MOJOK – Final Liga Champions menunjukkan dengan jelas kelemahan Liverpool. Oleh sebab itu, manajemen The Reds bekerja sangat cepat untuk menambal kelemahan tersebut dengan membeli Fabinho dan Naby Keita.
Ketika membeli Tiemoue Bakayoko dari AS Monaco, banyak pengamat yang bersepakat bahwa Chelsea sudah membuat kesalahan. Seharusnya, manajemen The Blues membidik duet Bakayoko di lini tengah Monaco, yaitu Fabinho. Gelandang asal Brasil ini dianggap lebih komplet ketimbang Bakayoko, di mana musim perdananya bersama Chelsea tak begitu cemerlang meski berhasil menggondol Piala FA.
Fabinho sendiri diminati, setidaknya, oleh tiga klub besar di Inggris. Klub yang paling intens melakukan pendekatan adalah Manchester United. Disusul kemudian Liverpool dan Arsenal. pendekatan United cukup intens, mengingat musim ini Michael Carrick akan pensiun dan membutuhkan pengganti dengan level yang memuaskan.
Namun pada akhirnya, Fabinho memilih Liverpool sebagai peraduan karier selanjutnya. Gelandang serbabisa tersebut menolak pendekatan yang sudah lebih dulu dilakukan Arsenal. Pada dasarnya, pemain berusia 24 tahun tersebut lebih nyaman bergabung dengan klub yang “benar-benar menginginkannya”.
“Saya sudah berbicara dengan perwakilan klub, dengan pelatih juga, yang mana mereka memberi saya kepercayaan diri lebih. Saya ingin bergabung dengan klub yang benar-benar menginginkan saya, yang sudah menunjukkan ketertarikan lebih nyata. Dengan alasan itu, saya mudah untuk menerima tawaran Liverpool. Saya tidak banyak berpikir dan langsung memberi lampu hijau kepada agen saya untuk menyelesaikan kesepakatan ini,” ungkap sang pemain kepada jurnalis.
Liverpool memang bekerja cepat, meskipun boleh dibilang sudah melakukan pendekatan selama tiga minggu. Ketika Fabinho menyatakan siap bergabung, The Reds bekerja sangat cepat, hanya perlu satu jam untuk menyelesaikan transfer ini. Nilai transfer mencapai 40 juta euro menjadi mahar yang langsung diterima manajemen Monaco.
Menambal kelemahan menggunakan kualitas Fabinho (dan Naby Keita)
Sebelum laga final Liga Champions, saya membuat analisis bahwa lini tengah Liverpool punya kelemahan yang nyata. Kelemahan yang saya maksud adalah ketidakmampuan armada Jürgen Klopp untuk menguasai bola lebih lama. Dengan kata lain, Liverpool kesusahan untuk bermain possession football ketika dibutuhkan. Dan kelemahan itu memang terjadi. Real Madrid terlalu dominan di lini tengah.
Komposisi gelandang sentral Liverpool sendiri memang tidak memungkinkan mereka bermain possession football. Praktis, hanya Jordan Henderson yang nyaman menguasai bola di wilayah sendiri sembari ditekan oleh lawan. James Milner dan Giorginio Wijnaldum, dua pemain yang bermain di laga final, tak punya atribut tersebut.
Pun jika mau jujur diakui, Liverpool kehilangan kekuatan dari lini kedua ketika Emre Can cedera. Menjadi semakin pelik ketika Alex Oxlade-Chamberlain juga menyusul absen karena cedera. Bahkan, Chamberlain sampai tidak bisa bermain di Piala Dunia. Dua pemain ini, Can dan Chamberlain, punya atribut yang lebih mendukung serangan balik Liverpool ketimbang Milner dan Wijnaldum.
Chamberlain adalah jembatan antara lini tengah dan lini depan. Ia banyak berposisi di antara dua gelandang dan trio penyerang. Tak hanya kemampuan umpan yang cukup baik, akselerasi dan penetrasi pemain asal Inggris tersebut memungkinkan Liverpool untuk memindahkan bola lebih cepat dari wilayah sendiri ke sepertiga akhir.
Contoh yang paling jelas adalah performa Chamberlain ketika Liverpool dua kali mengalahkan Manchester City pada babak perempat final Liga Champions. Kemampuan inilah yang diharapkan bisa Liverpool petik dari kualitas Naby Keita. Pemain berusia 23 tahun yang dibeli dari RB Leipzig dengan mahar 60 juta euro tersebut punya atribut yang lebih lengkap dibandingkan Chamberlain.
Naby Keita adalah pemain yang versatile, atau bisa bermain di banyak posisi di sektor gelandang. Ia punya kecepatan, baik akselerasi menggunakan bola atau ketika mengumpan. Cocok untuk sistem serangan balik Liverpool. Naby Keita adalah sosok pemain yang agresif dan sangat dinamis. Dengan visi dan teknik mengumpan yang baik, ia bisa bermain di dua sistem, counter-based dan possesion-based.
Sementara itu, Fabinho biasa berposisi lebih dalam dari rekannya di lini tengah. Boleh dibilang, ia adalah upgrade dari Henderson. Posturnya yang mencapai 188 sentimeter membuat Fabinho sangat dominan ketika kontak fisik dengan pemain lawan. Kaki yang panjang juga memungkinkan dirinya merebut bola tanpa menjatuhkan badan.
Pemain ini juga fasih menguasai bola ketika dibutuhkan, melindungi lini pertahanan, bahkan mencetak gol ketika mendapatkan kesempatan masuk ke kotak penalti. Jika mampu beradaptasi dan berkembang sempurna, Liverpool akan mendapatkan “Yaya Toure muda” dalam diri Fabinho. Ia sosok gelandang yang lengkap.
Dua pemain baru ini masih berusia muda (24 dan 23 tahun). Jadi, bisa dibilang Liverpool sudah melakukan investasi bijak untuk jangka panjang. Sebuah kebijakan yang baik dari sisi bisnis, sekaligus usaha yang cemerlang untuk menutup kelemahan mereka di lini tengah.