh beliau juga tidak menyebut sama sekali pihak mana yang harus didukung oleh Muhammadiyah. Amien Rais juga cuma menyebut kisi-kisi.

Lebih baik pakai caranya Fahri Hamzah saja yang menanggapi pernyataan ini dengan cukup selo, “Tanya dulu ke beliau, apa ini ya, itu bercanda tingkat dewa itu.”

(((Bercanda Tingkat Dewa)))

Lagian juga Amien Rais cuma memberi ciri-ciri, pemimpin macam apa yang harus dipilih Muhammadiyah. Ciri-ciri versi Amien Rais yang bakal kita bedah satu demi satu:

  1. Tidak Suka Mengkriminalisasi Ulama
  2. Tidak Suka Bohong saat Berjanji
  3. Pemimpin Beriman.
  4. Tidak Diragukan Keislamannya.

Dari keempat kriteria ini, sepertinya Jokowi bakal bermasalah dalam soal “Tidak Suka Bohong saat Berjanji”. Bagi oposisi, Presiden Jokowi merupakan pemimpin yang sering ingkar janji. Mau perkara janji itu belum terealisasi dengan baik karena ada kondisi yang tidak memungkinkan, tetap saja hal itu dianggap sebagai bagian dari spektrum “ingkar janji”.

Lagian Jokowi juga sering dicitrakan sebagai sosok yang suka mengkriminalisasi ulama. Status tersangka Habib Rizieq atau Gus Nur misalnya, UUJ, ujung-ujungnya salah Jokowi juga.

Dari dua ciri-ciri itu saja, sudah jelas bahwa Amien Rais tidak menghendaki Jokowi dipilih oleh PP Muhammadiyah. Belum kalau mau mempermasalahkan soal “Alpatekah” Jokowi yang bisa masuk kategori “diragukan keislamannya”. Wah, makin komplet saja dosa Presiden kita satu ini.

Di sisi seberang ada sosok Prabowo Subianto yang tak pernah sekalipun pernah terlihat sebagai imam salat. Tentu itu tidak relevan jadi patokan untuk jadi pemimpin negeri. Apa urusannya soal ibadah privat dimasukkan sebagai kriteria memilih pemimpin. Wong itu kan urusan privat ya kan? Tapi demi mengikuti aturan main Amien Rais yang melekatkan kriteria tersebut ke Jokowi, ya kita juga harus adil juga untuk Prabowo. Ya terpaksa hal itu bisa dimasukkan dalam kategori “diragukan keislamannya”.

Kalau ada yang bilang pada kasus Ratna Sarumpaet, Prabowo bakal bermasalah dalam kategori “tidak suka berbohong”. Maka ini masih bisa diperdebatkan. Prabowo kan korban dari kebohongannya Ratna, beliau sama sekali tidak bohong kok ke publik. Ya kalau dianggap salah, anggap saja itu khilav. Meski begitu—sayang sekali—Prabowo bisa saja masuk pada kategori ini.

Pada sosok cawapres, ada sosok KH. Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Dua orang yang justru berada dalam empat kriteria ala Amien Rais. Tidak suka berbohong saat berjanji, ya jelas lha wong jadi wakil presiden saja belum.

Beda kasus mungkin untuk Sandiaga Uno yang memilih meninggalkan sumpah jabatannya saat jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta—hal yang sebenarnya juga pernah dilakukan Jokowi pada 2014 silam.

Berikutnya tidak suka mengkriminalisasi ulama, jelas dong. Baik KH. Ma’ruf Amin dan Sandiaga kan sama-sama ulama. Ya nggak mungkin dong ulama mengkriminalisasi ulama lain.

Lalu pemimpin beriman dan tidak diragukan keislamannya. Ya hal semacam ini nggak perlu lagi deh dipertanyakan untuk sosok sekaliber mantan Rais Aam PBNU dan (masih) santri post-islamisme.

Kalau soal Sandiaga yang nggak sengaja melompati makam Kiai Bisri Syansuri kan bukan termasuk melanggar akidah. Jadi ya nggak apa-apa, masa santri atau ulama nggak boleh salah? Kan beliau juga manusia tempatnya salah dan dosa juga.

Dari pembahasan tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kriteria Amien Rais untuk dipilih PP Muhammadiyah ini ada pada cawapres masing-masing kubu. Masalahnya, mau sesuai apa pun kriteria dengan cawapres kalau tidak ada pada capres kedua kubu, ya namanya fadli zonk dong. Lha wong yang mimpin nanti tetep presidennya kok, bukan wakilnya.

Dari hal ini maka disimpulkan bahwa Amien Rais jangan-jangan mau merekomendasikan kepada PP Muhammadiyah agar tidak memilih kedua calon alias GOLPUT aja.

Exit mobile version