MOJOK.CO – Meski reputasi Bus Sumber Kencono udah jadi kayak legenda, bagi saya bus ini menjadi terbaik karena pernah menyelamatkan hidup saya.
Ada kebanggaan tersendiri bagi seorang anak kecil yang menuju usia baligh ingin menunjukkan kalau dirinya sudah mandiri. Dari bisa beli mainan pakai uang tabungan sendiri, atau hal sepele macam bisa naik angkot sendirian tanpa ditemeni orang tua.
Keinginan semacam itu juga sempat muncul dari saya ketika masih jadi santri anyaran. Masih kinyis-kinyis sok-sokan mau pulang dari pesantren di kota Solo ke rumah saya di Jogja pada usia 11 tahun. Kalau anak kecil naik angkot mungkin itu hal biasa, tapi gimana kalau anak kecil naik bus antar-kota antar-provinsi sendirian?
Dalam usia sebocah itu, saya ingat pesan Emak ketika menitipkan saya di pondok pesantren.
“Nak, kalau besok kamu mau pulang ke Jogja, naik bus yang jalur surabayanan kayak Sumber Kencono aja ya? Jangan bus jalur Solo-Jogja. Biar lebih cepet sampai Jogjanya.”
Sebagai anak yang mencoba birrul walidain, saya mengikuti titah Emak tanpa tanya-tanya lagi. Saya pun naik bus Sumber Kencono dari Terminal Tirtonadi, Solo, dengan sangat percaya diri.
Di dalam bus legendaris itu, saya cukup tenang, sebab ada tiga kenangan kolektif soal bus Sumber Kencono jalur Jogja-Surabaya—setidaknya pada era 1990-an sampai awal 2000-an.
Pertama; bus Sumber Kencono merupakan bus paling kuenceng di habitatnya.
Meski sebenarnya kata “kuenceng” itu lebih ke arah ugal-ugalan. Wajar kalau bus ini lantas sering diplesetkan oleh orang-orang jadi bus Sumber Bencono atau bus Samber Nyawa. Namun, justru karena sisi seram sentimentil itu pula bus ini punya daya tarik, termasuk untuk saya yang masih bocah pada waktu itu.
Naik bus ini, kadang ada aura cepirit-cepiritnya karena saking memacu adrenalinnya. Selain itu, bus ini juga memacu sifat religius penumpangnya (terutama kalau duduk di belakang sopir), soalnya bikin kita jadi ingat Gusti Allah terus-terusan karena dipontang-panting kayak kopyokan arisan.
Kenangan kedua: Bus Sumber Kencono relatif lebih murah dibanding kompetitor yang sejalur. Mungkin 11-12 dengan bus Mira waktu itu. Tapi dengan tawaran waktu tempuh yang lebih cepat, sebagai seorang santri yang uang sakunya mepet, bus ini jelas jadi pilihan.
Kenangan ketiga: hubungan sentimentil saya dengan bus Sumber Kencono seperti lanjutan cerita saya di awal tulisan.
Dalam perjalanan dari pesantren saya di Solo ke Jogja tadi, kebetulan saya berdiri di tengah. Saya tak ingat betul kenapa orang-orang pada cuek saja tidak memberi tempat duduk seorang bocah sendirian. Sedari awal, kernet bus memang memerhatikan saya. Bingung kali, kok ada anak kecil sendirian tanpa didampingi orang tuanya.
Kekhawatiran dari kernet bus itu pada kenyataannya terbukti ketika bus yang saya naiki itu keluar Terminal Tirtonadi. Tak sampai 15 menit, saya menyadari ada yang berbeda dengan bentuk jalanannya. Meski saya waktu itu belum hafal betul jalanan jalur Solo-Jogja, tapi saya tahu kalau ada yang keliru.
“Lah, kok kayaknya ini bukan jalan menuju ke Jogja ya?” batin saya bingung.
Lalu saya melihat kampus UNS, tak berapa lama saya lihat daerah Palur. Mampus, ini beneran keliru. Meski begitu, saya masih keras kepala. Ah, ini kan bus Sumber Kencono, bus ini kan harusnya ke Jogja?
Karena saya masih bocah, saya tak berani untuk bertanya ke kernet soal kecurigaan saya ini. Masih pura-pura tegar dengan kegoblokan itu semua.
Namun, bahasa tubuh yang bagi saya udah kelihatan tegar itu jebul ditangkap berbeda dengan kernet bus Sumber Kencono yang dari tadi kayak udah curiga melihat saya. Barangkali dari kacamata si kernet, saya ini sebenarnya udah pucat pasi dan tinggal keserempet kentut aja udah nangis.
“Adek, adek mau ke mana?” tanya si kernet sambil menghampiri saya.
Karena rasa takut kesasar jauh lebih besar ketimbang harga diri saya sebagai bocah soksokan mandiri, saya pun menangis tanpa menjawab satu patah kata pun pertanyaan Pak Kernet.
Terang saja, tangisan saya bikin penumpang seantero bus jadi bingung. Saya tak peduli, saya takut, dan terus nangis. Rasanya benar-benar jadi anak sebatang kara di Sinetron Indosiar dalam situasi itu.
“Ma, ma, mau ke Jogja, Pak,” kata saya sambil ngusap umbel satu demi satu.
“Oalah, salah naik bus, sampeyan ini, Dek,” kata Pak Kernet.
“Lah emang, emang, ini busnya mau ke mana to? Kok nggak, kok nggak ke Jogja aja?” tanya saya lagi terbata-bata kayak orang kena asma.
“Ini yang jalur ke Surabaya, Dek,” kata Pak Kernet.
Sebuah informasi yang justru semakin bikin pecah tangis saya. Imajinasi saya yang waktu itu masih bocah udah ke mana-mana.
Saya bakal jadi anak jalanan di Surabaya, bakal ngamen di perempatan, jualan koran di lampu merah, atau jadi anak terminal sekalian untuk bertahan hidup. Betapa malangnya nasib emak saya, mondokin anaknya di luar kota kok balik-balik udah jadi gali terminal.
Melihat tangis saya yang tak kunjung reda, Pak Kernet memberi tahu sopir untuk memberhentikan saya. Saya jelas makin khawatir lagi, ini saya mau dibuang di mana, Pak? Saya turun sama siapa?
Pak Kernet itu lantas bilang ke saya, “Dek, adek nggak usah nangis. Ini dicariin bus yang ke arah Jogja. Nanti tinggal naik aja.”
Karena merasa udah naik cukup jauh, saya masih mau ngasih ongkos ke Pak Kernet. Dijawab sederhana, tapi itu sangat membekas buat saya sampai sekarang.
“Nggak usah, dek. Dibawa aja duitnya. Buat bayar yang nanti aja ke arah Jogja,” kata Pak Kernet.
Akhirnya, ketika bus Sumber Kencono yang saya naiki ini papasan dengan bus Sumber Kencono lainnya. Saya dioper ke bus yang balik lagi ke arah Solo-Jogja. Mungkin langkah si kernet bus itu sederhana dan gampang saja, tapi bagi anak kecil kayak saya waktu itu, apa yang dilakukan kernet itu merupakan langkah rescue terbaik yang pernah saya alami.
Buat Pak Kernet Sumber Kencono yang pernah nolongin saya waktu itu, kalau panjenengan baca ini, matur sembah suwun sanget ya, Pak. Saya cuma nggak nyangka aja, Pak, urusan pilihan bus antar-kota antar-provinsi begini aja jebul bisa jadi sangat sentimentil kayak gini bagi saya.
BACA JUGA Menjadi Manusia Lemah di Dalam Bis Antarkota atau tulisan soal Bus Sugeng Rahayu lainnya.