Pedagang Mindring yang Dikejar Utang Diam-Diam

Baca cerita sebelumnya di sini.

Pertengahan Juni tahun ini tak seperti yang lalu-lalu. Sudah berminggu-minggu hujan tak turun. Jangankan hujan, mendung pun nyaris tak pernah terlihat walau sebentar, membuat kota yang terletak di pesisir utara Pantai Jawa itu menjadi sangat kering.

Jika berada di jalanannya pada siang hari terik, kaki tak ubahnya seperti pisang yang disangrai di atas wajan. Tinggal bubuhkan susu coklat dan serutan keju, jadilah Banana Chocolate Cheese. Atau, apakah bayangan aroma jempol kaki yang diserang jamur kutu air langsung jadi pengganggu imajinasimu?

Di atas jalanan itu, dari kejauhan, tampak seorang perempuan paruh baya berjalan cepat sambil menjinjing tas kresek yang terlihat agak berat. Wanita itu membelokkan langkah ke sebuah rumah bagus berhalaman semen luas. Pagar tembok tinggi mengelilingi halamannya. Sebuah Nissan Livina terparkir gagah menutupi sepertiga halaman semen. Gerbang pagarnya memang sudah terbuka sehingga wanita itu bisa langsung melangkahkan kaki ke dalam.

“Permisi… Bu RT…” Ia menguluk salam memanggil tuan rumah.

“Bu Tri, ya?” sayup-sayup terdengar balasan dari dalam.

“Iya, Bu.”

“Masuk, Bu. Duduk dulu. Tunggu sebentar.”

Perempuan yang dipanggil Tri itu mengayunkan langkahnya memasuki ruang tamu dan duduk di kursi sofa. Menunggu, sesuai perintah suara dari dalam rumah yang didengarnya tadi.

***

Sementara itu, di warung kopi di kota sebelah…

Meskipun tersembunyi di lorong-lorong jalan sempit di luar pagar batas kawasan industri, warung itu tenar betul. Jam beroperasinya 24 jam karena si pemilik juga tinggal di dalamnya. Tadinya, warung itu adalah rumah belaka. Seorang janda perantau dari daerah menyewa rumah berdinding kayu itu untuk ditinggalinya.

Mak Srunti, demikian perempuan itu biasa dipanggil. Untuk menopang hidupnya, teras rumah ia atur sedemikian rupa sehingga berubah bentuk menjadi kedai kecil. Di dalamnya terdapat satu meja panjang tempat ia menaruh berbagai macam cemilan dan minuman ringan. Kursi-kursi bambu ia pasang untuk melengkapinya.

Kebanyakan pengunjungnya adalah kalangan pekerja bangunan, mandor proyek, mandor pabrik, atau sales-sales yang menepi sekadar melepas haus dan penat.

Mak Srunti punya dua orang asisten yang baru didatangkannya dari desa setahun terakhir ini: dua orang gadis ranum. Gadis-gadis Mak Srunti ini langsung menjadi magnet pengunjung sejak kedatangan mereka kali pertama. Pembawaan mereka yang lugu namun kenes, serta keluwesan mereka melayani, membuat para pelanggan suka hati menghabiskan waktu berlama-lama di warung Mak Srunti dan membuat warung ini semakin terkenal.

Seorang lelaki turun dari motor bututnya kemudian masuk ke warung Mak Srunti. Ia menjatuhkan pantatnya di salah satu bangku panjang, kemudian meminta minuman kesukaannya: kopi pahit. Wati yang melayaninya.

“Wat, pijet dong,” katanya mengajukan permintaan layanan ekstra pada Wati.

“Iiih, lagi rame gini. Nanti kalau Ninuk sudah pulang dari pasar, biar aku ada yang gantiin.” Perempuan yang dimaksudnya itu menjawab manja.

“Aaah, nanti lama. Sudah kaku semua ototku,” rajuknya.

Di sela percakapan, terdengar suara langkah kaki yang diiringi gemerincing gelang emas keluar dari dalam rumah menuju warung. Wajah Mak Srunti menyembul dari balik gorden pintu yang menghubungkan warung dengan rumah.

“Sudah, kamu pijitin Darman dulu sana. Biar aku yang bikin kopi di sini,” perintahnya pada Wati sambil tersenyum manis.

“Eh, Man…,” panggil Mak Srunti menoleh pada laki-laki yang dipanggil Darman itu.

“Apa, Mak?”

“Pijet ora utang, lho, yooo!!”

“Beres! Aku baru terima gaji dari bos, Mak. Yang penting layanannya joss. Ya, kan, Wat?” Genit ia melirik Wati.

Keduanya pun berlalu dari hadapan Mak Srunti, lalu masuk ke salah satu bilik di dalam rumah.

Pijat, katanya.

***

“Bu Tri, gimana jualannya?” tanya Bu RT pada tamunya.

“Iya, Bu, ini mau setor hasil kemarin. Gamisnya laku lima. Kerudungnya yang besar laku empat. Lalu sempaknya lumayan, Bu, laku sepuluh! Tumben panas-panas begini sempak laris. Biasanya larisnya kalau musim hujan karena jemuran ndak kering. Sepertinya bapak-bapak banyak yang menyukai merek itu,” jawab Sang Tamu.

“Lho, memang. Suami saya saja suka sekali sempak merek itu. Katanya adem dan empuk dipakainya. Kalau musim panas gini kan yang dicari memang yang adem-adem to, Bu. Lha nanti, kalo musim hujan, dingin, baru yang dicari yang anget-anget.” Bu Erte terkikik dengan ekspresi gemas sendiri.

“Hi hi iya, ya, Bu.” Bu Tri menjawab sambil nyengir saja.

“Oke, terus uangnya gimana, Bu? Beres kan?”

“Oh, iya… Ng… Anu, saya sekalian mau bilang. Itu uangnya kurang tiga ratus ribu karena saya pakai dulu, Bu RT. Mohon maaf, ya, soalnya ada keluarga yang punya hajat. Saya ndak enak kalau ndak ikut menyumbang, Bu…”

Hening. Bu RT diam beberapa waktu, sebelum akhirnya menarik napas penuh tekanan. Air mukanya berubah. Keramahan dan candaan yang tadi sempat menghiasi wajahnya mendadak sirna. Bibirnya tertarik memendek. Otot-otot wajahnya menegang. Begitulah. Uang memang seringnya berhasil mengubah manusia.

“Ya ini. Ini yang membuat Bu Tri itu ndak dipercaya oleh masyarakat. Lha wong kekurangan setoran Bu Tri yang kemarin-kemarin saja belum dicicil, kok, malah sudah ditambah lagi. Kekurangan yang kemarin itu satu juta lima puluh ribu lho, Bu. Banyak itu. Kalau dipake beli cabe, bisa buat nyambelin mulutnya orang sekampung. Saya ini, kan, butuh modal buat kulakan lagi, Bu Tri.” Bu RT mulai mengomel panjang lebar.

Baru dua bulan ia ikut menjualkan barang-barang dagangan Bu RT. Berjualan keliling dengan sepeda bututnya kepada tetangga dekat rumah hingga ke kecamatan sebelah. Gayatri telah jadi pedagang mindring puluhan tahun.

Kalau ada yang membuatnya bangkrut, biasanya bukan karena dikemplang pelanggannya karena dia pandai betul mengenali mana orang yang suka ngemplang seperti dirinya dan mana yang tidak. Hal yang menjadikannya gulung tikar adalah karena utangnya pada para supplier atau induk semang yang makin lama makin banyak hingga mereka muak dan memutuskan hubungan dengan Gayatri. Yang terjadi kemudian, ia akan mencari induk semang lain lagi. Begitu selalu.

Hari-hari ini Gayatri sedang gundah. Utangnya pada supplier lamanya cukup besar. Ia mulai ditagih-tagih lagi setelah sekian lama supplier itu tak muncul di hadapannya lantaran bosan menagih tanpa hasil.

Tapi kali ini, tampaknya supplier-nya tidak main-main. Ia selalu ditemani seorang laki-laki yang tinggi besar bertampang preman setiap kali menagih. Bagaimanapun juga, ia khawatir kalau-kalau orang suruhan itu akhirnya melakukan cara-cara paksaan dan kekerasan untuk menagih uangnya.

Ia sudah berusaha meminta uang pada suaminya tanpa memberitahu perihal utangnya, khawatir jika sampai suaminya dilibatkan dalam masalah utang yang nilainya cukup besar bagi mereka, kerepotannya jelas akan menjadi berlipat-lipat. Sudah tak diberi uang, dia masih tetap harus menghadapi mantan supplier-nya itu dengan anak buahnya, akan pula menghadapi caci maki suaminya sendiri.

“Saya janji bulan depan saya cicil, Bu RT. Nanti tanggal satu, pas anak saya gajian, saya akan minta uang untuk mencicil utang saya. Tolong jangan blokir saya dulu, Bu. Kalau tidak ada barang dagangan yang saya jual, nanti saya semakin kesulitan mencicil utang saya pada Bu RT. Tolong ya, Bu…” pinta Gayatri.

Bu RT diam saja. Sebagai pedagang yang terbiasa kerja sama dengan bakul-bakul mindring sebenarnya ia sudah tidak kaget melihat fenomena seperti ini. Baginya, Gayatri adalah partner yang andal dalam penjualan.

Tetapi, kebiasaan ngemplang uang itu benar-benar membuatnya kesulitan memaksimalkan potensi Gayatri. Mengampuni atau mendepak Gayatri, sekarang ia hanya sedang berhitung untung ruginya.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version