Cukupkan Sindrom Ratu Lebah, Saatnya Perempuan Saling Menguatkan

MOJOK.COSindrom ratu lebah adalah sebuah kondisi yang membuat perempuan merasa tersaingi justru oleh perempuan lainnya.

Saya sering merasa kagum dengan perempuan yang bisa begitu percaya diri dalam menghadapi kehidupannya. Yakin dengan jalan kehidupan yang dia pilih. Serta, tidak menganggap rendah kemampuan dirinya sendiri. Pasalnya, tidak banyak perempuan yang sanggup bersikap demikian. Mungkin saya salah satunya. Eh.

Alam bawah sadar saya sering menganggap banyak hal yang saya dapatkan merupakan atribusi dari hal-hal di luar saya. Orang-orang di sekitar sayalah yang berkontribusi besar terhadap hal-hal yang saya capai. Bukan dari saya sendiri. Lebih jauh lagi, saya sering merasa tidak nyaman jika tampak terlalu ‘sukses’. Atau tidak pantas untuk mencapai sukses itu sendiri.

Dalam salah satu fase kehidupan saya, saya pernah mengalami kesuksesan—yang menurut saya—agak keterlaluan. Tepatnya sewaktu SMA dulu. Ketika itu, saya terlalu banyak mengikuti berbagai perlombaan. Ya, ada yang menang ada pula yang sudah puas dengan membawa piagam peserta. Bahkan bisa dikatakan, saya sampai kecanduan ikut lomba. Lantaran, saya senang dengan sensasi yang saya rasakan dalam situasi deg-deg an kompetisi.

Lantas, yang kemudian saya sadari: karena hobi saya ini, saya jadi tidak punya banyak teman.

Saya merasa sangat menyedihkan, ketika menyadari hanya punya sangat sedikit teman dekat. Yakni teman yang betul-betul dapat saya recoki di berbagai kesempatan tanpa rasa sungkan. Apalagi ketika saya tahu, diam-diam saya dibicarakan di belakang. Teman-teman perempuan saya, ternyata menganggap saya sebagai perempuan yang terlalu ambisius. Tipe kepribadian yang berkonotasi negatif, dan nggak bakal nyaman untuk dijadikan teman.

Ya, saya dianggap terlalu ambisius, hanya karena saya sering ikut perlombaan. Mengetahuinya, sungguh terdengar menyakitkan.

Tentu saja hal ini berbeda dengan teman lelaki saya dari kelas sebelah yang juga sering ikut lomba. Sebaliknya, saya dengar tipis-tipis, justru dia dianggap sebagai lelaki berprestasi, keren, dan idaman. Bagaimana? Luar biasa sekali, kan, support sesama perempuan?

Ternyata, hal ini berpengaruh pada kehidupan perkuliahan saya. Saya tidak mau lagi, tidak punya banyak teman. Saya jadi malas untuk mendaftar kegiatan-kegiatan apalagi jika itu ada bau-bau persaingan. Saya tidak ingin lagi dianggap sebagai perempuan yang ambisius. Saya hanya ingin merawat banyak pertemanan selama masa kuliah.

Saya seolah terus menerus mencukupkan diri. Tidak ingin terlibat dengan banyak kegiatan. Supaya saya tidak terlalu sibuk dan jarang berkomunikasi dengan teman-teman saya. Hanya karena saya tidak ingin ketinggalan gosip-gosip yang sedang hangat. Atau malah tidak ingin dijadikan bahan gosip ketika saya tidak ada.

Intinya, saya tidak ingin pengalaman tidak punya banyak teman di SMA, terjadi lagi dalam kehidupan saya. Namun ternyata, berusaha memendam keinginan saya supaya tidak terlihat ambisius, juga tidak baik adanya. Pasalnya, hal ini berdampak pada perasaan saya yang merasa bahwa kemampuan dan kelebihan saya kurang worth it. Sehingga tidak pantas rasanya jika harus ditunjukkan ke orang lain.

Saya merasa rendah diri dan takut jika di belakang, ‘karya’ tersebut menjadi bahan gosip. Padahal, di saat yang sama, saya juga merasa kagum dengan perempuan lain yang bisa ‘menunjukkan dirinya’. Bisa menunjukkan kelebihannya dan menjadi inspirasi bagi orang lain: termasuk saya.

Di saat yang bersamaan pula, saya juga memahami, bahwa kita tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Sekuat apa pun kita berusaha untuk netral dan menjadi sosok yang biasa-biasa saja supaya jauh dari sorotan. Pada akhirnya kita tetap saja berpotensi memiliki kesalahan yang bisa dicacati oleh orang lain.

Sampai-sampai terkadang saya merasa kesulitan mempercayai pujian yang diberikan oleh perempuan lainnya. Rasa-rasanya, segala pujian yang mereka berikan itu berpotensi besar bermakna ganda. Bagi saya itu bukan lagi pujian yang betul-betul tulus. Bisa jadi sebetulnya keinginan untuk balik dipuji atau malah sebuah sindiran yang menyakitkan.

Terkadang, saya merasa iri dengan lelaki yang bisa bersikap lebih cuek dalam melakukan banyak hal. Berbeda dengan banyak perempuan yang seolah harus selalu terlihat sempurna dalam berbagai keadaan. Seakan-akan, terlalu banyak peran melekat padanya yang meminta semuanya dikerjakan dengan sebaik mungkin. Ya, s e m u a n y a.

Lalu meninggalkan rasa bersalah ketika hal tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Padahal, rasa bersalah itu sungguh tidak perlu dirasakan. Untuk apa? Ya, untuk apa juga menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala sumber masalah?

Masalahnya, kalau nggak sempurna, biasanya justru bakal diomongin sama perempuan lain.

Iya, itu masalahnya. Segala keribetan pola pertemanan ini dinamakan sindrom ratu lebah. Yakni, kondisi di mana perempuan justru merasa takut tersaingi oleh perempuan lainnya. Hal inilah yang kemudian membuat perempuan dengan mudahnya berkeinginan menjatuhkan perempuan yang lain. Pasalnya, dia hanya ingin ada satu ratu…

…dan itu dirinya sendiri. Jadi, ketika ada perempuan yang tampak lebih unggul darinya sebisa mungkin kepercayaan dirinya diruntuhkan. Dan senjata terkuat perempuan untuk menjatuhkan adalah mulutnya. Ketajaman mulut perempuan ini sanggup menguntai kata-kata menusuk dan menyakitkan yang mengedap dalam waktu tidak sebentar.

Padahal, di tengah banyak masalah tentang gender yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, bukankah seharusnya sesama perempuan harus saling mendukung? Bukankah perempuan yang kuat adalah yang bisa menguatkan perempuan lainnya? Bukannya malah bersikap ofensif terhadap perempuan lainnya. Atau malah terjebak dalam sindrom ratu lebah.

Ya, semoga di luar sana, tidak ada lagi perempuan yang mencukupkan potensinya. Hanya karena takut dibicarakan diam-diam, dikomentari, ataupun dikucilkan perempuan lainnya. Lantaran masih ada perempuan yang menganggap sindrom ratu lebah sebagai satu-satunya cara supaya semesta hanya tertuju padanya.

Daripada ribet-ribet jadi ratu lebah yang nggak ada jaminan kebahagiaan, apalagi kelegaan blas. Bukankah lebih baik, fokus jadi ratu di hidup kita sendiri saja? Jangan biarkan kata-kata jahat itu membuat kita tertunduk, dan buat mahkota kita terjatuh. Eaaak.

Exit mobile version