Ngobrolin Resep ‘The Science of Fictions’ Menang FFI tanpa Dialog

ngobrol dengan yosep anggi noen dan gunawan maryanto the science of fiction ffi 2020 mojok.co

MOJOK.COMojok ngobrol dengan Yosep Anggi Noen dan Gunawan Maryanto soal film The Science of Fictions dan usaha melanjutkan tradisi pemain teater berakting di film Indonesia.

Ketika ditemui Mojok di kediamannya yang juga mojok di sebuah perumahan di Kasihan, Bantul, sore itu, Gunawan Maryanto belum sempat meletakkan tas kecilnya sepulang dari sebuah rumah sakit. Aktor kawakan sekaligus pendiri Teater Garasi itu baru menjalani tes swab sebagai syarat menghadiri Malam Anugerah Festival Film Indonesia (FFI) di Jakarta, tiga hari lagi.

Film terbarunya, The Science of Fictions atau Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah, memperoleh 10 nominasi Piala Citra. Termasuk untuk dirinya sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik.

Di Indonesia, film itu baru diputar dua kali: di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2019 dan Plaza Indonesia Film Festival (PIFF), awal 2020. Namun, ia telah melanglang dunia dan menyabet aneka penghargaan. Di antaranya, film ini mendapat Special Mentions di sesi kompetisi saat diputar perdana di Locarno Film Festival, Swiss dan tampil di “A Window of Asian Cinema”, Busan International Film Festival, Korea Selatan.

The Science of Fictions juga tayang di berbagai festival film di Tokyo, Rotterdam, hingga sekitar 20 festival lainnya. Termutakhir, medio November lalu, film ini diputar oleh museum terbesar di dunia, Museum Smithsonian di Amerika Serikat.

“Paling nggak kan ada pengakuan. Tentu saja itu pilihan dewan juri. Tapi sebenarnya kan (saya) aktor teater biasa, bukan bintang, karena yang dicari aktor yang baik,” ujar Cindil, sapaan akrab Gunawan, soal nominasinya sebagai pemeran utama pria terbaik di FFI ke-40 itu.

Dibandingkan dengan nomine lain, Cindil jadi aktor paling senior. Kans menang pun amat besar. Tapi, ia “Enggak berpikir sejauh itu. Kalau siapa yang menang, itu hanya salah satu versi. Susah juga kalau seni dilombakan,” tukasnya.

***

Bagaimana kalau Neil Armstrong, orang yang disebut-sebut sebagai manusia pertama yang mendarat di bulan, tak pernah benar-benar ke sana? Armstrong rupanya menginjakkan kakinya di gumuk pasir pantai selatan Yogyakarta. Adegan itu disaksikan oleh seorang warga Bantul yang harus menanggung konsekuensinya seumur hidup.

Siman—sang saksi mata konspirasi itu—ditangkap dan dipotong lidahnya. Kebenaran atas peristiwa penting bagi umat manusia di era 1960-an itu tak bisa ia ceritakan ke orang-orang. Siman pun hanya sanggup mengisahkan itu dalam gerak. Tanpa bicara, tanpa kata-kata.

Ia kerap berjalan pelan ala astronot, mengenakan kostum bak antariksawan buatannya sendiri, bahkan membangun tiruan roket di rumahnya. Walhasil oleh orang-orang kampung ia dianggap gila.

The Science of Fictions adalah film feature panjang ketiga sutradara Yosep Anggi Noen. Usai membesut sejumlah film pendek, Anggi merilis film panjang pertamanya, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, pada 2012. Pada tahun itu pula naskah The Science of Fictions telah siap.

“Film ini mencoba bertanya, sakjane sejarah ki sing nulis sapa (sebenarnya siapa yang menulis sejarah)?” kata Anggi kepada Mojok melalui telepon dari Bali, tempat tinggalnya saat ini. Menurut dia, tonggak-tonggak sejarah dunia selalu berhubungan dengan teknologi audiovisual. Namun, saat ini hal itu digugat.

“Dulu itu (audiovisual) dibuat oleh orang-orang yang punya akses. Tapi (sekarang) sebenarnya teknologi sudah sampai tangan ke masing-masing pribadi. Ini bisa jadi potensi besar untuk 50-100 tahun lagi saat melihat sejarah dari narasi-narasi kecil, bukan sebuah formalitas oleh otoritas,” ujarnya.

ngobrol dengan yosep anggi noen dan gunawan maryanto the science of fiction ffi 2020 mojok.co
Poster dari Twitter Yosep Anggi Noen

Anggi pun memotret momen era 1960-an karena periode itu amat meriah dan sarat peristiwa besar, termasuk berlangsungnya “star wars”, perlombaan ke ruang angkasa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ajang ini menjadi bagian dari Perang Dingin dengan klimaksnya berupa momen pendaratan manusia di bulan.

Di periode itu, Indonesia juga menjadi bagian skena sejarah dunia lewat peristiwa yang jadi aib hingga hari ini: huru-hara politik 1965. Bagian ini pun tak luput disinggung Anggi di The Science of Fictions.

“Tahun 1965 itu titik tergelap dalam sejarah bangsa kita. Kita blank. Ketika kemudian Orde Baru membuat propaganda, propaganda itu berhasil sampai sekarang: hantu Komunisme yang digoreng tiap 30 September, pokoknya yang salah Komunisme, yang benar Soeharto,” kata sutradara kelahiran Sleman, 15 Maret 1983 ini.

Tawaran ide soal pembungkaman kebenaran itu menubuh dalam karakter Siman. Sejak awal Anggi telah menentukan karakter itu harus dibawakan Cindil. Gara-garanya, ia kepincut peran Cindil di film Toilet Blues dan makin mantap saat tampil di lakon Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi garapan Teater Garasi.

“Aku ngobrol panjang dengan Cindil soal tubuh dan trauma. Dia kan pelaku teater. Saat nulis naskah itu, aku sudah tahu dia (Siman) yang jadi Cindil,” kata Anggi. Dari diskusi itu, Anggi sempat membuat teaser sepanjang tiga menit sebagai sampel sekaligus untuk mencari dukungan pendanaan.

The Science of Fictions kemudian mengalami jeda panjang, disalip kolaborasi Anggi-Cindil lainnya, Istirahatlah Kata-kata (2016). Film tentang masa-masa pelarian Wiji Thukul ini menampilkan kesunyian sang penyair sebagai seorang suami dan ayah.

Dari tilikan kritik dan capaian komersial—ditonton oleh 54 ribu orang—Istirahatlah Kata-kata yang dinilai “berat” itu dianggap berhasil. Seusai tayang di bioskop dan berjaya di sejumlah festival mancanegara, kendati tak jadi nomine film terbaik di FFI hingga dipertanyakan sejumlah pihak, film ini masuk ke berbagai komunitas anak muda.

Cindil menyebut Istirahatlah Kata-kata dan The Science of Fictions punya rasa yang tak jauh beda. “Meski perwujudannya beda, ada nada yang sama tentang sesuatu yang dibungkam,” ujar sang aktor kelahiran Yogyakarta, 10 April 1976.

Ia mengakui peran sebagai Wiji Thukul menjadi beban tersendiri mengingat sosok itu tokoh nyata. “Sementara karakter Siman harus aku bangun sendiri. Menyusun fisik dan lingkungannya, lalu psikologisnya seperti apa,” kata Cindil yang diganjar Usmar Ismail Award pada 2017 untuk peran Wiji Thukul tersebut.

Meski menyinggung sejarah, Anggi tak berniat menautkan kedua film itu, juga semua karya sinemanya. Istirahatlah Kata-kata menempatkan aktivisme Wiji Thukul dalam narasi yang liris. Karya ini berbeda dari Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, sebuah road movie tentang sepasang sejoli yang mengantarkan sofa dengan sisipan visual-visual sensual.

”Aku tidak pernah memberi benang merah pada film-filmku. Pengen bebas wae. Tidak ingin dicap sebagai filmmaker yang selalu bikin film yang seperti itu.”

The Science of Fictions disebut Anggi sebagai film drama dengan rasa komedi gelap. Menurutnya, film ini bisa dinikmati secara santai sambil tertawa-tawa. “Cuman mungkin (penonton) tidak terbiasa dengan komedi seperti ini (sebagai cara) untuk menggugat definisi sejarah. Saking gelape, wong mungkin sibuk golek korek,” ujar dia, melontarkan guyonan yang sangat Godean.

Proses produksi The Science of Fictions dimulai lagi pada 2018. Selain Cindil, peran lain dimainkan Marissa Anita, Yudi Ahmad Tajudin, Asmara Abigail, Lukman Sardi, dan Eki Lamoh. Syuting berlangsung 18 hari di Yogyakarta, termasuk 3-4 hari di gumuk pasir Pantai Parangkusumo, Bantul, dan sisanya di kampung Anggi di Godean, Sleman.

Foto oleh Arif Hernawan untuk Mojok

Cindil menyebut kerja bareng dengan Anggi memungkinkan produksi film mengadopsi tahapan produksi teater. Syuting didahului dengan pembacaan naskah dan latihan peran dengan para aktor lain yang kebanyakan tinggal di Yogyakarta. Saat menggarap Istirahatlah Kata-kata, sebulan sebelum syuting Cindil juga bertolak ke Pontianak, lokasi syuting film itu, untuk berlatih dengan pemeran lain.

“Di film lain enggak ada kenyamanan seperti itu. Praproduksinya panjang, tapi untuk aktor nggak pernah panjang. Apalagi kalau pakai artis. Ini jarang didapat di film lain. Ketemu pemain seringnya di lokasi (syuting),” ujar Cindil yang sempat menjadi pendukung di film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Mencari Hilal (2015), Nyai (2016), hingga Wiro Sableng (2018).

Lantaran sama sekali tak berkata-kata, Cindil memberi sejumlah masukan terutama soal ekspresi dan gerakan Siman. Karier panjangnya keaktorannya, terutama dalam long duration performance pada 1995 dan perannya sebagai butoh di sejumlah lakon Teater Garasi yang tanpa bahasa verbal, menjadi referensi bagi Siman. Pendekatan ala pentas teater juga muncul saat sejumlah peran di periode berbeda dimainkan oleh aktor-aktor yang sama.

Menurut Cindil, kendati medium dan pola produksinya beda, teater dan film sejatinya sama sebagai suatu seni yang berpijak pada peristiwa. Seperti halnya dua karyanya bersama Anggi, Cindil yakin film-film kiwari memberi ruang dan menjadi jembatan bagi para aktor teater merambah dunia film. Tradisi yang terputus sejak 1980-an.

“Waktu itu yang mengemuka teater tubuh, bukan realis, karena represi Orba sehingga yang muncul simbolik, menghindari teks dan adegan verbal. Bahasa sinema kemudian juga bukan pada keaktoran, tapi peristiwa sinematik dan visual. Itu juga berpengaruh menjauhkan dan sempat memutus dunia teater dan film.”

Geliat itu ditandai dengan keterlibatan aktor-aktor teater terutama dari Yogyakarta, berlakon dalam film, seperti Whani Darmawan, Landung Simatupang, dan Muhammad Khan, peraih aktor utama terbaik FFI 2019 lewat Kucumbu Tubuh Indahku (2018).

Seperti proyek termutakhirnya di teater lewat Ur Fear, Cindil pun masih akan menantang dirinya berakting di film, meski proyek filmnya tahun ini, sekuel Wiro Sableng, tertunda gara-gara pandemi. Jika peran baginya adalah jodoh, ia merasa tak tahu apakah sudah bertemu jodohnya selama ini.

“Sering aku nolak film dari industri. Aku main kalau punya pijakan dan itu macam-macam, dari isu, cerita, karakter, timnya sampai pesan. Susah, kalau aku nggak karep (ingin),” tutur Cindil yang kini menggawangi sandiwara radio di podcast Budaya Kita Kemendikbud dan menyiapkan ajang tahunan International Dramatic Reading Festival, Desember ini.

Kendati bagi sang sutradara film ini film drama naratif biasa, Anggi tak akan memungkiri The Science of Fictions ditempatkan sebagai film “berat” sebagaimana citranya sebagai sineas selama ini. Kendati, proyek teranyarnya cukup ramah pada publik, sebuah dokumenter tentang band rock muslimah belia, Voice of Baceprot.

“Kadang-kadang orang-orang ngecap film yang aku bikin itu film sulit, art house. Tapi dianggap art house pun film harus punya kesempatan bertemu penonton luas dan jadi box office,” kata Anggi.

***

Jam sebelas malam, Sabtu 5 Deseember, Anggi lewat akun Twitternya mencuit: “Bayangno nek Gunawan Maryanto tak wenehi dialog (bayangkan kalau Gunawan Maryanto aku beri dialog).” Di unggahan itu, tampak foto Anggi berdiri di sisi Cindil yang menahan tawa sambil membopong Piala Citra.

Cindil menerima penghargaan pertamanya di perhelatan tertinggi sinema Indonesia malam itu. Lebih dari sekadar pengakuan seperti ucapannya, piala ini agaknya juga penebusan Cindil atas perannya di Istirahatlah Kata-kata.

Saat naik panggung sejam sebelumnya, ia menyebut para pendukung The Science of Fictions, lalu berterima kasih kepada Anggi. “Yang telah mengajak saya, nggarapi saya, ngerjai saya, dan dalam film ini tidak memberi dialog sama sekali sepanjang film. Itu satu hal yang sangat menantang bagi saya,” tutur dia.

Seperti disampaikan Anggi secara telaten lewat twit-twitnya, di podium FFI 2020, Cindil pun mengingatkan pada 10 Desember The Science of Fictions diputar di bioskop setelah tertunda karena pandemi.

Sang sutradara juga mengingatkan data yang agaknya muskil dibantah sejak FFI dimulai pada 1955, lewat cuitnya yang satu ini: “Jangan-jangan Cindil Maryanto ini satu-satunya dalam sejarah FFI yang menang Piala Citra Pemeran Utama Pria Terbaik tanpa dialog ya.”

Cindil dan Anggi, juga Siman bersama film The Science of Fictions, agaknya baru saja menulis sejarah.

Gambar utama dari Twitter Yosep Anggi Noen

BACA JUGA Ngobrol dengan Fapstronaut: Gerakan Mengentaskan Kecanduan Coli di Indonesia dan LIPUTAN MOJOK lainnya.

Exit mobile version