Tagar Turunkan Jokowi Berkali-kali Coba Tunggangi Aksi Mahasiswa

MOJOK.CO – Hal yang dikhawatirkan oleh pendukung dan buzzer Jokowi itu memang nyata. Ada “tukang nebeng” aksi mahasiswa yang membawa pesan “Turunkan Jokowi”.

Sebelum aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta pada 23 September 2019, banyak sekali kekhawatiran kalau aksi mahasiswa menuntut pembatalan Revisi KUHP dan UU KPK serta mendesak pengesahan RUU PKS bakal ditunggangi banyak pihak.

Salah satu kekhawatiran dari pendukung Jokowi dan buzzer Jokowi adalah adanya sisipan pesan soal upaya menggagalkan pelantikan Presiden Jokowi. Kekhawatiran ini sah-sah saja, apalagi sejak aksi 22 Mei 2019 kemarin yang akhirnya beneran rusuh dan beneran ditunggangi. Para pendukung Jokowi pantas waswas melihat gerakan massa secara besar-besaran kali ini.

Kekhawatiran ini harus diakui benar-benar terwujud. Meski hanya menjadi riak-riak kecil, tapi patut diperhatikan. Paling tidak, hal ini terlihat ketika tagar #turunkanJokowi trending di Twitter pada malam setelah aksi di Gejayan, Yogyakarta.

Ismail Fahmi, pengamat media sosial dari Drone Emprit, memberi analisis yang cukup mudah dipahami bahwa “tukang nebeng” itu benar-benar muncul menunggangi tagar #GejayanMemanggil.

Dari infografis di atas, kita bisa melihat bagaimana “tukang nebeng” ini mencoba memanfaatkan situasi pada puncak acara #GejayanMemanggil. Dari sana pun terlihat betapa aksi mahasiswa ini merupakan kelompok yang berbeda dengan pengusung tagar turunkan Jokowi.

Paling tidak, hal ini juga sudah dikuatkan oleh perwakilan mahasiswa yang menggelar aksi di Jakarta sehari setelah aksi di Yogyakarta. Aksi mereka tak ada kaitannya dengan kepentingan elite politik atau perseteruan cebong dengan kampret.

“Itu sebenarnya kita juga sangat menyayangkan ketika elite-elite politik justru menunggangi dan mengambil kesempatan dari mahasiswa,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dino Ardiansyah.

“Jelas, substansi yang kita permasalahkan dari awal adalah masalah di RUU, bukan melengserkan atau menurunkan Jokowi,” tambahnya.

Di Yogyakarta, saya sendiri memang menyaksikan aksi ini memang beneran ada. Bahkan selain massa yang menyelipkan pesan agar Jokowi turun, ada juga massa yang membawa atribut “bendera tauhid” yang diduga berasosiasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kekhawatiran yang sebelumnya juga sempat disampaikan oleh pendukung dan buzzer Jokowi.

Akan tetapi, karena jumlahnya tak signifikan dan ada pesan juga dari mahasiswa soal pengesahan RUU PKS, massa beratribut “bendera tauhid” ini memilih balik kanan dan pergi begitu saja.

Ya wajar aja, bagi mereka RUU PKS adalah UU pro perzinaan, alih-alih UU yang bisa melindungi korban kekerasan seksual. Jadi kontraproduktif kalau sampai mereka “tertangkap basah” berada di tengah-tengah massa yang kepentingannya berbeda.

Di sisi lain, ketika saya pikir upaya menunggangi itu hanya muncul di Yogyakarta, ternyata upaya “tukang nebeng” ini juga muncul di mana-mana.

Ini salah satu contohnya:

Gelombang “tukang nebeng” ini memang tak main-main. Di tengah-tengah aksi desakan soal RUU, mereka terus berupaya mencuri panggung. Hal yang cukup wajar, mengingat belum tentu mereka bisa punya panggung sebesar ini ke depan. Kapan lagi bisa ikut eksis ya kan?

“Saya kira itu (isu turunkan Jokowi) bentuk pengalihan-pengalihan saja sehingga sebetulnya, soal ada isu-isu turunkan Jokowi, saya kira itu terlalu jauh,” kata Oce Madril, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM.

Oleh karena itu, seharusnya pendukung Jokowi tak perlu merasa khawatir berlebihan, yang ada harusnya malah mengapreasiasi gerakan organik ini. Aksi mahasiswa ini bukan turunan dari efek Pilpres 2019, bukan pula merupakan kumpulan massa barisan lawan politik seperti aksi 22 Mei.

Semua muncul karena ada kegelisahan mendalam dari RKUHP yang sedang dibahas dan akan disahkan DPR. Sebab dari sana, semua warga negara bisa berpotensi dikriminalisasi. Termasuk tentu saja para mahasiswa dan keluarga-keluarga mereka.

Uniknya, beberapa pendukung dan—bahkan—buzzer Jokowi ada juga yang berbalik mendukung aksi mahasiswa ini. Meski di tengah-tengah pesannya tetap mewanti-wanti agar aksi ini tidak ditunggangi untuk kepentingan lain.

Ketimbang hanya mewanti-wanti, sebenarnya akan lebih keren lagi kalau kalian juga ikut aksi. Kalau melihat ada yang tak beres dengan keputusan pemerintah maupun legislatif. Kritis terhadap segala keputusan DPR itu poin utama, tapi juga menuntut Jokowi untuk proaktif juga tak ada salahnya.

Bukan malah sendiko dhawuh, pejah gesang nderek Pakde. Padahal Pakde sedang tersandera sama kepentingan politik orang-orang di sekelilingnya.

Salah satu indikasi—misal—soal persetujuan Jokowi terhadap UU KPK. Undang-undang yang—salah satunya—menciptakan Dewan Pengawas KPK tetapi fungsinya jadi kayak Dewan Perizinan KPK. Dewan yang berhak menentukan izin untuk penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan terduga korupsi.

Ini jelas berseberangan dengan sikap Pakde sendiri soal rencana ingin menguatkan KPK kalau dirinya terpilih lagi menjadi Presiden ketika dulu kampanye Pilpres 2019. Lalu, ketika mahasiswa dan masyarakat menuntut janji itu, apa salahnya coba?

Udah deh. Jangan samakan massa aksi yang menggelar demo di mana-mana ini merupakan pihak yang membenci Jokowi—apalagi menggelar aksi hanya semata-mata karena jagoannya kalah. Meski pada praktiknya, aksi ini berkali-kali coba ditunggangi, tapi toh nyatanya pesan utama dan substansi pesan yang ingin disampaikan belum juga melenceng kok (semoga juga jangan melenceng sampai hari-hari ke depan).

Aksi ini menunjukkan bahwa masyarakat dan mahasiswa sekarang sudah jauh lebih cerdas ketimbang 2014 silam. Melihat sesuatu bukan pada sosok atau personal, melainkan kritis pada kebijakan. Hal itu yang bikin saya angkat topi setinggi-tingginya pada mahasiswa “angkatan 2019” ini.

Lalu untuk kalian para pendukung Jokowi garis keras, ingatlah bahwa seorang jokower senior, Iqbal Aji Daryono, pada 2014 pernah menitipkan pesan penting untuk kalian di masa sekarang. Pesan yang disampaikan 5 tahun silam. Pesan yang sangat relevan untuk kalian.

“Melulu mendukung segala langkah Jokowi tanpa sikap kritis bukan cuma memalukan, tapi juga berbahaya. Terkait hal ini, ingat-ingatlah nasihat seorang bijak: Akan datang suatu masa, ketika Jokowi dilemahkan justru oleh para jokower sendiri.”

Dan semoga saja “masa” yang dimaksud itu bukan masa sekarang.

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Buzzer Jokowi atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version