MOJOK.CO – Sejak lama, Arsenal sudah “dikantongi” Jose Mourinho. Dan seperti keledai super dungu, Arsenal justru menuju lubang kebodohan yang sama.
Seharusnya, di dunia ini, yang namanya kebodohan itu ada batasnya. Ada kalanya orang bodoh sadar kalau usahanya salah dan mencoba cara baru. Namun tidak untuk Mikel Arteta dan Arsenal. Seperti keledai yang menikmati kubangan. Mereka menceburkan diri ke lubang kebodohan yang sama… berkali-kali.
Jauh sebelum kalah dari Tottenham Hotspur, tim dengan emblem meriam lapuk dari zaman Napoleon Bonaparte ini sudah “dikantongin” Jose Mourinho. Tepatnya ketika merasa “sudah baik-baik” saja setelah mengalahkan Manchester United dan beberapa kemenangan “minor” di Liga Europa.
Seperti keledai dungu, ketika menghadapi lawan yang lebih siap, Arsenal menuju kubangan yang sama dan menikmati lumpur kebodohan di sana. Bagaimana bisa, sebuah tim melepaskan 44 umpan silang dan tidak ada satu pun yang maksimal mengubah skor?
Oya, saya lupa. Mikel Arteta sendiri menjadi sponsor dari sebuah pemeran kebodohan setelah kalah dari Wolves. Arteta merasa bahwa ratusan ribu umpan silang yang dilepaskan Arsenal tidak akan sia-sia. Padahal, bahkan fans dari pedalaman Sewon, mbantul, saja paham bahwa umpan silang Arsenal sama seperti kentut di hadapan lini pertahanan yang sudah siap.
Jose Mourinho paham sekali dengan kebiasaan ini. Di laga ini, Spurs membuat 50 kali defensive clearances. Artinya, umpan silang yang dilakukan Arsenal, sampai 44 kali itu, sudah diantisipasi. Umpan silang dan Arsenal sudah seperti ungkapan “orang buta menuntun orang buta”.
Butuh catatan statistik yang lebih “panas” untuk Arsenal?
Tahukah kamu, saat ini, Arsenal menjadi tim yang paling rendah mencatatkan tembakan ke gawang di babak kedua dibandingkan 92 tim lainnya di Premier League, Championship Division, League One, dan League Two? Betul. Arsenal lebih buruk dari SEMBILAN PULUH DUA tim lainnya di empat kasta Liga Inggris. Edan!
Ketika mencatatkan kemenangan dari Manchester United, tim ini merasa bahwa cara yang sama bisa diterapkan untuk menghadapi tim lain. Kembali, Arsenal seperti keledai dungu yang justru menuju lubang kesalahan yang sama. Bagaimana cara Jose Mourinho “mengantongi” Arsenal?
Mudah saja. Jawabannya ada di pernyataan Jose Mourinho setelah Spus mengalahkan Manchester City. Waktu itu, dia bilang, “City boleh menguasai pertandingan bahkan membawa bolanya pulang. Namun, saya yang bawa pulang tiga poinnya.”
Sederhananya begini: “Biarin aja Arsenal main umpan, pindah ke kanan lalu ke kiri. Kalau udah mentok, pasti kasih umpan silang atau bikin kesalahan. Ketika itu terjadi, lempar bola ke depan. Kombinasi di depan bakal bikin Spurs menang. Orang mereka goblok.”
Apakah itu cara yang buruk untuk menang? Jelas tidak. Sepak bola adalah soal menemukan kelemahan lawan lalu mengeksploitasinya. Siapa saja yang bilang cara bermain Jose Mourinho membosankan mungkin lebih baik ganti olahraga ke sumo. Atau mending diam dan menyegel mulutnya sendiri.
Sebetulnya, kemenangan Jose Mourinho ini bisa ditarik ke masa silam. Bahkan ketika Arsenal masih dilatih Arsene Wenger. Tim mana saja yang dilatih Mourinho tidak akan membuang waktu dan energi untuk menang penguasaan bola. Hal itu sudah terpampang dengan nyata di sepanjang sejarah pertandingan Mourinho.
Namun, Arteta, yang bisa dibilang masih sangat hijau dan punya pikiran yang ruwet, tidak menyadarinya. Bagaimana bisa, seorang fans di Indonesia, yang kerjanya menulis ulasan pertandingan, lebih bisa merasakan bahaya sejak susunan pemain Arsenal diumumkan?
Ketika seorang fans merasa lebih tahu, dan celakanya tebakannya menjadi kenyataan, ketimbang pelatih, maka ada yang salah dengan si pelatih….
Melawan tim yang menumpuk pemain dan mengincar serangan balik, teorinya sangat sederhana. Pertama, kamu harus efektif dengan penguasaan bola. Umpan silang 44 kali tanpa membuahkan hasil bukan cerminan cara bermain yang efektif. Kedua, punya banyak variasi serangan.
Di Liga Europa, setelah kemenangan dari Rapid Vienna, Ainsley Maitland-Niles bilang ke wartawan: “I had a bit of legs in the midfield, got about, tried to tackle, win the ball back, get up and down the pitch and give us a bit more dynamics.”
Silakan artikan sendiri kalimat tersebut. Ketika Xhaka berduet dengan Partey, lini tengah kehilangan sisi dinamis. Tidak ada pemain yang sadar dengan pentingnya verticality selain Partey. Ketika Partey harus istirahat karena cedera, Arteta memasukkan Dani Ceballos. Ainsley Maitland-Niles dan Mo Elneny yang bisa menghadirkan verticality malah dianggurin di bangku cadangan.
Mengapa verticality penting? Karena ketika ada pemain yang masuk ke ruang antar-lini lawan (misalnya ruang di depan kotak penalti), progresi bola akan lebih mudah dan lebih bervariasi. Salah satu contohnya adalah gol Emile Smith-Rowe di Liga Europa, ketika Ainsley Maitland-Niles merangsek ke depan dan membuat asis.
Ketika sisi dinamis dan variasi itu dipangkas, tidak ada cara lain selain menyebar umpan ke dua sisi lapangan. Untuk apa? Sekali lagi, karena tidak ada variasi, maka Arsenal hanya bisa melepas umpan silang, di mana Spurs sudah siap menunggu.
Nah, kalian lihat, bukan? Bahkan seorang fans tahu apa yang perlu dilakukan ketika situasi menemui jalan buntu. Arsenal sangat menyedihkan dan Jose Mourinho kembali menghadirkan masterclass ala dirinya. Sebuah cara bermain untuk menang, bukan sekadar menghadirkan sepak bola indah.
Sejak lama, Arsenal sudah “dikantongi” Jose Mourinho. Dan seperti keledai super dungu, Arsenal justru menuju lubang kebodohan yang sama. Lagi dan lagi.
BACA JUGA Arsenal di Antara Kesederhanaan Mo Elneny dan Imajinasi Mesut Ozil dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.