Arsenal Seperti Tim Liga Indonesia yang Biasa ‘Bubar’ di Akhir Musim

Arsenal Seperti Tim Liga Indonesia yang Biasa ‘Bubar’ di Akhir Musim MOJOK.CO

Arsenal Seperti Tim Liga Indonesia yang Biasa ‘Bubar’ di Akhir Musim MOJOK.CO

MOJOK.COSeperti tim tanpa pijakan, bukan hal aneh kalah Arsenal kalah di akhir pekan. Akan tidak adil jika sebuah tim hampir bisa mengalahkan Arsenal tapi justru pulang dengan tangan hampa. Seberapa buruk Arsenal? Ya seperti itu.

Dulu, ada satu kebiasaan tim-tim di Liga Indonesia yang terdengar aneh. Kebiasaan itu kita kenal dengan istilah “pembubaran tim” di akhir musim. Bagaimana bisa, sebuah tim profesional, “membubarkan tim” lalu membentuk lagi sebelum kompetisi dimulai. Aneh banget.

Aneh banget karena sebuah tim tidak akan menemukan konsistensi dan keseimbangan. Untuk tim kaya, “membentuk tim” adalah mengumpulkan pemain mahal dengan kontrak jangka pendek. Sekali berprestasi, lalu bubar lagi. Untuk tim semenjana, yang terjadi adalah mereka hanya sebatas “bisa ikut kompetisi”.

Akibatnya, tim-tim semenjana ini tidak bisa berkembang. Mereka hanya bisa menampung pemain-pemain yang juga “semenjana”. Para pemain yang tidak bermain untuk lambang di dada, tetapi memperjuangkan sejumlah gaji di dalam kontrak. Tidak ada keteraturan, tidak ada tim yang solid. Persis seperti Arsenal.

Seperti tim-tim di Liga Indonesia dengan kebiasaan aneh, Arsenal menjadi semenjana secara paripurna. Ketika sebuah tim hanya bisa bermain baik di satu akhir pekan, untuk kemudian menyedihkan di akhir pekan lainnya, tim seperti Arsenal ini wajar mendapat status tim papan tengah.

Tim yang tidak memiliki stabilitas dan konsistensi tidak akan mendapat “sesuatu” ketika melawan tim yang lebih kuat. Hanya ada rasa takut, merasa inferior, dan takut mengambil risiko. Hasil imbang adalah hasil minimal untuk tim seperti ini dan kekalahan bukan hal aneh untuk terjadi.

Perasaan yang sama ditunjukkan Arsenal ketika melawan West Ham United, dua minggu sebelum kalah dari Liverpool. Sepanjang 30 menit babak pertama, narasi terbesar Arsenal terbaca sangat jelas: tidak konsisten dan tidak ada keteraturan untuk bermain. Dan mereka pun tertinggal 0-3 sebelum menyamakan kedudukan menjadi 3-3.

Kalau mengingat hasil imbang itu, timbul rasa prihatin untuk West Ham United karena mereka layak untuk menang. Perasaan seperti ini saja sudah sangat menggambarkan betapa takdir Arsenal di papan tengah bukan “kebetulan”. Habitat untuk para pecundang memang ada di bayang-bayang.

Obrolan soal skuat Arsenal yang tidak seimbang sudah terlalu sering dikumandangkan. Tinggalkan sejenak soal tema reformasi skuat untuk musim panas. Mikel Arteta boleh menegaskan bahwa kekalahan atas Liverpool bukan soal kelelahan secara fisik, tapi soal mental. Oleh sebab itu, paduan inkonsistensi dan kelelahan secara mental adalah kombinasi terbaik akan kehancuran.

Lemah secara mental dan merasa inferior di depan lawan akan mematikan logika. Jurgen Klopp pernah mengungkapkan bahwa untuk mengalahkan Arsenal, mereka hanya perlu menambah jumlah pemain di depan (counterpress). Ketika Liverpool melakukannya, Arsenal akan kehilangan cara dan sering melakukan umpan jauh.

Cara tersebut diulangi lagi ketika Liverpool bertandang ke Emirates pada Minggu (04/04). Sederhana sekali. Mereka menekan dengan jumlah pemain dan membuat area permainan Arsenal menjadi lebih kecil. Ketika skuat asuhan Arteta ini kehilangan logika, mereka akan melepaskan umpan jauh. Sebuah insting untuk sekadar “bertahan hidup” bukan menciptakan sesuatu.

Pada titik ini, Arsenal kembali seperti sebuah skuat yang baru berkumpul satu bulan. Mirip seperti tim-tim semenjana Liga Indonesia yang dulu punya kebiasan “membubarkan skuat” di akhir musim. Tidak ada logika di sana dan meletakkan dasar sepak bola kepada dua unsur saja, yaitu umpan lambung dan insyaallah.

Seberapa buruk, sih, Arsenal sebenarnya? Saya kasih tahu satu hal ironis.

Keberhasilan Arsenal mendapatkan tanda tangan Gabriel Magalhaes mendapat pujian. Sebagai individu, Gabriel adalah salah satu bek muda terbaik di Liga Prancis musim lalu.

Saat ini, Gabriel sudah merasakan sembilan kekalahan dari 17 laga Liga Inggris bersama Arsenal. Sementara itu, Lille, mantan klubnya, baru menderita tiga kekalahan dari 31 laga. Kini, Lille duduk di peringkat satu Liga Prancis dan punya kesempatan besar menjadi juara setelah di laga terakhir berhasil mengalahkan PSG.

Kualitas individu akan tenggelam di tengah skuat yang kehilangan logikanya. Perlahan, kualitas individu itu akan terkikis. Perlahan, pemain yang bagus akan kehilangan banyak hal. Mulai dari kepercayaan diri hingga kestabilan mental. Perlahan, dia akan satu level dengan kawan-kawannya yang semenjana.

Seperti tim tanpa pijakan, bukan hal aneh kalah Arsenal kalah di akhir pekan. Akan tidak adil jika sebuah tim hampir bisa mengalahkan Arsenal tapi justru pulang dengan tangan hampa. Seberapa buruk Arsenal? Ya seperti itu.

BACA JUGA Arsenal Bukan Klub Bola, tapi Rumah Jagal: Ancaman Pembunuhan Arteta dan Tumbangnya Partey dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version