MOJOK.CO – Kebiasaan nyumbang di pesta pernikahan itu ada logika matematikanya. Ada yang anggap memberatkan, ada yang anggap sebagai gantian saling bantu aja.
Ngobrolin soal syukuran atau pesta pernikahan, ada satu hal yang nggak bisa terlepas dari itu. Hal ini tentang datang kondangan alias ngasih sumbangan ke orang yang lagi punya hajat dan ngundang kita. Di beberapa tempat, kegiatan ini dinamakan buwuh. Ada pula yang menyebutnya nyumbang. Di sebagian daerah, sumbangan ini bisa wujudnya bisa berupa makanan pokok, seperti beras, gula, atau minyak goreng. Ada juga yang lebih nyaman ngasih kado karena merasa mengenal dekat pengantin. Ada pula yang memberikan sumbangan berupa uang dengan alasan fleksibilitas dan pasti kepakenya.
Saat ini, ngasih sumbangan berupa uang dianggap sebagai cara yang paling lumrah. Ya, lihat aja dari ketersediaan kotak khusus sebagai tempat amplop. Iya, kotak yang biasanya diletakkan di pintu masuk berserta buku tamu. Kalau mau ngasih kado sih, biasanya nggak perlu dimasukkan kotak. Pasalnya, kamu pasti nggak bisa membayangkan lubang kotaknya seberapa besar, kan? Halah.
Selain dimasukkan ke kotak yang sudah disediakan, ada juga orang-orang yang ngasih amplopnya langsung ke pengantin. Biasanya, ini bakal dilakuin kalau yang nyelenggarain pernikahan bukan dari keluarga teman kita. Alias, yang ngadain adalah keluarga dari pasangan teman kita. Soalnya, ada anggapan kalau amplop yang ada dalam kotak bakal otomatis masuk ke keluarga yang menyelenggarakan pesta pernikahan. Sementara kita, lebih pengin amplop itu betul-betul sampai ke teman kita. Jadi ya, pilihannya adalah nyerahin amplopnya langsung ke pengantin yang lagi berusaha terus senyum-senyum ramah nan bahagia di pelaminan.
Oh ya, soal sumbangan ini pun semacam ada aturan yang nggak tertulis. Katanya, sebaiknya amplop yang kita berikan tersebut tertulis nama kita. Meski terasa aneh, sebetulnya ini menjadi hal yang mafhum dalam tradisi nyumbang saat pesta pernikahan. Sebab, nantinya keterangan nama tersebut bakal berguna sebagai catatan pribadi.
Lantas, sebenarnya kira-kira apa sih yang jadi latar belakang dari tradisi nyumbang atau buwuhan ini? Kok dia berhasil jadi kebiasaan masyarakat? Usut punya usut, berdasarkan riset tidak akademis dan pengamatan menggunakan kacamata awam, setidaknya ada tiga alasan yang tertangkap dalam amatan.
Pertama, tradisi nyumbang dianggap sebagai wujud turut merasa senang dan bersyukur dengan hajat yang diadakan oleh orang yang mengundang. Bukankah kita tahu, banyak “orang bule” yang berpendapat kalau orang-orang Indonesia sangatlah baik dan ramah? Nah, hal ini jugalah yang diduga jadi salah satu faktor kita memutuskan nyumbang di hajatan sejawat.
Kedua, sungguh ada juga yang mengaitkan tradisi nyumbang ini dengan hitung-hitungan perihal tanggung jawab sosial di masyarakat. Ada logika matematika di dalamnya. Percayalah, di beberapa daerah, ibu-ibu selalu punya sebuah buku yang isinya catatan pribadi soal sumbang-menyumbang ini. Kalau ia sudah pernah pernah punya hajat, buku catatan tersebut akan berisi data sumbangan yang diberikan orang lain padanya.
Angka-angka dalam catatan tersebut bakal dijadikan patokan kalau suatu saat orang yang menyumbang punya hajat. Dengan bekal catatan ini, ia akan berusaha memberikan sumbangan yang setidaknya sama. Atau syukur-syukur bisa lebih. Sebaliknya, bagi yang belum menyelenggarakan hajatan, nyumbang ini dimaknai sebagai bentuk “investasi”.
Faktor ini juga jadi alasan utama, kenapa penulisan nama di amplop menjadi penting. Ini sebagai bukti supaya tidak menimbulkan prasangka orang yang menerimanya. Apakah orang yang udah diundang memberikan sumbangan atau tidak? Percayalah, ini berhubungan erat dengan pencatatan agar tidak terjadi miskomunikasi hanya karena kesalahpahaman soal simbol-simbol tersebut.
Ketiga, btw, soal ngasih sumbangan ini, ada juga loh yang berlandaskan keinginan untuk menunjukkan status sosialnya. Harapannya sih, tingginya angka yang disumbangkan tersebut dapat mengerek status sosial di mata masyarakat. Eh, setidaknya di mata orang yang dikasih amplop-an lah. Ya, mirip-mirip kayak fenomena pentingnya bawa mobil mahal dan anyar ke acara trah keluarga gitu~
Ngasih sumbangan dengan motif semacam ini, pada sebagian orang bukannya bikin bahagia justu berpotensi memunculkan rasa berat buat yang menerima. Pasalnya, yang menerima merasa harus mengembalikannya dalam jumlah yang tidak jauh berbeda, yang itu bisa jadi berat untuk mereka.
Akan tetapi, terlepas dari ketiga faktor di atas, pernahkan kita berpikir bahwa prinsip utama dari tradisi nyumbang ini adalah karena adanya hubungan timbal balik antar masyarakat? Kalau boleh menyebutnya dengan istilah sosiologi, konsep ini disebut sebagai resiprositas. Atau kalau diartikan, sebagai hubungan timbal balik dengan bergantian untuk saling membantu meringankan beban satu sama lain.
Ya, kalau di Mojok dulu ada rubrik namanya Berbalas Fiksi. Dalam resiprositas tradisi nyumbang, ibu-ibu mungkin punya agenda khusus bernama Berbalas Sumbangan. Hehehe.
Oleh karena hubungannya saling balas-balasan, dalam kegiatan ini pun masyarakat merasa memiliki peranan yang sama. Mereka sama-sama merasa memiliki kedudukan sosial yang sama dalam kelompok, meski pada kenyataannya memiliki derajat kekayaan atau prestise sosial yang beda-beda.
Lantaran tradisi nyumbang ini adalah hubungan timbal balik, hanya kecil kemungkinan muncul perasaan bakal dirugikan kalau melakukannya. Ya, logika gampangnya sih, kalau saat ini kita jadi pihak yang diundang dan akhirnya ikut nyumbang. Suatu saat nanti, kalau kita gantian yang mengundang, juga berpotensi diperlakukan yang sama, kan? Jadi, ya, wajar-wajar aja kalau membantu kerabat yang lagi punya hajat dan harusnya tidak perlu merasa berat.
Sebetulnya sih, nggak ada hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan sumbangan. Ini dilakukan hanya didorong sama kepentingan moral saja. Ada (((proses internalisasi))) kebiasaan di masyarakat terhadap individu soal pentingnya nyumbang pas diundang.
Jadi, karena ada proses internalisasi inilah, muncul perasaan sulit dan sungkan kalau melanggar. Kita pun jadi berat kalau nggak ikut nyumbang. Soalnya, di otak kita ini ada gambaran konflik yang bakal terjadi kalau nggak melakukan kebiasaan tersebut. Misalnya, berkesempatan besar untuk jadi bahan rasan-rasan.
Sayangnya, meskipun dianggap jadi hal yang sah-sah saja. Tradisi nyumbang ini sering menjadi beban bagi sebagian masyarakat. Apalagi dengan adanya standar soal nominal yang sudah dicatat-catat itu. Berat, cuy! Jadi banyak yang harus dikorbankan! Ya, berhutang. Ya, jual barang.
BACA JUGA Mending Ngasih Kado Pernikahan Atau Angpao atau artikel Audian Laili lainnya.