Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Komen Nyinyir

Menangisi Nasionalisme Religius dengan Pendekatan Scholarship

Arlian Buana oleh Arlian Buana
8 Juli 2017
A A
nasionalisme mojok

nasionalisme mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ini naskah terakhir untuk rubrik Nyinyir. Di Mojok yang baru, kami menyebut ini vox populi vox deui. Suara pembaca adalah suara jua. Kalau pembaca tak suka rubrik tertentu, apa boleh buat, kami harus mengeliminasinya tanpa banyak cingcong. Tanpa pembaca, apalah kami~

Karena ini naskah terakhir, dan minggu depan Anda tak akan menemui lagi rubrik ini, saya akan menulis tentang nasionalisme religius dengan pendekatan scholarship. Apakah ini pendekatan beasiswa? Apa lagi?

Mengapa saya menggeret-geret lagi “nasionalisme religius” ke dalam percakapan kita setelah dua tahun lebih kita lepas dari rezim yang menyebut dirinya “nasionalis religius”? Bukan, bukan karena Pak Beye, presiden keenam dan pendiri partai nasionalis religius itu sekonyong-konyong berkicau lagi. Kalau itu persoalannya, mana berani saya nulis di rubrik Nyinyir. Junjungan saya beliaunya, ucapan-ucapan beliaunya begitu mulia sehingga hanya akan cocok di rubrik Tokcer.

Ini karena banyak teman saya di Facebook membagikan status Chusnul Mar’iyah, dosen di Universitas Indonesia, mantan ketua program Pascasarjana Ilmu Politik dan HI di universitas yang sama, dan mantan komisioner KPU, berjudul “Re-reading Politik: Demokrasi dalam Bingkai Nasionalisme Religius”.

Berikut paragraf pertamanya.

Beberapa waktu ini, sejak gerakan 411 dan 212, saya dihadapkan beberapa pertanyaan yg menyangkut political Islam oleh kolega baik dalam maupun luar negeri, baik sebagai panelis maupun dlm FGD serta diskusi di warung kopi. Seperti terkaget2, Why Chusnul? did you go to 411, 212? you are part of FPI? Chusnul.,, you changed! Kemaren mendengarkan pidato Obama semakin memperkuat keyakinan saya bahwa kita perlu secara pendekatan scholarship untuk membahas bangunan demokrasi di Indonesia dengan konsep Nasionalisme religius.

You changed apa nih, Bu, kalo boleh tahu?

Lalu ibu dosen itu curhat alasan-alasannya mengikuti Aksi Bela Islam. Tak ada alasan baru, semuanya sudah pernah kita dengar, diikuti puja-puja oh betapa hebatnya oh betapa damainya oh betapa pentingnya. “Mengikuti demonstrasi 411 dan 212 menjadi sangat penting bagi seorang engage scholars,” tulis beliaunya yang ternyata seorang (((engage scholar))).

Apa itu engage scholar? Aduh, aing nga tega.

Apa saya berubah? tentu, yg abadi di dunia ini adalah perubahan sendiri. I am getting older and hopefully I am wiser.

Sedap. Memang tidak ada yang lebih indah di dunia ini kecuali menjadi tua dan menjadi bijaksana, Bu.

Jadi ada apa dengan political Islam? kenapa Islamophobia begitu kuat di kalangan kelompok terpelajar?

Saya tidak tahu ada apa dengan Islam Politik. Saya juga tidak tahu apakah islamofobia benar-benar telah menguasai orang kuliahan. Setahu saya, di kampus saya yang lama, banyak orang yang berjuang melawan islamofobia dengan beragam cara. Mulai dari menulis tentang kecocokan Islam dengan nilai-nilai HAM dan demokrasi hingga turut serta dalam usaha-usaha dialog antaragama dan penyelesaian konflik.

Itu di mantan kampus saya sih. Mungkin keadaannya berbeda di kampus Ibu Chusnul. Sependengaran saya, di sana sedang marak Islamisme yang dalam banyak hal berlainan (atau bahkan bertentangan) dengan Islam.

Iklan

Lalu Bu Chusnul bertanya,

“Kenapa kita menjadi muslim yg baik berjuang menuntut keadilan sosial, politik, ekonomi serta merta diperlawankan dengan anti kebhinekaan?”

Sudah betul itu, Bu. Sudah seharusnya demikian. Kita memang perlu melawan (dengan sengaja atau diperlawankan) yang antikebinekaan.

Menjadi muslim yg taat langsung diberi stigma anti universalisme?

Tidak apa-apa, Bu. Sebagaimana tidak semua film dari Universal Studio baik ditonton semua orang, tidak semua yang universal itu cocok dengan semua orang. Dalam banyak kasus, yang diklaim sebagai universalisme itu seringkali menginjak-injak harkat dan martabat orang.

Sepertinya ini tantangan bagi kita perlu membaca ulang Islamic teaching (valuenya by design Allah untuk semua manusia, universal, bukan untuk kaum tertentu, misal hanya untuk bani Israel)?

Dan,

Bagaimana menggabungkan the established theory dari Barat dengan pemikiran Islam atau dari Timur seperti Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldun, Al Mawardi, Al Farabi dan membaca juga Tarikh Ath-Thabari? Bagaimana membaca the second sex-nya Simone de Bavouar dengan kerangka Tarikh-Thabari pada bab Perempuan?

Nah ini, saya juga bingung bagaimana caranya, Bu. Mungkin perlu kita minta petunjuk Kak Jonru. Biasanya beliau punya solusi brilian.

Demokrasi dlm bingkai nasionalisme religius ini perlu dibahas dan dikonseptualisasikan menjadi teori modern.

Betul sekali, Bu. Untuk itu, saya kira Ibu Chusnul hanya perlu bertemu dengan Pak Beye dan mematangkan rencana tersbut. Kalau perlu, sekalian saja (((jihad struktural))) jadi kader Partai Demokrat.

Waktu saya semester 1, saya punya teman kuliah yang punya ambisi bikin teori Hubungan Internasional Islam. Menurutnya, hubungan internasional itu bermula jauh dari sebelum Perjanjian Westfalia, sejak pertemuan Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis. Wah, benar juga, pikir saya.

Di satu kelas, dosen kami menerangkan teori-teori utama dalam Ilmu HI: Realisme dan Liberalisme. Realisme itu berangkat dari asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya egois, selalu memikirkan keuntungan dirinya sendiri, dan pada akhirnya akan berkelahi atau saling makan dengan manusia lain. Begitu pula negara, begitu pula hubungan antar negara. Sementara Liberalisme berangkat dari asumsi bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain, dan mereka akan bekerja sama.

Teman saya menginterupsi, “Menurut Islam, semua manusia dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Kristen atau Majusi.” Dan dia berikrar, seperti Gaj Ahmada, akan mengembangkan teori HI berangkat dari asumsi dasar tersebut. Atau, kalau itu kurang mungkin, ia akan menggabungkannya dengan teori yang sudah mapan.

Bagaimana nasib teori itu? Entahlah. Ke mana ide kreatifnya? Tentu saja terbang bersama debu-debu Jakarta. Mungkin semakin dia banyak belajar semakin geli dia mengingat omongannya.

Teman saya adalah orang yang menulis artikel ini.

Terakhir diperbarui pada 8 Juli 2017 oleh

Tags: chusnul mar'iyahnasionalisme religiusuniversitas indonesia
Arlian Buana

Arlian Buana

Artikel Terkait

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO
Kampus

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Gaji Fresh Graduate Alumni UI, UGM. MOJOK.CO
Kampus

Kuliah di Universitas Terbaik Malah Merasa Gagal: Kampus Sibuk Naikkan Ranking Dunia, tapi Melupakan Nasib Alumninya

2 Oktober 2025
Sarjana lulusan kampus terbaik Indonesia seperti Unair, UGM, bahkan UI: tetap tak lolos CPNS dan susah cari kerja. Sekali dapat langsung job hugging MOJOK.CO
Ragam

Kuliah S1-S2 di Kampus Terbaik Indonesia Merasa Gagah, Tapi Lulus Jadi Sarjana Payah dan Bernasib Terlunta-lunta

25 September 2025
UI kampus perjuangan tapi BEM-nya kini terbelah. MOJOK.CO
Catatan

UI sebagai Kampus Perjuangan Kini Terbelah dan Hilang Taringnya, Tak Saling Mendukung dan Searah

4 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.