Judul: 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif
Pengarang: Sabda Armandio Alif
Penerbit: Buku Mojok
Bulan terbit: April 2017
Ukuran dan tebal buku: 13 x 19,5 cm, 228 halaman
Harga: 58K
Saya rindu membaca cerita yang dimulai dengan niat jahat. Meski tentu tidak semua, novel-novel terakhir yang saya baca selalu bermula dari protagonis yang memiliki kehendak mulia, lalu menghadapi masalah yang menghalau kehendak mulianya, dan ditutup dengan bahagia lewat keberhasilan si protagonis menunaikan niat mulianya. Cerita-cerita itu membuat saya rindu orang jahat. Saya rindu orang jahat yang menjadi tokoh utama. Saya rindu cerita yang membuat saya percaya bahwa sama seperti kebaikan, kejahatan pun bisa sungguh-sungguh menang.
Novel 24 Jam Bersama Gaspar karya Sabda Armandio Alif menunaikan kerinduan saya akan hal-hal tersebut.
Sabda Armandio Alif penulis Indonesia berusia muda yang cemerlang. Saya katakan cemerlang karena sejak awal kemunculannya di dunia sastra Indonesia, Dio— panggilan akrabnya, walau menurut saya “Sabda” terdengar lebih agung—sudah menorehkan prestasi baik. Novel debut Dio, Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, menjadi satu dari lima buku terbaik tahun 2015 pilihan majalah Rolling Stone Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi Dio untuk mencuri perhatian para pelaku dan penikmat karya sastra Indonesia, karya keduanya, 24 Jam Bersama Gaspar, menjadi salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. Kurang keren apa lagi, coba?
Sebelum membaca kedua novel Dio, saya lebih dulu mengenal karya-karyanya yang ia pajang di blog pribadi. Kebanyakan cerita pendek, beberapa cerita sangat pendek, dan sisanya cerita-cerita terjemahan. Dio menerjemahkan cerita-cerita pendek dari penulis yang saya tebak merupakan penulis kesukaannya. Salah satu dari mereka bahkan ia pinjam sebagai nama tokoh di 24 Jam Bersama Gaspar, sebuah motor bernama Cortazar.
Saat membaca cerita-cerita Dio di blognya, hal pertama yang saya tangkap adalah jiwa iseng si penulis. Dio senang bermain-main di dalam ceritanya dan hal tersebut memunculkan kesan bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin menulis sesuatu yang bagus. Alur cerita, dialog, karakter-karakter dalam cerita-ceritanya cenderung absurd, ganjil, dan terkesan asal bikin. Tidak terlihat niat atau perencanaan yang matang untuk membuat plot dan gagasan yang matang.
Tapi, tunggu dulu. Apa memang benar begitu?
Cerita bagus biasanya dimulai dengan kesan main-main. Sama seperti seorang pelawak yang sedang beraksi di panggung, Dio melalui panggung naskahnya memulai cerita-ceritanya dengan humor yang membuat saya tertawa dan lengah. Setelah lawakannya berhasil, barulah dia menembakkan gagasan-gagasan yang kerap membuat saya terkejut dan berpikir panjang.
Itu terjadi di cerita-cerita pendeknya. Itu terjadi di Kamu. Itu terjadi di 24 Jam Bersama Gaspar.
Humor Dio sudah terasa sejak pembukaan novel. Sebuah pengantar yang ditulis dengan gaya parodi membuat saya benar-benar meramban di mesin pencari untuk mengenal lebih jauh siapa itu Arthur Harahap. Setelah tidak menemukan hasil yang bikin saya puas, saya membangun imajinasi akan Arthur Harahap di kepala saya sendiri.
Pengantar 24 Jam Bersama Gaspar yang ditulis sosok fiktif (meskipun ini masih bisa diperdebatkan) bernama Arthur Harahap merupakan metafiksi yang segar dan sukses bikin saya penasaran: tidak hanya pada siapa sebenarnya yang menulis pengantar buku ini, tetapi juga sang protagonis, Gaspar.
Gaspar adalah laki-laki berusia pertengahan tiga puluh yang senang bermain musik dan punya hasrat membunuh orang. Saya langsung jatuh hati pada Gaspar sejak Dio mendeskripsikannya. Melalui sudut pandang orang pertama, Gaspar berkata bahwa ia adalah “yang diceritakan naga-naga dewasa kepada anak-anak mereka agar cepat tidur”. Gaspar juga sesumbar bahwa “(d)ulu Kim Il Sung menyebut namaku beserta segala kemampuanku untuk menghentikan rengekan Kim Jong Il kecil”. Seraaam.
Gambaran jahat itu bukan omdo. Gaspar membuktikannya dengan memberi tahu pembaca bahwa ia akan merampok sebuah toko emas 24 jam sejak cerita dimulai. Bersama motor kesayangannya, Cortazar, dan tokoh-tokoh lain yang menjadi (literally) partner in crime, Gaspar, layaknya Momotaro yang pergi menumpas monster di pulau jauh, berangkat ke toko emas untuk merampok sebuah kotak hitam misterius. Apa isi kotak hitam yang memotivasi niat jahat Gaspar? Ya, baca aja novelnya.
Dalam delapan bab yang sangat menghibur, cerita 24 Jam Bersama Gaspar berjalan di dua alur paralel. Dalam alur pertama, kita mengikuti pergerakan Gaspar bersama teman-teman gengnya yang ia bentuk dadakan dan sebenarnya tidak bahagia-bahagia amat dengan rencana absurd Gaspar. Di alur kedua, kita membaca (atau mendengar) rekaman wawancara seorang polisi dengan seorang nenek anggota komplotan kriminal Gaspar. Kedua alur paralel yang mengingatkan saya pada Kafka on the Shore karya Haruki Murakami—yang memiliki tiga alur paralel—ini saling silang membangun misteri dan ketegangan dalam rangka memenuhi janji penulisnya di sampul buku: ini novel detektif.
Gagasan apa itu kejahatan dan kebaikan menjadi energi utama 24 Jam Bersama Gaspar. Melalui tindakan-tindakan karakternya, Dio mengajak saya mempertanyakan kembali makna keduanya. Tidak hanya lewat Gaspar, tetapi juga karakter-karakter lain termasuk sasaran Gaspar, sang pemilik toko emas; orang yang menyimpan kotak hitam incaran Gaspar: Wan Ali.
Wan Ali yang telah berbuat jahat demi kebaikan menurut versinya, dan Gaspar yang berbuat jahat demi membalas kejahatan Wan Ali adalah karakter-karakter yang kita temukan di kehidupan sehari-hari. Orang-orang jahat di dunia nyata dan tokoh-tokoh jahat di film-film Hollywood kerap menggunakan alasan “ini semua demi kebaikan” untuk membenarkan tindakan jahat mereka. Sabda Armandio, lewat mulut Gaspar, seakan ingin berkata, kalau jahat ya jahat saja.
Membaca novel ini selain membuat saya tertawa karena penuh lawakan slapstick segar, juga bikin saya merenungi perkara jahat dan baik, sekaligus menggerakkan jari-jari saya untuk mencari sebuah puisi yang sejak tadi saya coba ingat. Sebuah puisi dalam bahasa Inggris berjudul “There Is a Field” karya Jalaluddin Rumi.
Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing,
there is a field. I’ll meet you there.
When the soul lies down in that grass,
the world is too full to talk about.
Ideas, language, even the phrase each other
doesn’t make any sense.
Saya membayangkan bertemu Gaspar di sebuah warung makan Tegal di suatu sore yang adem, dan Gaspar mengucapkan dua kalimat pertama dari puisi Rumi itu, dan kami akan duduk-duduk di selokan pinggir sawah yang masih hijau, berbicara panjang lebar tentang kejahatan dan kebaikan. Kalau ujung-ujungnya ia mengajak saya melakukan kejahatan, ya apa boleh bikin.