MOJOK.CO – Selamat ulang tahun yang ke-73 Indonesia. Indonesia merdeka, tetapi sepak bola Nusantara masih dijajah, dihantui banyak hal.
Selamat ulang tahun yang ke-73 Indonesia. Usia yang tidak lagi muda untuk sebuah negara, tapi belum juga terlalu tua untuk disebut sebagai sebuah kesatuan. Indonesia merdeka sudah 73 tahun. Peringatan yang sama mengisi detik-detik proklamasi setiap tahunnya. Semoga momen Indonesia merdeka kali ini membawa keberkahan, kesehatan, persatuan, dan tentu saja, sepak bola yang lebih profesional.
Mengapa berbelok ke sepak bola? Ya tentu saja karena ini artikel rubrik Balbalan di Mojok. Ketika Indonesia merdeka, pada kenyataannya, sepak bola masih belum sepenuhnya bebas dari “penjajahan”. Penjajahan dalam rupa seperti apa yang dimaksud? Mojok Institute menyusun lima jenis penjajahan dunia sepak bola Indonesia. Mari dirayakan!
1. Indonesia merdeka, sepak bola masih dijajah kepentingan politik.
Memang betul kalau kamu bilang sepak bola tidak mungkin lepas dari tangan politik. Bahkan, jika mau lebih ekstrem, tanpa politik, sepak bola tidak mungkin ada. Namun, ketika politik dan sepak bola sudah terlalu mesra, banyak batasan yang menjadi kabur. Yang seharusnya objektif, menjadi subjektif. Unsur sportivitas bisa dinego, bahkan dibuat lesap sekejap mata.
Sepak bola Indonesia pernah sangat bergantung dengan salah satu produk politik bernama APBD, sebagai sumber susuan dana klub-klub. Maka jamak kita mendapati ketika kepala daerah, bupati, walikota, bahkan gubernur menjadi ketua umum dan manajer klub. Tujuannya jelas, supaya aliran APBD lebih mudah mengalir masuk ke kas klub.
Setelah APBD tak lagi boleh digunakan untuk membiaya klub, politik(-us) menunggangi sepak bola untuk mendulang popularitas. Politikus memanfaatkan sepak bola, sebagai olahraga paling populer di Indonesia, sebagai kendaraan politik. Contohnya ya si bapak yang rangkap jabatan, dan mungkin memimpin lewat wasap itu. Mau sampai kapan eksploitasi sepak bola oleh politik ini terjadi?
2. Indonesia merdeka, pembinaan sepak bola dijajah oleh aksi instan.
Ketika timnas Indonesia kiris striker berkualitas, PT LIB punya rencana visioner dan begitu cerdas untuk mengatasinya. Saking cerdasnya, sampai-sampai sulit dipahami dan lebih baik ditertawakan. PT LIB, demi striker berkualitas timnas Indonesia, akan melarang klub-klub di Liga 1 menggunakan pemain asing di pos striker. Sungguh brilian, almarhum Johan Cruyff tak mungkin bisa menemukan solusi seterang ini.
Mengapa PT LIB tidak memikirkan pembinaan yang berjenjang dan profesional? Mengapa tak mau mencontoh Jepang dengan membuat kompetisi antarsekolah yang profesional dan didorong penuh oleh negara sampai bikin kartun Captain Tsubasa itu? Mengapa? Ya karena cara instan lebih enak. Hasil cepat didapat, “nama baik” melambung. Untuk satu tahun saja, setelah itu krisis lagi.
3. Indonesia merdeka, namun klub profesional tak punya infrastruktur yang memadai.
Poin ketiga ini ada kaitannya juga dengan poin pertama. Ada klub yang dijanjikan dibangunkan stadion jika seorang calon terpilih sebagai gubernur. Namun, sampai saat ini, klub tersebut masih “terusir” jauh ketika ingin menggelar laga kandang. Terusir dari rumah sendiri, kalau bukan dijajah namanya apa lagi?
Selain stadion, banyak klub yang tak punya infrastruktur yang memadai. Akademi (baik bangunan fisik maupun Sumber Daya Manusia) belum “terbina” dengan baik. Yang terjadi justru pemain muda bermain sangat baik untuk timnas baru diambil klub. Bukan sebaliknya, pemain muda dibina dan bermain apik untuk klub lalu diambil timnas.
Ketiadaan “alat” untuk membangun sepak bola dari dasarnya membuat olahraga ini tak pernah betul-betul maju di Indonesia. Apakah tahun depan saya masih akan menulis hal yang sama lagi?
4. Indonesia merdeka, keuangan banyak klub masih terjajah.
Tolong saya dikoreksi apabila salah. Untuk Liga 1 dan Liga 2, tidak sampai separuh klub yang sudah bisa berdikari. Jika saya betul, memang Indonesia merdeka, tapi keuangan klub masih terjajah.
Hari ini juga, 17 Agustus 2018, ketika peringatan Indonesia merdeka, akun Twitter @PasoepatiNet merilis sebuah berita bahwa Persis Solo terancam mengundurkan diri dari ajang Piala Suratin 2018 karena masalah dana. Tengok juga ketika PSIM Yogyakarta dihukum mengawali liga dengan pengurangan sembilan poin karena gagal membayar gaji mantan pemain mereka.
Masalah keuangan juga yang membuat banyak pemain Sriwijaya FC angkat kaki. Gaji yang tidak tertib terbayar, bonus yang juga kadang seret cair, dan lain sebagainya. Jika masalah ini saja tidak selesai, kapan sebuah klub akan membuat cetak biru pembinaan yang berjenjang dan membeli pemain-pemain berkualitas?
5. Indonesia merdeka, tapi beberapa suporter masih belum mengerti makna persatuan.
Sepak bola tak akan bisa dilepaskan dari rivalitas, baik klub maupun suporter. Untuk klub (para pemain), rivalitas hanya terasa selama 2×45 menit saja seperti yang diungkapkan pemain PSIM Yogyakarta kepada Metro TV dalam sebuah wawancara. Lantas, bagaimana dengan suporter? Sampai kapan saling serang, saling melukai, saling bunuh akan dilakukan?
Fajar Junaedi, penulis, peneliti, sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyampaikan pesan yang sangat jernih, yang seharusnya suporter paling tidak melek literasi pun memahaminya.
Fajar Junaedi menyebutkan bahwa, “Sepak bola itu adalah perayaan. Kita datang ke stadion untuk merayakan sepak bola. Kita datang ke stadion bukan untuk meratapi kematian. Pertandingan sepak bola adalah perayaan bukan upacara kematian.”
Mengapa suporter Indonesia begitu jauh dari kata “persatuan”? Mendukung secara wajar, memeriahkan sepak bola secara sederhana sudah cukup. Rusuh, yang rusak bukan nama suporter, melainkan klub yang kalian cintai. Rusuh, yang mendapat sanksi bukan suporter, namun klub. Jika klub disusahkan oleh ulah suporter, kapan klub bisa konsentrasi penuh dengan sepak bola itu sendiri?
Indonesia merdeka, namun sepak bola masih terjajah.