Orang Seumur Kita Tidak Pantas Mencintai, Hanya Saling Menggembirakan

Baca cerita sebelumnya di sini.

“Kalau dipikir-pikir betul juga, ya, orang seumur kita tidak pantas mencintai. Kita hanya saling menggembirakan. Nanti setelah kita tua dan lemah, baru kita bisa saling mencintai. Barangkali, bisa saja kita menjalani hidup dan tak pernah jatuh cinta, tak pula menemukan seseorang yang mencintai kita.

“Yah, mati memang pantas buat dicoba, tapi hidup yang macam tai anjing begini pun terlalu indah buat dilewatkan. Dan rasanya, sekarang aku tak mau lagi memimpikan hal yang muluk-muluk sebab Tuhan bakal tertawa andai aku menceritakan semua rencana-rencanaku,” ujarnya terdengar putus asa.

Kalian berada di depan sebuah swalayan 24-jam, duduk di kursi yang sudah ada begitu saja dekat pelataran parkir, sembari menunggu kopi panas yang diseduh dalam gelas stirofoam laik buat diseruput. Kata Kalis, habis mabuk bagusnya minum kopi. Kau setuju sekaligus tidak setuju.

Lima belas menit sebelumnya, kalian habiskan mencari warung mi ayam. Tak berhasil. Lagi pula, siapa yang mau makan mi ayam—selain kalian—pukul empat pagi?

“Kau pintar mengoceh juga, ya, ternyata?” katamu kepada Kalis. Kau lalu menyalakan rokok. “Aku tidak bodoh-bodoh amat. Kurasa kau baru saja menggabungkan kalimat Camus, Morrissey, dan Woody Allen sekaligus,” katamu. Mau tak mau, kau teringat Sal. Dia jenis manusia yang bisa menggabungkan tiga-empat nama orang dalam satu kalimat dan membuatnya terdengar masuk akal.

“Hanya kalau habis mabuk,” jawab Kalis lemah.

“Tapi kalimatmu terdengar jauh lebih menyedihkan: Mati memang pantas buat dicoba, tapi hidup yang macam tai anjing begini pun terlalu indah buat dilewatkan.”

“Nah, kalau yang itu gara-gara alkohol yang masih menggenang di lambung atau pankreas atau apalah itu namanya.” Kali ini Kalis terkekeh. Nantinya kau mengetahui, Kalis alumni sebuah perguruan tinggi ternama meski beberapa kebijakan rektornya terdengar ngawur, dan rasanya tak berdosa andai seseorang mau berbaik hati melumuri tempat duduknya dengan lem setan.

Kau percaya dunia belum kiamat karena Tuhan masih menikmati segala ketololan yang dibikin manusia. Kalis, misalnya. Menurutmu, harusnya dia tak kesulitan membedakan mana laki-laki baik untuknya dan mana laki-laki yang bagusnya dikarungi buat dijadikan makan malam anjing pelacak. Sekarang, lihat apa yang dia lakukan setelah putus cinta?

Tentu saja, kau jauh lebih menyedihkan dari Kalis.

Hanya karena memandangi lesung pipi Kalis, ingatan kembali membawamu ke masa-masa yang telah lewat. Kekasihmu meninggalkanmu karena kesalahan yang tak seharusnya kau lakukan. Yang kau sesalkan hanya satu: dia tak memberimu celah untuk memperbaiki kesalahan itu. Kenyataan itu betul-betul membuatmu hancur dan remuk dan hancur dan rasanya kau tak tertarik lagi pada kehidupan jika mengingat hal-hal yang pernah kalian lakukan; menghabiskan waktu di kedai kopi, mengitari lapangan tanpa alasan yang jelas, menyesap bir dingin sembari mengoceh tentang rencana kalian membikin kebun kecil di belakang rumah, dan seterusnya.

Barangkali semua orang pernah melakukannya, tak ada bedanya dengan tidur atau mengisi bensin atau mencukur rambut kemaluan. Namun, tetap saja, kau merasa itulah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupmu. Kau memejamkan mata dan masih bisa merasakan tangannya mengusap kepalamu, lembut. Dua tahun telah berlalu dan kau tetap merasa perpisahan itu sebuah hal yang keliru.

Bunyi kaki kursi yang beradu lantai saat digeser membuyarkan lamunanmu. Kalis memperbaiki ikatan rambutnya. Kau meregang tubuh seperti kucing bangun tidur, melemaskan otot-ototmu, lalu melayangkan pandangan ke seberang jalan, berharap mendapati sesuatu yang menarik di sana. Deretan lampu jalan geming berdiri sebagaimana laku lampu jalan di mana pun. Satu dua kendaraan melintas tiap lima detik.

Kau memalingkan wajah, menatap Kalis sambil menjentikkan puntung rokok ke lantai. Kalis balik menatapmu, lalu menopang dagu dan tak mengucapkan apa-apa. Kau mengusap kepala plontosmu dan begitulah…. Kalian tak mengucapkan apa-apa selang berapa lama. Sesekali kalian membuang pandang.

Kau salah tingkah dan merasa tak nyaman seolah keheningan yang mengapung pagi itu adalah dengung yang kelewat nyaring, tak tertahankan menghajar telingamu.

Beberapa tahun silam, kau pernah menonton film Before Sunrise. Ingatanmu buram sebab film itu hanya berisi percakapan dan percakapan lalu percakapan. Namun, kau mengingat dengan jernih sebuah adegan: Jesse dan Celine sedang berada dalam sebuah bilik pemutar musik, mendengar lagu “Come Here”-nya Kath Bloom yang diputar lewat piringan hitam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Barangkali, adegan itu adalah penjelasan yang paling masuk akal mengenai situasi kalian saat ini: canggung yang memabukkan.

Tiba-tiba kepala Kalis terangguk dan ia kaget sendiri. Kau lalu merasa menjadi orang paling tolol sedunia. Jesse dan Celine? Canggung yang memabukkan kepala plontosmu! Rupanya Kalis berada di ambang kantuk dan terjaga.

“Kau mengantuk, ya?”

“Ya.”

“Kau mau pulang, kan?”

“Ya.”

“Kuantar ke rumah?”

“Ya”

“Atau jadi ke tempatku?”

“Ya.”

“Aneh sekali. Sekarang kau bisanya cuma bilang ‘ya’, ya?”

“Ya.”

“Mau dengar tebak-tebakan?”

“Boleh.”

“Kenapa ikan tidak pernah bisa tidur?”

Kalis menegakkan kepala, memperbaiki tumpuan sikunya di meja, kemudian meneguk kopinya dua kali.

“Barusan kau bilang apa?”

“Kenapa ikan tak pernah bisa tidur?”

“Karena tempat tidurnya basah.”

“Harusnya kau bilang ‘nggak tahu’.”

“Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang tahu jawabannya.”

“Ya sudah. Tidak apa-apa.”

“Kau marah, ya?”

Tentu saja kau tidak marah. Kau hanya kecewa. Tadinya kau berharap Kalis tak tahu jawabannya, atau semati-mati angin, pura-pura tidak tahu. Setidaknya, Kalis menyadari selera humormu boleh juga. Tetapi itu jelas kesalahanmu. Kau melontarkan tebak-tebakan cap kambing, yang barangkali jawabannya hampir diketahui semua orang.

Harusnya kau melontarkan soal cerita tentang persamaan linear tiga variabel. Terlalu ruwet, memang. Sementara, kau hanya ingin membuat Kalis tertawa dan berharap bisa memandang lesung pipi itu, sekali lagi.

Tiba-tiba kau menyadari, azan Subuh sudah berkumandang sejak tadi ketika telingamu tak sengaja menangkap seruan terakhir.

Kau melihat langit terbentang dalam spektrum warna biru dan merah dan oranye, lalu teringat sebaris sajak kuno yang senantiasa diulang para pelaut sembari berusaha menghabiskan satu tong rum buat melenyapkan rasa cemas yang menghantam mereka sepanjang hidup: langit merah waktu pagi, pelaut mesti berhati-hati.

Kau bisa saja menjadi seorang seniman atau diplomat. Atau barangkali menjadi seorang petinju andai saja dulu laki-laki itu tak mematahkan lenganmu ketika berusaha menghalangi kebiasaan buruknya menghajar ibumu.

Namun, kenyataannya, kau tak memilih apa-apa dan sekarang kau bukan siapa-siapa. Dan itu bukan masalah. Kau tak menyesali segala hal yang pernah kau lakukan. Tidak pula segala hal yang terjadi padamu, meski pada saat-saat tertentu, seperti pagi ini, kau merasa itu adalah hal yang keliru.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version