MOJOK.CO – Liga Inggris terjebak ke dalam sebuah dilema ketika Chelsea berpeluang ditinggal minggat Callum Hudon-Odoi, salah satu winger muda terbaik Inggris saat ini.
Semenjak menjuarai Piala Dunia U-20, talenta-talenta muda dari Inggris mulai dilirik oleh klub-klub teras di Eropa. Padahal sebelumnya, pemain-pemain muda dari Inggris dianggap kurang menjanjikan apabila dibandingkan dengan wonderkid produksi Spanyol, Jerman, Italia, negara-negara Amerika Selatan, bahkan Portugal.
Jika kita menarik waktu ke belakang, pemain-pemain muda Inggris baru mulai “lebih menarik” ketika sepak bola modern mulai diperkenalkan. Sekitar satu dasawarsa terakhir, wonderkid ini harus menemukan momennya tersendiri supaya bisa mendapatkan kesempatan.
Siapa yang bisa mengira kalau Fergie’s Babe bisa menjadi tulang punggung Manchester United dalam waktu yang lama. Pemain-pemain seperti Gary dan Phil Neville, David Beckham, Nicky Butt, hingga Ryan Giggs “menemukan momen” mereka masing-masing di bawah asuhan Sir Alex Ferguson.
Ketika tidak ada momen yang datang, atau tidak terlalu istimewa, mereka akan dinomorduakan. Apalagi ketika Liga Inggris menjadi sebuah mesin industri raksasa. Beberapa klub bangkit dari kematian setelah disuntik dana dari para tapian. Keberadaan dan perkembangan pemain muda bukan di tim utama. Klub perlu berinvestasi kepada pemain jadi, pemain bintang, untuk mengangkat citra dan prestasi klub.
Contoh yang paling kentara adalah Chelsea, setelah Roman Abramovich “terinspirasi” oleh megahnya laga Manchester United vs Real Madrid di Liga Champions. Sebuah pertandingan klub yang dianggap paling menarik pada zamannya. Membeli Chelsea adalah manifestasi “inspirasi” Roman untuk ikut menanam uang di Liga Inggris.
Sejak saat itu, Chelsea menjadi klub kosmopolitan. Tim utama mereka diwarnai pemain-pemain dari berbagai negara. Tentu saja, mereka adalah pemain bintang, atau yang tengah menanjak. Didier Drogba, Arjen Robben, dan “rombongan FC Porto” yang disertai juga oleh kedatangan Jose Mourinho. Prestasi datang, nama The Blues mulai menjulang. Menjadi salah satu kekuatan yang kudu diperhitungkan di Liga Inggris.
Chelsea: The Loan Army
Juara dan nama besar berhasil dipetik The Blues. Namun, di sisi lain, mereka perlu mengorbankan satu aspek, yaitu keberadaan pemain muda. Sampai November 2018, mereka sudah meminjamkan 30 pemain ke klub lain. Kebanyakan pemain muda yang perlu mendapatkan menit bermain. Saking banyaknya, mereka mendapatkan julukan “The Loan Army”.
Kasus yang paling gres adalah Christian Pulisic dan Callum Hudson-Odoi. Januari 2019, Chelsea resmi mendapatkan tanda tangan Pulisic, wonderkid yang sebelumnya bermain untuk Borussia Dortmund. Alih-alih langsung menggunakan jasanya, The Blues memulangkan Pulisic ke Dortmund untuk “dipinjamkan” sampai akhir musim.
Pulisic menyusul Kevin De Bruyne, Kurt Zouma, Christian Atsu, Michael Hector, dan Danilo Pantic yang langsung dipinjamkan di hari yang sama ketika mereka resmi dibeli.
Situasi yang sedikit berbeda terjadi kepada Callum Hudson-Odoi. Pemain sayap berusia 19 tahun tersebut berada di ambang pintu keluar Stamford Bridge. Bukan untuk dipinjamkan, melainkan dilepas ke Bayern Munchen.
Dilema Liga Inggris
Callum Hudson-Odoi, disebut sebagai salah satu winger terbaik yang dimiliki Inggris saat ini. Namun, ketika ia mendapatkan julukan yang cemerlang itu, nasibnya bersama The Blues tidak begitu jelas. Ketika Willian dan Pedro tidak bermain apik, Maurizio Sarri belum berani memberikan kesempatan lebih banyak kepada Callum Hudson-Odoi.
Situasi ini tidak lepas dari pantauan Bayern. Niko Kovac, pelatih mereka, mengungkapkan bahwa Callum Hudson-Odoi yang berusia sama seperti Jadon Sancho, keduanya sangat sukses bersama tim muda Inggris. Oleh sebab itu, sangat normal apabila klub seperti Bayern memantau pemain “seperti mereka”. Tentu saja pemain muda potensial yang tidak mendapatkan kesempatan.
Callum Hudson-Odoi, jika pada akhirnya memilih mengamankan kariernya dengan hengkang ke Bayern, akan menyusul Jadon Sancho. Jadon adalah produk akademi Manchester City. Peluangnya sangat tipis untuk bisa tembus ke tim utama City yang dihuni gelandang-gelandang mewah nan mahal.
Bergabung bersama Dortmund menjadi pilihan yang tepat bagi Jadon Sancho. Kini, ia menjadi salah satu winger terbaik di Bundesliga. Menyusul Jadon Sancho, Reiss Nelson juga mengambil keputusan untuk hijrah ke Bundesliga untuk bergabung bersama Hoffenheim.
Bedanya, Reiss Nelson berstatus pinjaman dari Arsenal. Persamaannya, baik Jadon Sancho maupun Reiss Nelson, berkembang begitu pesat. Mewahnya menit bermain yang mereka dapat menjadi “alat” paling pas untuk mengembangkan karier. Sebuah kemewahan yang belum tentu mereka dapatkan jika bertahan di Inggris.
Kesuksesan Jadon dan Reiss, tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi Callum Hudson-Odoi. Bermain di Jerman, dengan kultur “sepak bola akademis” yang baik adalah surga bagi pemain muda. Ketika Chelsea tidak bisa menjamin menit bermain untuk Callum Hudson-Odoi, Bayern adalah destinasi yang seksi, apalagi ketika Arjen Robben dan Frank Ribbery semakin menua dan butuh regenerasi.
Ibarat “bunga desa” yang mulai ranum, Callum Hudson-Odoi akan mendapatkan kepastian masa depan yang lebih terang ketika menerima pinangan Bayern ketimbang bertahan bersama pemuda kaya raya namun egois seperti Chelsea. Mblo, kepastian, terkadang lebih penting ketimbang gendutnya rekening yang kamu miliki.
Kenapa? Karena pemuda kaya raya yang egois lebih mudah melirik “bunga desa” lainnya yang lebih menggairahkan ketimbang dirimu.
Dilema, klub-klub Liga Inggris terjebak di antara sepak bola Industri yang menuntut mereka berprestasi (secara instan) dan pengembangan pemain muda. Terdengar seperti liga di sebuah negara yang tengah bergulat dengan misi membabat habis mafia bola. Sama-sama sepak bola industri, tapi yang satu industri pertambangan, satunya UKM pengeleman benang teh celup.
Apakah kasus Chelsea dan Callum Hudson-Odoi akan terus berlanjut dan Liga Inggris ditinggal talenta-talenta terbaik mereka? Ingat, ketika belum bermain untuk timnas senior, mereka masih bisa berganti kewarganegaraan.
Untuk saat ini, masih lebih meyakinkan membela Spanyol atau Jerman ketimbang Inggris yang baru bisa sebatas mengampanyekan “football is coming home”. Hiya hiya hiya…