Kita Sambut Istiqomah Sativa, Artisnya OM Tralala!

Dodik adalah biduan paling bebal se-Kabupaten Macomblang jika sudah punya kehendak. Diam-diam ia pikir selera musiknya adalah selera paling berkelas ketimbang seluruh penyanyi dangdut se-Endonesa Rata. Ia manggung di orkes sebesar OM Tralala dengan sebuah keyakinan dungu bahwa penonton pasti terkesima mendengarkan Bohemian Rhapsody yang ia nyanyikan sambil joget koplo.

“Mama…! Uwuwuuu…! Didn’t mean to make you cry, if I’m not back again this time tomorrooow…! Carry on… Carry on..!” Suara gendang dan ketipung memperkaya khazanah lagu legendaris itu. Tapi tentu saja bagian seriosanya kacau parah. Para senggakan belum mahir teriak cempreng, “Galileo… Galileooo… Galileo Figaro…!” Penonton jadi enggan berjoget. Yang ada malah Dodik disoraki, dipaksa turun. Air muka Dodik berubah pucat. Beberapa penonton melemparinya dengan botol plastik bekas air mineral.

Mama mama, mbahmu kiper! Turun saja! Turun!”

“Galileo… Galileooo wuopo!  Turun! Turun!”

Ujung kerah jaket kulit sintetis Dodik ditarik Pak Eko dari belakang. “Kamu ini nyanyi lagu apa? Nggak jelas begitu!” bisik lelaki berambut gimbal itu geram. Musik seketika berhenti.

“Ini lagunya Freddie Mercury, Pak! Sedang laris filmnya diputar di bioskop!”

“Bioskop, udelmu bodong! Lihat sekarang ulahmu. Kuapokmu kapan, Dik? Sudah, turun saja dulu! Pindah sana ke Merkurius!” sentak Pak Eko, sang maestro OM Tralala. Mendapat bentakan langsung dari Pak Eko, Dodik segera ngibrit ke belakang panggung. Kesal bukan main. Tapi dia bisa apa selain ngedumel?

“Mohon maaf, Maudara-saudara Singagaluh! Hadirin yang berbahagia. Hadirat yang kami hormati. Tentu saja, tadi hanya pemanasan. Ibarat check sound. Mohon jangan buru-buru kecewa. Untuk mempersingkat waktu, kita langsung saja sambut yang spesial icik-icik ihir. Ini dia, ratunya goyang tremor: Is… Is…. Isssssiapaa??? Siapa…???!!!” Pak Eko mengarahkan mikrofon ke arah penonton yang berada di bawah panggung. “Issss…. ISTIQOMAH SATIVA! Bersama OM Tralalaaaa!”

Satu lapangan bersorak lega, gegap gempita.  “Mashoook Pak Eko!” teriak mereka spontan.

Sang biduanita, Istiqomah Sativa, langsung sigap naik ke atas panggung. Kegaduhan penonton berlipat ganda. Istiqomah adalah seorang biduanita yang tengah melejit di seantero Kabupaten Macomblang. Ia masih berumur lima belas tahun. Masih kinyis-kinyis, komentar pecinta orkes dangdut.

Malam ini, ia mengenakan singlet putih ketat bertuliskan “I LOVE MYSELF” dipadukan dengan jaket berkantong depan serta rok mini merah kotak-kotak. Sepatu botnya yang panjang hingga lutut menyisakan bongkahan paha sehat yang tampak sering dilatih lompat tali semenjak kecil. Rambut panjangnya dikucir kuda seperti Ariana Grande. Kecantikan dan keimutannya dianggap mampu menyaingi para personel girlband Korea.

“Assalamualaikum penonton! Apa kabar semuanya? Istiqomah besok ada PR Matematika, nih. Tapi kita goyang dumang dulu ya, biar hati senang. PR pikir keri—pikir mburi! Okeee?”

Lampu disko di atas panggung mulai berputar. Musik rancak terdengar. Penonton segera kembali ke posisinya masing-masing, sibuk goyang. Istiqomah benar-benar mampu mengembalikan suasana lapangan menjadi lantai dugem. Setelah Goyang Dumang, Goyang Dua Jari mendapat sambutan yang lebih meriah lagi.

Joget Istiqomah seluwes Siti Badriah. Jaket yang melorot sebahu kini ia lepas. Penonton semakin kalap. Kedipan Istiqomah menyihir penonton yang sesaat melupakan utang, mantan, majikan, dan segala tragedi kehidupan.

Jika kita amati secara saksama, penonton yang ngibing sudah terbagi dalam beberapa mahzab. Di depan, mahzab saweran dengan penuh percaya diri mengacung-acungkan uang. Satu-dua orang naik ke atas panggung, tidak terima begitu saja Istiqomah menundukkan punggung mengutip lembaran rupiah. Di belakang dedengkot saweran, ada pula barisan penonton militan, yang kalau goyang naudzubillah noraknya, tapi asyik! Pokoknya, suka-suka mereka!

Selain yang jogetnya semburat seperti nasi goreng mawut di kuali penggorengan, sebenarnya belakangan ini muncul tren mahzab koreografi. Itu loh, sekumpulan abege yang datang dengan kaos yang sama, entah penggemar Istiqomah, OM Tralala atau Pak Eko, peduli setan, yang penting wajib hukumnya ada formasi dan keseragaman. Harmonisasi nomor satu! Karena punya formasi, goyangan mereka dipandu instruktur dan yel-yel khusus.

Selain itu, ada pula mahzab malu-malu mau, biasanya berupa mbak-mbak yang datang bergerombol atau ibu-ibu garis keras yang merasa perlu maju terus hingga ke tengah lapangan. Eh, di antara para militan, tetap ada Pak Polisi dan Pak Babinsa yang mengawasi keadaan sambil curi-curi goyang. Di situlah Ulid dan gengnya, Arek Mati Urip Kothekan, ikut melebur di antara kerumunan penonton.

Istiqomah turun panggung sejenak, ambil jeda, digantikan Lusiana Lapindara. Senior—seumuran Ratna Antika. Lusiana Lapindara paling suka menyanyikan lagu-lagu lawas, semacam Putri Panggung-nya Uut Permatasari dan Cucak Rowo. Nggak klasik-klasik amat. sih, tapi tetap saja mampu membuat sejumlah orang tua ingat pohon beringin raksasa di tengah alun-alun kadipaten tumbang saat musim kampanye pemilu.

Ulid memperhatikan sekeliling. Ia kini telah berada di tengah kerumunan besar yang kesemuanya bergerak, berkelojotan, tak beraturan, mengikuti alunan musik yang didentumkan dari salon-salon besar di dua sisi panggung. Temannya, Syafi’i alias Pi’i, meliuk seperti cacing lapar kepanasan. Kedua matanya rapat terpejam, sementara kedua telapak tangannya membekap selangkang celananya. Bersamaan dengan pinggangnya yang bergoyang, dengan irama yang sama bekapan di selangkangan itu diputarnya. (Ulid Tak Ingin ke Malaysia, cetakan cover buku paling dramatis se-Endonesa Rata, hal, 344).

Ulid tak peduli teman-temannya tengah terbang menuju kenikmatan yang, kalian perlu mencobanya, setidaknya sekali seumur hidup. Ekor mata Ulid mencari-cari Juwita, teman sekelasnya, saingan terberatnya sejak di Madrasah Ibtidaiyah, gadis paling ayu sekaligus paling ketus yang pernah ia temui setelah emaknya sendiri. Namun, nasib manusia di Endonesa Rata sedikit banyak seperti yang tertulis di lirik dangdut. Juwita lebih memilih menikah dengan Fajar, anak Kaji Badrun.

Siapakah Kaji Badrun? Kalau kau sedang cari pebisnis tahan banting di Singagaluh, mampirlah ke rumah beliau. Tidak ada seorang pun—kecuali Ulid, tentu—yang menyimpan kebencian pada sosok juragan rongsokan besi tua itu. Semasa Lumpur Lavindah (“v” dan “h” diucapkan tebal) belum menyembur, Kaji Badrun masihlah seorang pengepul macam-macam sampah dari plastik hingga kardus. Ulid pernah menjadi salah satu pasukan argobelnya. Eh, tahu argobel, nggak? Arek-golek-beling, bocah pencari kaca, salah satu pilihan pekerjaan paruh waktu anak SD-SMP di Singagaluh.

Suatu ketika Kaji Badrun tidak membayar sampah hasil jerih payah Ulid sesuai harga yang berlaku. Ulid tak sempat memprotes. Ia hanya meringis dan jalan terpincang-pincang karena kaki kanannya menginjak pecahan botol bir saat masuk ke gudang pengepulan. Sejak saat itu, ia membenci Kaji Badrun dan semakin membenci beliau saat Fajar ia nikahkan dengan Juwita yang masih kinyis-kinyis.

Juwita… Apakah ia mengalami kasus perjodohan yang gitu-gitu saja? Sabarlah. Kita kan sedang nonton orkes. Jangan ungkit masa lalu kelewat rinci. Nggak seru.

Istiqomah sudah naik lagi ke atas panggung. Kali ini ia menyanyikan Kimcil Kepolen. Oh ya, dia pintar nge-rap juga: goyang tremor sambil nge-rap. Aduh, mana tahan, Dik! Sekarang Ulid betul-betul ikut bernyanyi. Ia telah menemukan sosok Juwita sedang bersandar di pundak Fajar, suaminya, di lantai atas rumah Kaji Badrun yang biasa digunakan untuk tempat jemuran. Tribun VVIP. Tentu saja. Lah wong yang punya hajatan malam ini memang Kaji Badrun.

OM Tralala diundang khusus untuk merayakan sunatan Asar, anak bungsu Kaji Badrun, adik Fajar nomor lima. Asar duduk di singgasana di dalam tenda kuning. Ia sangat bangga menyaksikan orang-orang se-kecamatan Singagaluh berbondong-bondong datang menonton suguhan orkes yang bapaknya sajikan.

Lalu, di manakah Kaji Badrun berada? Ulid memang tak mencari keberadaannya. Begitu juga penonton yang lain. Sudah tak ada yang peduli siapa yang berjasa memanjakan malam mereka malam ini.

Tapi, biar kuberi tahu: Kaji Badrun ndepis di pojokan, di dekat talang rumahnya, di bawah pohon keres. Jarak dari panggung dan kerumunan orang cukup jauh. Posisinya juga jauh dari pasar malam dadakan. Jauh dari penjual lontong cecek. Jauh dari penjual gorengan. Jauh dari penjual mainan. Jauh dari lapak rental kolam pancing ikan plastik.

Kaji Badrun sempat mengusir seorang bocah yang tengah ngibing sambil memutar-mutar telunjuknya ke atas, searah jarum jam. Beliau juga sempat menyuruh ibu-ibu yang bergerombol di dekatnya agar duduk di kursi plastik yang sudah disediakan. Beliau butuh kesunyian ekstra di tengah kegaduhan maha asoy. Beliau tak butuh menyawer karena merasa sudah membayar mahal satu paket OM Tralala hingga biaya keamanan. Biarlah orang-orang kampungan itu yang menyawer! Martabatnya akan turun jika seorang haji sekaligus saudagar seperti dirinya ikut naik ke atas panggung dan goyang asoy. Tidak. Tidak. Tidak akan terjadi!

Tapi kuberi tahu lagi, ya, ini bukan gosip, karena sifatnya rahasia semata: memang bukan sawer dan jawil-jawil laknat yang beliau suka. Ia punya imajinasinya sendiri. Ia punya obsesinya sendiri. Diam-diam, ia sudah mengantongi sebutir merica sejak tiga hari yang lalu. Iya, merica. Salah satu rempah yang bikin VOK ketagihan mangkrak di Endonesa Rata. Sebutir merica tak ada artinya untuk bumbu penyedap masakan. Namun, bagi Kaji Badrun, hanya dengan mericalah hasrat akil balignya yang belum ia puas-puaskan menggelora.

Saat orkes memasuki waktu Singagaluh bagian edan, hujan mulai turun. Tidak deras, tidak juga gerimis. Yang sedang-sedang saja. Lapangan segera menjelma arena berlumpur yang becek. Pak Eko memaki dalam hati, Tak becus itu Badrun menyewa pawang hujan! Untunglah ia sudah mewanti-wanti pasukan sound system-nya untuk tetap memasang sajen dan menutupi seperangkat audio dengan terpal.  Ia pun mengomando Istiqomah untuk lanjut dengan lagu Jaran Goyang. Kaji Badrun memelintir butir merica, diputar-putarnya dengan jempolnya. Beliau berkonsentrasi penuh pada biduanita idaman di atas panggung. Mulutnya komat-kamit.

Tapi sekarang kecut bagaikan asem, semar mesem… semar mesem.

Mulut Kaji Badrun semakin cepat komat-kamit. Tak seorang pun yang bisa mendengar mantra apa yang beliau ucapkan, kecuali jin penunggu pohon keres yang suka ngadem di lubang talang yang lembab berlumut. Si jin ini cekikikan saja, tahu kalau Kaji Badrun tengah merapal sihir receh untuk memantik birahi perempuan. Dalam fantasinya, Kaji Badrun membayangkan Istiqomah berkelojotan merasakan sensasi merinding ser-ser di atas panggung dan mendesah keras.

“Apa salah dan dosaku sayang, cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan kuberikan. Jaran goyang. Jaran goyang.”

Hujan telah reda. Tetapi kondisi lapangan sudah mulai ricuh. Di sebelah Ulid, seseorang melempar kerikil ke kerumunan yang masih berjoget. Lalu di depan, perang lumpur dimulai dengan irama musik yang semakin berderap. Rusuh. Sudah bisa diduga. Tim mahzab koreografi sekarang tawur, tonjok-tonjokan, dorong-dorongan dengan tim mahzab militan. Para perempuan memekik dan berlari menyingkir. Beberapa polisi dan babinsa tanpa segan mengayunkan pentungan dan melerai titik-titik kerusuhan.

“Jangan lempar-lempar, Mas, banyak anak kecil!” Pak Eko mengambil alih mikrofon dan ikut melerai dari atas panggung. Istiqomah berhenti bernyanyi. Pak Kepala Polisi ikut melerai. “Yang ketahuan melempar, pegang saja. Tolong jangan bergerak dulu. Mau dilanjut apa nggak? Satu wadah jangan pecah. Balik lagi. Kembali ke tempat. Biasa gesekan, nggak apa apa. Memar sedikit tidak apa-apa.” Musik berhenti. Tawuran tetap terjadi.

Di bawah pohon keres, Kaji Badrun misuh-misuh. Konsentrasinya jelas pecah. Mantranya jelas buyar. Imajinasinya gagal total. Istiqomah telah menyelip di antara para lelaki yang unjuk gigi menenangkan massa.

Setelah kondusif kembali, lagu berikutnya adalah Ditinggal Rabi. Lusiana Lapindara yang kini menyanyi. Lagu ini sungguh salah satu lagu paling ngenes yang sedang hits sekarang. Ulid kembali bernyanyi dan bergoyang. Ia minta Pi’i menopang tubuhnya yang kurus kering di atas bahu. Ini lagu yang ditunggu-tunggu Ulid. Ia mempersembahkan joget terbaiknya. Dodik, si Biduan Bohemian, bergabung di atas panggung. Mentalnya telah kembali ke jalur normal. Ia menyambung dengan lagu TTM, Tewas Tertimbun Masa Lalu.

Kedua mata Ulid basah. Hatinya kemrotak, tapi seluruh tubuh dan kepalanya bergoyang.

Hujan turun lagi. Bukan air yang tumpah, tapi cairan kental berwarna coklat muda. Pedas. Penonton dibuat kaget. Mereka mendongak langit yang hitam. Tiba-tiba, tumpahlah butiran benda yang tak asing, tapi juga tak lazim turun dari langit. Bentuknya bulat, berwarna abu-abu, kenyal, seperti kebanyakan tepung kanji. Yang pertama kali menyadari, bisa ditebak, Wak Kabul, bakul pentol terkenal se-Singagaluh. “La Ilaha Illallah! Allahu Akbar!” Ia melompat menjauhi gerobak dagangannya, nyaris terjungkal.

Satu lapangan berhenti bergoyang sebelum lagu usai. Singagaluh hujan pentol saus kacang!

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version