Mati Ketawa Cara Sepakbola

Mati ketawa cara sepakbola BALBALAN mojok

Mati ketawa cara sepakbola BALBALAN mojok

Buku humor Mati Ketawa cara Rusia (1986) pernah sangat ngetop di Indonesia, sampai-sampai memopulerkan istilah “Mati Ketawa Cara .…” Pengantar dari Gus Dur buat buku itu juga tak kalah kondang, karena dianggap menerangkan filsafat humor dengan gambling dan jenaka. Ia bahkan menyajikan beberapa contoh humor yang tidak kalah kocak ketimbang isi bukunya.

Salah satu contoh humor dalam pengantar Gus Dur yang kebetulan terkait sepakbola, saya kutip di sini.

Seorang pelatih bola marah karena anak asuhannya tidak naik tingkat di fakultas. la menyatakan dengan suara keras kepada dekan fakultas tersebut, “Kamu pilih kasih, anak sepintar dia sampai tidak naik tingkat. Kamu sentimen kepada olah raga bola.” Sang dekan menjawab, “Dia tolol sekali. Bagaimana mungkin ada mahasiswa menjawab tiga kali tiga ada sepuluh?” Sang pelatih memuncak marahnya, dengan suara semakin lantang ia berteriak, “Babi kamu, kelebihan dua angka saja sudah dijatuhkan!

Di dunia sepakbola, memang ada pemain yang diidentikkan dengan humor karikatural dan terkesan tolol seperti di atas, yakni Francesco Totti. Kolumnis Zen RS pernah membahasnya dalam esai “Francesco Totti dan Tawa yang Membebaskan Kita”. Salah satu anekdot tentang Totti: ketika ditanya istrinya apa pernah membaca karangan William Shakespeare, Totti menjawab, “Tentu saja, cuma saya lupa siapa pengarangnya.”

Yang lebih parah adalah legendaris Brasil Garrincha. Pemain dengan dribel tak tertandingi ini dikenal sebagai tukang mabuk yang polos, bahkan cenderung bodoh. Seperti pernah saya singgung dalam “Yang Gembira dan Jenaka dari Sepakbola Brasil”, sesaat jelang laga final Piala Dunia 1958, Garrincha bahkan belum tahu lawan yang bakal dihadapi. Begitu laga berakhir dia malah bertanya seperti anak kecil kehilangan mainan.

Dalam Inverting the Pyramid (2008), Jonathan Wilson menceritakan bahwa tim Brasil yang dipersiapkan untuk Piala Dunia 1958 pernah mendapat tes psikologi untuk mengukur kecerdasan pemain. Garrincha mendapat skor 38, dari kemungkinan maksimal 123. Angka ini lebih rendah dari syarat minimum jabatan supir bus di Brasil.

Pada tes selanjutnya, pemain diminta menggambar hal pertama yang terlintas di kepalanya. Garrincha membuat bulatan dengan jari-jari seperti radiasi. Mirip gambar matahari. Ketika ditanya, itu gambar kepala rekan setimnya di klub Botafogo.

Setelah gantung sepatu, Garrincha pernah tinggal di Roma, Italia, dalam kondisi miskin dan tanpa pekerjaan. Sementara itu ia semakin tenggelam dalam kebiasaan menenggak cachaca, minuman keras khas Brasil. Sebuah lembaga pemasaran kopi Brasil sempat menawarinya pekerjaan menjadi “Duta Kopi Brasil”. Tugasnya mudah, pasang tampang di stan kopi Brasil dalam sebuah pameran di Italia. Hasilnya spektakuler.

“Jadi ini kopi Brasil. Apakah betul-betul enak?” tanya seorang pengunjung.

“Nggak tahu. Nggak pernah minum. Tapi cachaca Brasil rasanya fantastis!” kata Garrincha dengan jujur.

Kultur sepakbola memang lekat dengan tradisi kelakar. Mulai dari yang bersifat karikatural dan personal seperti di atas, sampai yang menyentuh persaingan antarklub atau negara. Ambil contoh kelakar sepakbola Jerman untuk menyindir Belanda yang tak pernah juara dunia: Kenapa kuping orang Belanda lebar-lebar? Sebab sejak kecil mereka kerap dijewer orangtuanya sambil dimarahi, “Jangan malas latihan bola. Malu sama tetangga kita, Jerman yang juara dunia berkali-kali“.

Di sini humor dipakai untuk menyerang lawan secara “bermartabat”. Agresivitas antarpendukung dihaluskan melalui kecerdasan verbal yang menyenangkan.

Tak mau ketinggalan dengan pendukung, para pelatih pun kadang menyerang atau bertahan lewat humor. Contohnya Arrigo Sacchi, ketika baru diangkat menjadi pelatih AC Milan. Bosan diragukan lantaran latar belakangnya yang tak pernah menjadi pemain profesional, Sacchi dengan enteng bilang, “Anda tak perlu menjadi kuda terlebih dulu untuk bisa jadi joki kuda.”

Trik tersebut sekitar satu setengah dekade kemudian dipinjam oleh Jose Mourinho, yang memang senang memakai humor sarkastik untuk melakukan serangan balik kepada sesama pelatih. Kala itu pelatih Milan Carlo Ancelotti meremehkan riwayat Mou yang kurang sukses sebagai pemain. Orang Portugis itu pun memutar ulang lagu Sacchi, “Dokter gigi saya yang terbaik di dunia. Padahal dia belum pernah sakit gigi.”

Mou yang mulai dikenal luas sejak membawa Porto juara Liga Champion 2004 dengan modal finansial kecil, memang diketahui ringan mulut dan kerap membuat pernyataan tokcer. Seolah dia punya staf ahli penyusun jawaban untuk wartawan. Sekali waktu Sir Alex Ferguson, yang juga bermulut enteng, menyindir Chelsea asuhan Mourinho yang gemar belanja besar.

“Untuk menjadi juara tidak perlu membeli seisi dunia,” kata Fergie dengan pede, lantaran reputasinya mendidik bakat-bakat muda Manchester United menjadi pemain kawakan.

“Setuju! Saya membuktikannya sewaktu di Porto,” balas Mourinho. Kebetulan sekali tim yang dikangkangi Porto menuju tangga juara Liga Champions di antaranya adalah Manchester United asuhan Ferguson.

Dalam sepakbola modern, di mana media punya pengaruh sangat besar, para pelatih dan pemain semakin terlatih dalam dalam menghadapi pers. Meski begitu, sosok seperti Mourinho dan Fergie memberi kesan tersendiri karena ucapannya tak melulu normatif. Mereka menggunakan media untuk menyerang, melakukan serangan balik, atau melimpahkan beban kepada lawannya.

Merunut lebih jauh ke belakang, tersebutlah pelatih asal Inggris yang otak dan mulutnya sama-sama cespleng. Namanya Brian Clough. Prestasinya betul-betul ajaib. Membawa klub kelas kambing menjadi jawara dalam waktu singkat. Bukan cuma satu, tapi dua klub. Di Derby County dia menghadirkan trofi Liga Inggris. Di Nottingham Forest, trofi Liga Inggris cuma jadi batu loncatan buat menjambret trofi Champions dua kali beruntun.

Barangkali Clough adalah pelatih sepakbola pertama yang menyadari pentingnya kemampuan berakrobat lidah di depan awak media. Kalau menyimak ucapan-ucapan Clough, bolehlah kita mencurigai Mourinho mencatat berbagai ucapan pelatih asal Inggris ini sampai hafal. Clough sendiri kerap memakai humor untuk membungkus arogansi dan kebanggannya kepada diri sendiri, sehingga tidak terasa terlalu kasar dan narsistik.

Pelatih yang dikenal dengan duet mautnya bersama sang asisten Peter Taylor, pernah meledek gaya sepakbola Inggris kala itu yang dipenuhi bola-bola panjang melambung di udara. Dia bilang, “Kalau Tuhan memang kepengin kita main bola di awan, Dia bakal menumbuhkan rumput di atas sana.”

Dalam Brian Clough: Nobody Ever Says Thank You – The Biography (2011), Jonathan Wilson menggambarkan Clough sebagai lelaki flamboyan, tapi kepribadiannya bisa abrasif dan cenderung otoriter. Pernah dalam sebuah laga, Stuart Pearce, pemainnya menderita cedera. Kepada staf yang melaporkan kondisi bek tengah ini ia berkata, “Bilang ke dia bahwa dia adalah Pele. Karenanya dia mesti main di lini depan dalam 10 menit terakhir ini!”

Lain waktu Clough ditanya bagaimana cara menghadapi protes pemain yang tidak setuju metodenya, “Kami akan membicarakannya sekitar 20 menit dan memutuskan bahwa aku benar.”

Salah satu tabiat kondang Clough adalah kegemarannya menggenangi lambung dengan minuman keras. Karena dosis alkohol yang offside, jantungnya pernah soak dan mesti diganti. Kasus ini mirip dengan bintang Manchester United era 1960-an, George Best yang doyan mabuk dan sudah lebih dulu tukar jantung. Bedanya, sehabis menjalani operasi yang bisa saja merenggut nyawanya, Clough tidak kehilangan selera humor sama sekali.

“Agar pikiran semua orang tenang, aku tegaskan bahwa dokter tidak mengganti jantungku dengan jantung George Best yang lama.”

Sebagai penutup, mari kita simak kronik yang hampir mustahil pada sebuah laga kompetisi amatir berskala nasional, Peladao di Brasil, sebagaimana diceritakan Alex Bellos dalam Futebol (2014).

Seorang pemain datang telat ketika timnya tengah bertanding. Ia mengisi formulir dan masuk ke lapangan. Kali pertama menyentuh bola ia melewati setengah tim lawan dan mencetak gol, lalu merayakannya dengan berlari masuk ke hutan di sisi lapangan sampai tak terlihat. Tak seorang pun tahu alasannya, sampai beberapa menit kemudian seorang polisi tiba dan semua orang jadi paham bahwa pencetak gol tadi adalah seorang yang tengah buron dari kejaran polisi.

Exit mobile version