MOJOK.CO – Liverpool dan Jurgen Klopp melewati proses pendewasaan yang tidak mudah. Mereka, berkali-kali harus menelan kekecewaan.
Sepak bola memang tak pernah selesai selama 90 menit. Ia adalah ekspresi dari kehidupan itu sendiri. Ia manusia yang terus berkembang, menjadi lebih baik, untuk kemudian masuk ke dalam siklus kematian, tapi akan bangkit lagi dalam periodenya sendiri. Sepak bola, adalah ekspresi manusia.
Sepak bola akan meningkatkan level diri manusia. Menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijak, lebih tenang ketika menghadapi perkara. Manusia yang matang. Namun bisa juga, sepak bola membenamkan manusia ke titik terendah; menjadi manusia penuh dendam, perasaan tidak jenak karena rival selalu menang, hingga benci setengah mati karena sebuah kekalahan.
Liverpool sedang meniti ekspresi itu. Ekspresi seorang manusia yang tengah berkembang, mencari keseimbangan, menemukan kedewasaan bersama Jurgen Klopp. Pendukung Liverpool paham betul makna proses yang terus berulang seperti tak berkesudahan. Sebuah proses pendewasaan yang seperti tiada akhir. Sepanjang 29 tahun, mereka bersabar di Liga Inggris, melihat rival bergantian mengangkat piala, merayakan proses yang menemukan titik equilibriumnya.
Namun kisahnya sedikit berbeda di Liga Champions. Ketika The Reds begitu menderita di Liga Inggris, kebahagiaan dan kejayaan bisa–minimal–bisa mereka rasakan di panggung Eropa. Liga Champions, bersama AC Milan, Real Madrid, Bayern Munchen, dan Barcelona, adalah milik Liverpool. Fans Manchester United, City, dan Chelsea mending diam saja duduk manis minum susu di sudut sana.
Liga Champions adalah taman bermain Liverpool. Sinar terang dari ujung sebuah jalan proses selalu bisa mereka temukan di sana. Di Liga Champions, The Reds adalah manusia unggul; tahan dengan tekanan, paham dengan tanggung jawab, mengerti betul makna kerja keras, dan paling penting: tahu caranya bersenang-senang.
Siapa pendukung The Reds yang tidak membuncah super bahagia ketika mereka bisa membalikkan keadaan untuk melahirkan keajaiban Istanbul? Disuguhi thriller hingga babak adu penalti, disajikan moleknya kebangkitan, dan pada akhirnya dibasuh dengan dessert paling manis di Eropa: mengangkat Si Kuping Besar!
Seperti yang saya tulis di paragraf pertama, sepak bola adalah ekspresi kehidupan. Liverpool mencapai kejayaan seorang laki-laki usia matang. Untuk kemudian redup seiring rayuan zaman. Liver bird butuh regenerasi, seperti burung phoenix yang bangkit dari kungkungan abu. Bersama Jurgen Klopp, mereka sedang mencari ujung jalan pendewasaan itu.
Cara Jurgen Klopp menunjukkan kasih sayang untuk Liverpool
Ia datang ke Inggris berbekal nama besar. Namanya sudah dikenal, sebagai salah satu pelatih muda kontemporer. Ia membawa kegairahan, menjanjikan keseruan panggung heavy metal. Arsene Wenger pernah datang ke Anfield dengan sepak bola orchestra yang anggun. Klopp menyambut dengan raungan gitar dan bass line yang menggugah. Ia menang, dan kegairahan itu nampaknya akan abadi.
Namun, proses pendewasaan bukan hanya satu kemenangan melawan rival. Proses itu selalu panjang, meski relatif bagi kamu masing-masing. Satu hal yang pasti, proses pendewasan Liverpool dan Jurgen Klopp termasuk kegagalan di final Liga Champions dan kepedihan di Liga Inggris ketika mereka kalah oleh “tragedi satu sentimeter” atas Manchester City.
Mereka gagal di waktu paling krusial: ketika ujung jalan kerja keras sedikit terlihat. Tinggal satu tarikan napas, mereka bisa merengkuh hadiah terbesar. Namun, bukan The Reds kalau tidak gagal pada “waktu yang tepat”. Mereka kudu menelan kekecewaan itu, untuk ke sekian kali, sebagai penawar akan kebodohan dan kecerobohan ala seorang bambino.
Jurgen Klopp tahu betul cara mengasihi Liverpool. Ia menunjukkanya lewat cara memimpin. Lima pokok seorang pemimpin ia pegang betul demi meladeni proses pendewasaan yang berulang-ulang ini.
Pertama, Jurgen Klopp menginjeksikan rasa percaya diri. Manusia menguasai sebuah bidang, tapi tidak untuk bidang lain. Ia boleh andal untuk satu hal, tapi harus bisa membiarkan orang lain menuntunnya untuk hal lain. Tanpa kepercayaan diri yang besar, manusia akan minder ketika ia diberi arahan oleh orang yang lebih ahli. Padahal, dirinya tidak menguasai bidang yang dimaksud.
“Itulah wujud kepemimpinan. Kamu dikelilingi orang-orang pintar dengan pengetahuan yang lebih baik ketimbang dirimu. Kami tidak boleh bertingkah tahu semua hal dan kamu harus selalu siap untuk mengakui bahwa kamu tidak tahu akan sesuatu.”
Kesebelasan hidup dalam konteks kepemimpinan itu. Sebagai sebuah jaringan, para pemain menyokong pemain lain dengan kemampuannya. Masing-masing punya andil, punya peran, untuk menyusun sebuah tim menjadi satu kesatuan.
Kedua, kesederhanaan. Jurgen Klopp adalah pelatih yang “terlihat santai”. Ia tidak akan memaksa pemain baru Liverpool untuk langsung tahu semuanya. Ia memberi mereka kebebasan “untuk bermain”, baru kemudian secara perlahan, dituntun dengan informasi.
Lewat cara pendekatan sederhana itu, pemain tidak menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. Mereka yang bermain di atas lapangan. Tanpa kebebasan, para pemain justru tidak berkembang. Para pemain berpikir secara bebas di atas lapangan. Namun, mereka tetap bisa memahami ide dari pelatih. Ingat, sesuatu yang dipaksa itu nggak enak.
Ketiga, energi. Setiap gol Liverpool adalah perayaan untuk Jurgen Klopp. Mengapa ia selalu menunjukkan energi sebesar itu?
“Ada dua alasan mengapa saya begitu penuh semangat di sisi lapangan. Pertama, itu memang karakter saya, meskipun saat ini saya lebih kalem ketimbang dulu. Kedua, saya ini seperti energi cadangan untuk para pemain.”
Liverpool bermain dengan intensitas tinggi hampir di setiap pertandingan. Ada kalanya pemain kehabisan energi dan kehilangan konsentrasi. Saat itu terjadi, pelatih asal Jerman itu akan selalu ada untuk “menendang bokong” setiap pemain, memberi lecutan semangan untuk berlari sekali lagi.
Keempat, membina hubungan yang sehat.
“Sebagai sebuah tim sepak bola, kami harus bekerja dengan kedekatan yang terjaga. Setiap pemain tahu nama dari setiap pegawai di Melwood. Bukan hanya saya yang harus bisa membangun atmosfer positif, tapi setiap dari kami punya tanggung jawab yang sama. Kami menang bersama-sama.”
Hubungan yang sehat itu terlihat di atas lapangan. Trio Sadio Mane, Mo Salah, dan Roberto Firmino punya hubungan telepatik. Dua bek sayap, Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson paham dengan kebiasaan masing-masing. Keduanya tahu kapan harus bertahan untuk membiarkan sisi lain menyerang, dan demikian juga sebaliknya.
“Para pemain mau berpuasa tentu boleh saja. Saya menghormati agama mereka. Toh mereka tetap bisa bermain luar biasa, terlepas dari mereka puasa atau tidak. Ada masanya ketika Mane atau Salah datang terlambat karena mereka harus salat dulu. Ada banyak hal yang lebih penting ketimbang sepak bola.”
Menghormati agama orang itu lain itu (seharusnya) urusan sepele. Nah, memahami orang lain sebagai manusia dengan segala konsep hidupnya, adalah puncak dari kedewasaan seseorang. Kamu sudah bisa begitu?
Kelima, memimpin dengan memberi contoh.
Pesepak bola adalah kumpulan orang dewasa. Dan dewasa itu, bukan perkara soal usia. Dewasa adalah tahu tanggung jawab dan menghargai keberadaan orang lain.
Sebagai pemimpin, Jurgen Klopp tidak butuh “cambuk” untuk menggerakkan para pemain. “Sebagai pemimpin, kamu tidak harus menjadi yang datang pertama dan pulang paling akhir. Namun, kamu harus bisa memberi contoh.”
“Saya akan selalu berusaha untuk sukses. Saya hidup 100 persen untuk para pemain, bersama para pemain, melakukan yang kami bisa untuk klub. Ini bukan filosofi. Ini adalah cara hidup!”
Final Liga Champions 2018/2019 seharusnya menjadi titik akhir dari proses pendewasaan itu. Inilah saatnya mereka menyambut level lebih tinggi dan tidak mengulangi kesalahan yang kolokan. Mereka bukan lagi sekumpulan bambino. Liverpool adalah kumpulan orang dewasa yang tahu kapan wayahe wayahe!