Pukul Tiga Dini Hari Bersama Suharto

Baca cerita sebelumnya di sini.

Dia bilang namanya Suharto. Tetapi alih-alih menyebut nama aslinya, aku justru menyebut nama tetanggaku yang mati ketiban papan baliho tiga hari yang lalu.

“Namamu Try Sutrisno, bukan?”

Setelah itu aku jackpot. Sambil tetap memaksakan diri, aku berjalan terhuyung-huyung menuruni anak tangga demi sampai di toilet. Kepalaku berat dan tenagaku rasanya sudah habis, seperti dihisap penyedot debu. Aku berdiri sambil berpegangan pada kran air yang menyala. Orang-orang patah hati memang suka berbuat aneh, tetapi terutama suka merepotkan orang lain.

Suharto berteriak dari luar toilet, “Hei, kau baik-baik saja?”

Nama aslinya Suharto, tetapi pria dengan celana jins hitam super ketat itu memperkenalkan diri dengan nama Tom dan aku malah memanggilnya Try Sutrisno. Aku memang mabuk, tapi alkohol tidak lantas seketika mengubahku jadi pikun, hanya mungkin sedikit menyebalkan dan putus asa.

“Halo, apa kau baik-baik saja?”

Kukira tadinya aku sudah mulai membaik, tetapi mendengar pria itu berteriak, kepalaku kembali pening.

“Tunggu sebentar,” teriakku.

Aku sudah bisa berdiri tegak dan dapat melihat dengan jelas noda di kaosku. Buru-buru kubersihkan bekas memalukan itu dengan air. Sekarang aku dapat melihat dengan terang bagaimana rupa seorang gadis yang nyaris melenyapkan diri dan gagal (untuk yang kedua kali) karena bertemu dengan seorang pria bernama Suharto.

Di sebelah cermin toilet, seseorang menggoreskan kalimat dengan spidol warna hitam: Stephen was here. Yah, orang-orang datang dan pergi dan akan selalu begitu. Tiba-tiba naluriku untuk ikut mencorat-coret dinding toilet muncul begitu saja. Kugeledah isi tas tapi tak menemukan alat tulis. Seorang gadis, rambutnya pendek dengan baju jaring-jaring lantas masuk dan bercermin. Kesempatanku untuk bertanya.

“Bawa spidol?”

Tetapi gadis itu cuma menatapku dengan muka nanar sebelum akhirnya menjawab, “Go fuck yourself.

Apa kubilang—alkohol tidak membuat seseorang lantas berubah menjadi tolol, hanya mungkin jadi menyebalkan. Terpaksa kutangguhkan keinginanku itu.

Selepas mencuci muka, aku keluar dan mendapati Suharto alias Tom alias Try Sutrisno berdiri di depan pintu, menyandarkan sebelah lengannya pada tembok, sedang merokok.

“Aku mau makan mi ayam,” kataku. Pria itu cuma melongo. Jaket kulitnya ternoda dan begitu juga sepatu buluknya. Aku ingin minta maaf, tetapi rasanya tenggorokanku tercekat benda tajam. Di luar dugaan, dia justru menuruti permintaanku.

Sambil menyapa satu dua orang pelayan, Suharto berjalan keluar menuju parkiran, sementara aku mengikutinya dari belakang. Kepalanya yang pelontos mengkilap terkena pantulan sinar lampu.

“Suharto seperti nama presiden,” kataku, sebelum kami berdua naik ke atas motor masing-masing.

“Kamu orang ke seratus sembilan puluh sembilan yang bilang begitu. Tapi sorry-sorry saja nih, malam ini namaku Tom, seperti katamu tadi. Tidak ingat?” jawabnya sambil menyeret keluar sepeda motor. Honda Supra 125 R buluk itu terjepit di antara dua motor Vario.

“Apa semua barang milikmu buluk?”

Ia mengernyitkan kedua alisnya. “Kau tahu, mendengar hal semacam itu, Suharto yang dulu tidak akan segan-segan menculikmu saat dini hari begini.”

“Hehehe.”

“Kau yakin bisa bawa motor sendiri?”

“Nggak yakin.”

Aku jelas mampu mendengar dia berkata astaga sambil menepuk jidat dan menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum kemudian masuk lagi ke dalam bar. “Tunggu di sini sebentar.”

Tentu saja aku menunggu, atau, mungkin sebaiknya aku pergi saja? Sekarang hampir pukul tiga pagi. Deru angin yang cukup kencang menggoyangkan ranting pohon di seberang bar. Pohon itu—aku tidak tahu pohon apa—tegak berdampingan dengan lampu jalan.

Kau tahu, orang-orang patah hati suka bersikap berlebihan bahkan terhadap pohon sekalipun. Cahaya kekuningan yang berpendar dari lampu jalan membuat pohon itu terlihat seperti… entahlah. Kau bisa menemukan keindahan justru ketika segalanya hampir berakhir.

Seekor kucing belang berjalan dari arah utara, sementara tiga orang pria keluar dari bar sambil terkikik dan sebuah sepeda motor melintas. Tiba-tiba saja aku ingin tahu: apa yang terjadi jika seandainya dinosaurus tidak pernah punah?

Suharto atau Tom atau siapa pun itu lah sepertinya ketiduran. Hampir lewat lima belas menit dan ia belum juga kelihatan. Aku menunggunya sambil menghitung jumlah daun di dahan pohon. Mungkin sebaiknya aku pergi. Atau tidak? Aku tidak pernah pergi dengan orang asing.

“Sorry, ya, lama. Seseorang menahanku. Ingat pria yang menyanyikan lagu ‘Far From Me’? Nah, dia menahanku. Biasa, lah, masalah rumah tangga. Oh ya, kau bisa meninggalkan sepeda motormu sementara di sini.” Tiba-tiba dia sudah muncul lagi di belakangku.

“Apa kau orang baik?”

“Hah? Bagaimana?”

“Maksudku, namamu Suharto dan kau orang asing.”

“Ya dan aku baru saja menyelamatkanmu dari usaha bunuh diri. Lagi pula malam ini namaku Tom, ingat?”

“Kau bukan orang baik.”

“Hah?”

“Aku mau pulang.”

“Tapi kau belum mendengar cerita tentang sepatu futsal.”

“Aku tidak yakin apakah aku membutuhkan cerita itu.”

Kepalaku terasa berdenyut. Alkohol memang tidak pernah menyelesaikan masalah dan malah membuat segala sesuatunya semakin runyam.

“Kau kenal Robby Julianda?” tanyaku kemudian. Dia menggeleng dan setelah itu tidak mengatakan apa-apa. Padahal aku berharap dia akan balik bertanya. “Dia baru menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Omong Kosong yang Menyenangkan’.”

“Ya, lalu?”

“Aku hanya mengatakan saja.”

“Astaga, kau meracau,” katanya. “Dengar ini. Oh, astaga aku bahkan tidak tahu namamu. Kau boleh tidak percaya denganku. Itu terserah padamu. Tapi aku hanya ingin mengatakan ini: setiap orang pernah mencintai orang yang salah dan itu cara Tuhan mengerjai kita. Tetapi, semuanya akan baik-baik saja. Perasaanmu akan berlalu sementara dunia terus berputar dan kau akan baik-baik saja. Ayolah, jangan bunuh diri hanya karena putus cinta.”

Ada saat-saat di mana kepalamu tiba-tiba punya kehendak sendiri. Dia punya kekuasaan untuk menyuruh tangan melempar kepala orang dengan batu kerikil atau memberi perintah kepada kaki untuk menendang sepeda motor sampai jatuh terguling. Atau menangis.

Aku melakukan yang terakhir.

“Namaku bukan Suharto. Bukan juga Tom, apalagi Try Sutrisno, eh Sutardjo, eh atau siapalah itu. Namaku Agus Muliadi,” katanya kemudian.

“Aku Kalis.”

Ayam berkokok. Kurasa sekarang sudah pukul empat pagi. Kepalaku masih pening dan hidungku ingusan dan aku bersama seorang pria bernama Agus Muliadi alias Suharto alias Tom alias Try Sutrisno. Terserahlah!

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version