Pola Percintaan Perwira Muda di Lingkungan TNI

percintaan pernikahan jodoh anggota tni tamtama bintara perwira andika perkasa menantu jenderal akmil secapa kowad mojok.co

percintaan pernikahan jodoh anggota tni tamtama bintara perwira andika perkasa menantu jenderal akmil secapa kowad mojok.co

MOJOK.CO Pesan moral tulisan ini: jangan sampai deh ngerasain jadi panitia saat jenderal mantu perwira. Hehehe.

Ada ujaran Betawi yang sudah dikenal luas, “Kalo emang udeh jodo nggak bakal ke mane.” Ungkapan sederhana dan merakyat ini tidak bisa serta-merta dijalankan di lingkungan militer, mengingat dalam jajaran TNI ada semacam pembagian “kelas”, mirip-mirip dengan konsep kasta, dan itu sudah disepakati bersama. Bagi masyarakat awam, pembagian strata atau golongan bisa jadi adalah sesuatu yang menekan, namun bagi anggota TNI dianggap biasa saja.

Dalam militer kita dikenal tiga lapisan berdasar kepangkatan, mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi: tamtama, bintara, dan perwira. Selain prospek karier dan kesejahteraan yang berbeda, pembagian strata seperti ini juga berdampak pada perjodohan. Soal perjodohan diatur sangat ketat dalam militer, terlebih bila ingin menikah dengan sesama anggota TNI. Peraturan dimaksud berbunyi, pangkat istri tidak boleh lebih tinggi dari suami.

Korps wanita dalam TNI (Kowad, Kowal, dan Wara) hanya ada dalam strata bintara dan perwira. Oleh sebab itu seorang anggota Kowad misalnya, dengan pangkat bintara, sudah jelas dilarang oleh institusi bila ingin menikah dengan tentara berpangkat kopral (tamtama), seberapa pun besar asmara yang berkobar di antara keduanya. Jalan tengah yang mungkin bisa ditempuh bila ingin berlanjut ke pernikahan, salah satu pihak harus mengundurkan diri. Dari pengamatan selama ini, umumnya sang pria yang mundur alias minta pensiun dini. Selain pangkat lebih rendah, bagi seorang pria (terlebih pensiunan tentara), ruang untuk mencari pekerjaan lain masih lebih terbuka, semisal menjadi tenaga keamanan pusat hiburan.

Tapi pernikahan antara tamtama pria dan bintara wanita sangat jarang terjadi, yang lebih umum adalah pernikahan sesama bintara, atau lebih manis lagi, antara bintara wanita dan perwira pria. Bila sesama bintara, sebisa mungkin karier istri jangan sampai melampaui karier suami. Sang istri harus rela “membuang” kesempatan masuk secapa (sekolah calon perwira) bila prospek suami terlihat agak suram.

Membicarakan soal asmara atau perjodohan di kalangan tentara, tentu yang paling menarik perhatian adalah kisah di kalangan perwira muda, mereka yang baru lulus dari Akmil. Tentu saja, karena perwira adalah calon pimpinan masa depan, baik pada institusi militer sendiri, maupun bila ditempatkan pada birokrasi sipil. Karena prospek cerah seperti itulah, banyak orang tua mendamba bermenantukan seorang perwira (utamanya lulusan Akmil), kemudian anak gadisnya bercita-cita sama pula, yang penting berjuang dulu, berhasil atau tidak itu soal nanti.

Dengan melihat figur elite TNI hari ini, sebenarnya kita sudah bisa membaca bagaimana tren perjodohan di kalangan perwira. Dua figur yang bisa disebut adalah KSAD saat ini, Jenderal Andika Perkasa, dan Mayjen Maruli Simanjuntak, Komandan Paspampres. Kedua jenderal ini adalah menantu dari orang kuat Istana, yang kebeneran juga mantan jenderal, yakni A.M. Hendropriyono (mertua Andika) dan Luhut Binsar Panjaitan (mertua Maruli). Ada sedikit informasi dari Brigjen (Purn.) Slamet Singgih (Akmil 1965) dalam biografinya bahwa dialah yang menjadi (semacam) mak comblang antara Andika dan putri Hendropriyono dulu.

Dari pengamatan selama ini, hubungan asmara antara seorang perwira muda (umumnya masih berpangkat letnan) dengan putri jenderal, termasuk elite sipil (jabatan setingkat menteri), prosesnya relatif cepat, bila diukur masa sejak perkenalan sampai resepsi pernikahan di gedung megah. Itu bisa terjadi karena perwira muda umumnya memang ingin menikah dengan putri pembesar negeri sebagai salah satu cara membantu kariernya di militer kelak.

Kalau kita ingat kembali ujaran Betawi di atas, mestinya jodoh adalah sesuatu yang alamiah. Namun, logika semacam ini tidak bisa berlaku sepenuhnya bagi perwira muda, karena dia melakukan “rekayasa” asmara, agar sebisa mungkin berjodoh dengan anak pembesar. Karena perwira muda lebih memilih anak jenderal atau petinggi negeri, itu sebabnya jarang terjadi pernikahan antara perwira (lulusan Akmil) dengan anggota Kowad karena anak jenderal atau pejabat umumnya enggan menjadi Kowad. Memang ada pernikahan itu (perwira dengan Kowad), tapi jumlahnya tidak signifikan.

Kiasan itu juga menjadi tidak relevan karena kekasih perwira muda sejak masih taruna biasanya lebih dari satu. Hal ini bisa terjadi dalam kisah kasih taruna atau perwira muda karena biasanya ada pihak perempuan yang lebih aktif, atau istilah gaulnya, si perempuan nembak duluan, termasuk dalam kisah asmara Andika.

Semoga ilustrasi berikut dapat membantu. Bagi perwira muda yang akan menikah dengan anak pembesar, “kesibukan” terjadi kira-kira sebulan sebelum Hari-H. Kalau soal resepsi tentu tidak ada masalah, karena sudah ada panitia khusus yang akan mengurusnya, biasanya anak buah calon mertua si perwira juga yang sibuk. “Kesibukan” yang dimaksud adalah terkait asmara (lain hati) dari perwira muda, dia harus segera mengadakan safari “PHK cinta” untuk meredam atau menetralisir hati kekasihnya yang lain, jangan sampai timbul gejolak, sehingga dia bisa maju ke pelaminan dengan tenang. Mereka adalah kekasih yang mungkin sudah terjalin sejak masa remaja, yang harus rela mengalah untuk memberi jalan bagi putri jenderal.

Cerita berikut sayang untuk dilewatkan karena saya mendengarnya secara langsung dari pelaku. Bila seorang jenderal akan mantu, adalah sesuatu yang jamak bila sang jenderal mengerahkan anak buahnya sebagai bagian dari panitia, demi suksesnya acara. Kemudian bila calon menantunya adalah seorang perwira, kolega calon menantu di kantor, termasuk teman seangkatan di Akmil, juga ikut sibuk. Di sini kita telah melihat tumpang tindih antara urusan dinas dan pribadi, namun karena yang melakukan adalah jenderal, warga kelas satu dalam masyarakat kita, tidak ada yang mempersoalkan dari waktu ke waktu.

Dan jangan dikira para anak buah jenderal itu menjalankan tugas jadi panitia itu dengan sepenuh hati. Itu semua tergantung bagaimana track record sang jenderal dan perwira yang menjadi calon menantunya. Singkatnya, bagaimana tingkat kemurahan hati yang punya hajat, dermawan atau tidak. Secara pukul rata semua jenderal adalah orang berada, tapi ada yang suka berderma, ada yang kurang alias kikir. Nah, kalau dapet yang kikir ini, para anak buah jadi rada ngedumel. Memang semua dikerjakan karena merasa nggak enak hati. Apalagi kalau perangai calon menantunya dianggap rada tengil, waduh, wis pecah ndase….

BACA JUGA Naik Pangkat Berjamaah di Tengah Wabah: Semua Ingin Menjadi Jenderal dan esai Aris Santoso lainnya.

Exit mobile version