Kisah Rambat dan Pelayan Warteg Bernama Irma

Kisah Rambat dan Pelayan Warteg Bernama Irma

Kisah Rambat dan Pelayan Warteg Bernama Irma

Sebagai seorang anak kos, Rambat hampir selalu bisa menahan lapar. Maklum, menahan lapar adalah filosofi hidup pertama yang harus dimiliki oleh anak kos. Tak terkecuali Rambat. Jatah makan manusia normal yang tiga kali sehari bisa direduksi oleh Rambat menjadi sekali sehari. Namun, sejak seminggu terakhir ini, ada rasa yang membuat lapar dan dahaga itu tak bisa ditahan-tahan lagi walau sekejap. Begitu lapar sedikit saja, Rambat sudah terbayang warteg depan kosan dan suasananya.

Hal ini tak lain dan tak bukan adalah karena kehadiran Irma. Ia membuat Rambat seolah jadi terus-terusan merasa lapar.

Irma adalah pelayan warteg baru di warteg dekat kos Rambat. Wajahnya kalem, tubuhnya sedikit berisi, dan tingkah-polahnya sangat keibuan. Hal inilah yang menjadi daya tarik Irma di mata Rambat dibandingkan dengan Ratna dan Hikma, dua pelayan warteg yang lama

Irma suka tersenyum, tapi jarang bicara. Kalau bicara, suaranya pelan dan nadanya lembut gemulai. Sungguh Rambat terpikat hatinya. Irma sungguh-sungguh perempuan sempurna yang pernah dilihat Rambat.

Siang itu, Rambat mengikuti rasa laparnya, terduduk dengan pandangan mengharu-biru di bangku panjang warteg, memandang tengkuk Irma yang sawo matang.

Cuaca panas terik, Irma menguncir rambut panjangnya. Setiap Irma menyendok nasi untuk pengunjung warteg, kuncirnya berayun manja ke kiri dan ke kanan. Rambat menikmati pemandangan itu, hampir mimisan hidungnya karena di hatinya mengalir deras darah yang bergelora. Sungguh indah makhluk ciptaan Tuhan bernama perempuan, kata Rambat dalam hati sambil bersyukur diciptakan sebagai laki-laki. Hanya laki-laki sejatilah yang dapat menikmati keindahan makhluk bernama perempuan, sambung Rambat masih dalam hati. Tak henti-hentinya Rambat mensyukuri keagungan Tuhan diantara rasa lapar dan dahaganya.

Merasa diperhatikan tiada henti, Irma mengerling lembut ke arah Rambat. Rambat tak menyangka Dengan kejadian yang tak terduga itu. Dia gelagapan, sampai hampir kejedot etalase warteg. Segera Rambat mengalihkan pandangannya ke arah ikan goreng yang terlentang di piring. Tapi tatapan mereka yang saling bertemu selama dua detik barusan, membekas di pelupuk mata Rambat. Sekarang ikan goreng seolah menjadi kerlingan lembut Irma.

Kata orangtua, kalau jodoh memang tak kemana. Waktu berlalu, dan entah bagaimana ceritanya, hati yang bertaut dalam tatapan dan kerlingan itu membuahkan kedekatan yang akhirnya terungkap dengan kata-kata. Malam itu, saat warteg hampir tutup, Rambat memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Irma. Dan tiada sangka, Irma rupanya memberikan jawaban yang menyenangkan hati Rambat. Keduanya resmi berpacaran.

Sebagai pasangan baru, Rambat boleh dibilang punya manuver yang taktis dan agresif. Sehari setelah resmi pacaran, Rambat sudah merencanakan untuk mengajak Irma bermalam minggu sambil menonton bioskop. Sebagai pasangan yang ngemong, tentu saja Irma mau.

Waktu yang dinanti-nanti Rambat pun akhirnya tiba. Malam minggu itu, Irma berdandan anggun setelah warteg tutup. Dia menunggu di bawah pohon jambu di halaman warteg sembari memandang Rambat mengeluarkan motor dari kosan.

Begitu motor siap, mereka segera meluncur menuju bioskop, menonton film Dendam Kuntilanak.

Film itu bukan main seramnya, Irma sesekali menjerit setiap muka kuntilanak di close-up di layar bioskop. Sesekali juga tertawa cekikikan ketika ada adegan lucu.

Alih-alih menonton filmnya, Rambat malah lebih memperhatikan Irma yang menikmati film. Matanya menatap wajah Irma yang sesekali diterangi cahaya dari film. Rambat jadi gemas dan bergairah. Tangannya menggenggam tangan Irma dan Irma pun membalas menggenggam.

Sampai film usai dan bioskop bubar, mereka masih bergenggaman tangan. Rambat sesuai janji membelikan ayam goreng dan es krim serta mencari tempat untuk duduk di bangku taman depan bioskop. Di tempat itu banyak pasangan lainnya yang juga berpacaran, ada yang tidur-tiduran di atas rumput, ada yang bersandar di batang pohon, ada pula yang yang duduk berhadap-hadapan saling bersentuhan kening. Rambat dan Irma mendapat tempat strategis yang remang-remang, di bangku yang dilindungi tanaman bogenvil rimbun berwarna merah, semerah bibir Irma. Di sana, Rambat mulai merayu Irma.

“Dek Irma benaran sayang sama Mas Rambat?” tanya Rambat berlagak belum yakin.

“Jangan kau tanyakan Mas, cintaku padamu sekeras tulang ayam ini,” balas Irma menggombal tak kreatif. Mereka lalu berbalas pantun dengan tema perasaan hati yang berbunga-bunga. Semakin banyak pantunnya semakin mendekatlah tubuh dua insan dilanda cinta ini.

Rambat mulai menyosor dan meraba-raba. Irma pun demikian. Mereka teranyut seperti sandal jepit di sungai yang tak tahu arah jalan pulang.

Suasana menjadi sangar roman dan binal, hingga pada suatu ketika, tiba-tiba Irma menjerit.

“Aw, mas!”.

“Kenapa, Dek Irma? Kaget ya?” balas Rambat. Ada perasaan bangga dengan apa yang sekilas tersenggol oleh Irma yang membuatnya menjerit barusan.

“Anu mas… aku jadi kaget dan sedikit shock,” ujar Irma.

“Jangan kaget, Dek Irma, Mas nggak akan menyakiti Dek Irma dengan ini,” balas Rambat.

Irma mendadak menjauh dan tertunduk. Rambat jadi bingung.

“Ada apa, Dek Irma?” tanya Rambat perlahan. Irma terdengar menghela napas.

“Aku ingat masa lalu, Mas…” kata Irma lirih. Rambat berdesir. Apakah yang terjadi pada Irma? Apa dia janda? Atau dia tidak perawan lagi? Apapun itu bagi Rambat bukanlah hal penting lagi. Dia telah katakan cintanya tulus, cinta sejati sepenuh hati.

“Dek Irma, andaipun masa lalu Dek Irma kelam, janganlah Dek Irma menyangsikan penerimaan Mas Rambatmu ini,” kata Rambat sambil menggenggam tangan Irma.

“Betul Mas Rambat mau menerima Irma apa adanya?” tanya Irma sangsi. Irma menatap mata Rambat mencari kepastian. Rambat dengan cepat mengangguk mantap.

“Dek Irma jangan ragu, apapun masa lalu Dek Irma, Mas Rambat akan terima. Yang penting Dek Irma jujur. Katakanlah apa yang membuat Dek Irma mendadak menjerti adi,” kata Rambat meyakinkan.

Irma menghela napas, dengan perlahan dia berkata sambil tertunduk.

“Anu, mas… sebenarnya aku shock karena ingat, milik Mas Rambat yang aku pegang tadi… Aku pernah punya.”

Rambat tercekat. Pusaka yang tadinya tegak meronta-ronta mendadak langsung lemas tak berdaya.

Exit mobile version