Arsenal Kalah ketika Melawan Pemain ke-12 Manchester City

Teknologi itu bukan solusi. Cara memecahkan sebuah permasalahan selalu kembali ke hati nurani manusia.

Arsenal Kalah Melawan Pemain ke-12 Manchester City MOJOK.CO

Ilustrasi VAR. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPada akhirnya, fans Arsenal tidak perlu kecil hati dengan kekalahan dari Manchester City ini. The Gunners bermain jauh lebih baik.

Laga antara Arsenal vs Manchester City adalah drama dua babak. Drama babak pertama, sebagai tuan rumah, Arsenal menunjukkan caranya meredam sang juara bertahan. Bahkan unggul lebih dulu ketika pertandingan berjalan dengan “bersih” dan profesional.

Terdapat sebuah momen ketika Arsenal tidak mengizinkan Manchester City keluar dari zonanya. Kalau tidak salah hitung ada lebih dari 22 menit ketika The Gunners sangat dominan. Selain satu gol dari Bukayo Saka, The Gunners juga seharusnya mendapatkan penalti.

Fans Arsenal meneriaki wasit, tapi akhirnya bisa menerima keputusan itu. Pada akhirnya, kebebalan wasit Inggris memang nggak ada obatnya. Fans The Gunners bisa menerimanya, tapi mereka tidak tahu bahwa kebodohan wasit di babak pertama adalah sebuah setup untuk sebuah punchline murahan di babak kedua.

Babak kedua drama murahan itu dimulai….

Diawali dengan sebuah kecerobohan dari Gabriel Magalhaes. Bek muda dari Brasil itu menerjang Gabriel Jesus tanpa berpikir ulang. Dia tetap bermain agresif meski sudah mengantongi kartu kuning. Sebetulnya, keputusan Gabriel untuk menekan Jesus sudah tepat. Proses serangan balik Manchester City perlu diredam sedini mungkin. Namun, keputusannya untuk menghalangi lari Jesus itu tidak tepat.

Tidak ada masalah dengan kartu merah tersebut. Masalahnya adalah wasit yang tidak konsisten. Stuart Attwell, yang bertugas malam itu, memang punya rekam jejak menjijikkan. Dia pernah diasingkan selama empat tahun dari kompetisi profesional karena kesalahan pengambilan keputusan yang fatal.

Stuart Attwell memberi Gabriel kartu kuning, tapi membebaskan Rodri, gelandang Manchester City. Padahal, Rodri, melakukan pelanggaran yang mirip kepada Bukayo Saka. Ingat, kartu kuning untuk sebuah pelanggaran krusial adalah biasa. Menjadi tidak biasa ketika wasit tidak konsisten dengan isi kepalanya.

Kebodohan itu terjadi juga. Di babak kedua, Granit Xhaka disangka menjegal Bernardo Silva di dalam kotak penalti. Hakim garis sudah menyatakan bahwa jegalan Xhaka bukan pelanggaran. Namun, ruang VAR menyarankan wasit untuk memeriksa ulang pelanggaran tersebut. Ini juga hal biasa.

Stuart Attwell dan semua wasit melakukan pemeriksaan ulang lewat VAR. Ini standar operasional yang benar. Xhaka dinyatakan bersalah dan Arsenal menderita penalti. Ini juga biasa terjadi. Manchester City memaksimalkan penalti dan menyamakan kedudukan. Normal.

Yang tidak normal adalah Stuart Atwell yang tidak konsisten. Kenapa dia tidak meminta pemeriksaan ulang lewat VAR ketika Martin Odegaard diganjal kiper Manchester City? Konon Stuart Atwell berdiri di posisi yang kurang ideal untuk mengambil keputusan.

Bukankah VAR diciptakan untuk ini? Bahkan dipakai secara benar di insiden Xhaka dan Bernardo Silva. Dicek saja tidak, pun Stuart Atwell berdiri di posisi yang tidak ideal untuk mengambil keputusan. Sekali lagi, bukankah VAR diciptakan untuk mengantisipasi kesalahan pengambilan keputusan seperti ini?

Teknologi itu bukan solusi. Cara memecahkan sebuah permasalahan selalu kembali ke hati nurani manusia. Kalau manusia di belakang VAR itu picik dan tidak netral, selamanya teknologi cemerlang ini tidak akan ada gunanya. Apalagi ketika Stuart Atwell yang bias itu bertugas.

Arsenal, di babak pertama, menunjukkan bahwa mereka jauh lebih bagus ketimbang Manchester City. Saya tidak terlalu setuju ketika City dikatakan punya mental bagus sebagai juara bertahan. Mereka juga manusia. Yang bakal di atas angin ketika diuntungkan oleh pemain ke-12 mereka sendiri.

Coba kita balik posisinya. Manchester City yang selalu dirugikan. Ramsdale mengganjal Sterling. Tidak penalti. Laporte kena kartu merah, tapi Xhaka tidak padahal pelanggarannya sama. Diving yang dilakukan Saka ketika diganjal Nathan Ake berbuah penalti. Jalannya laga pasti sangat berbeda.

Hal ini menggambarkan betapa wasit yang tidak kompeten bisa mengubah jalannya laga secara signifikan. Sayangnya, board dari FA dan asosiasi wasit tidak pernah melakukan review secara menyeluruh dan tegas. Wasit tidak kompeten masih diberi panggung. Konyolnya, seorang wasit bisa memimpin sebuah laga di mana klub yang bertanding adalah klub yang dia dukung. Absurd.

Lucunya, Arsenal kerap menjadi korban dari kebodohan wasit ini. Injakan pemain Everton ke muka Tomiyasu tidak berbuah kartu merah. Tarikan Maguire kepada Tomiyasu dianggap bukan pelanggaran. Kaki belakang Saka dihajar dengan keras oleh pemain Crystal Palace. Odegaard diganjal Ederson. Tidak ada penggunaan VAR di semua kejadian ini. Kenapa?

Katanya, barisan wasit Inggris merasa sakit hati karena Arsenal pernah melewati satu musim tanpa terkalahkan. Saya merasa agak janggal dengan opini ini. Nggak ada hubungan yang logis antara kedua hal yang berbeda ini.

Namun, satu hal yang pasti, Arsenal bukan korban tunggal di sini. Hampir semua klub pernah menjadi korban kebodohan wasit. Semua klub hanya tinggal menunggu giliran saja menjadi korban. Sekarang menertawakan nasib Arsenal, minggu depan meraung memaki ketika klubnya jadi korban wasit Inggris. Sudah biasa.

Pada akhirnya, fans Arsenal tidak perlu kecil hati dengan kekalahan dari Manchester City ini. The Gunners bermain jauh lebih baik. Kali ini, bukan sikap pemain Arsenal yang mengecewakan dan menjadi blunder seperti sebelumnya. Mereka kalah oleh “alam”, oleh pemain ke-12 Manchester City, man of the match dari big match tadi malam.

BACA JUGA Arsenal dan 2 Kartu Merah: Craig Pawson Serta Semua Wasit Liga Inggris Mengantre Paling Depan Masuk Neraka Jahanam dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version