Nadin Amizah di Podcast Deddy Corbuzier Nggak Salah, Orang Kaya Memang Begitu

Nadin Amizah di Podcast Deddy Corbuzier Nggak Salah, Orang Kaya Memang Begitu

Nadin Amizah di Podcast Deddy Corbuzier Nggak Salah, Orang Kaya Memang Begitu

MOJOK.CO Nadin Amizah jadi bahan ghibah ketika membandingkan si kaya dan si miskin di Podcast Deddy Corbuzier. Aseeek ada keributan baru.

Kenapa banyak orang tertarik membincangkan IPK?

Pertanyaan itu tiba-tiba melintas dalam kepala saya begitu artikel-artikel yang memperdebatkannya melintas pula di beranda Facebook saya. Perdebatan klasik yang sering melimpah keluar dari mulut para mahasiswa.

Biasanya, perdebatan hanya berputar pada dua kelompok IPK, tinggi dan rendah, yang bergeliat membuktikan mana yang paling mujarab dalam meraih kesuksesan. Sebagian menganggap IPK sebagai jaminan yang diperhitungkan di dunia luar, sementara sebagian lainnya menganggap yang terpenting adalah skill yang dimiliki.

Di sebilah dunia yang lain, perdebatan serupa muncul dalam bentuk pertentangan antara pendidikan itu penting atau tidak?

Bagi lulusan S1 mereka menganggap bahwa meneruskan pendidikan ke jenjang S2 adalah usaha sia-sia untuk menunda masa pengangguran. Berhadapan dengan itu, mahasiswa S2 akan berdalih kalau sarjana sudah terlalu melimpah, gelar S1 tidak cukup menjamin kemapanan.

Apa pun alasannya, yang jelas mereka-mereka yang sedang berdebat, tidak lain hanya sedang menguatkan argumentasi kelompok masing-masing untuk menggungguli pendapat yang berseberangan demi satu kata: kesuksesan.

Masalah dari perdebatan di atas, sebetulnya bukan jalan mana yang paling baik ditempuh, melainkan apa yang akan mereka lakukan dalam keadaan sukses dan gagal? Inilah bagian yang seringkali diabaikan. Padahal, masalah kita akhir-akhir ini ada di situ.

Orang yang pantas diacungi jempol dalam menghentikan perdebatan usang di atas tidak lain adalah Nadin Amizah yang namanya sempat jadi trending di twitter.

Terlepas dari namanya yang menjadi trending setelah dihujat lantaran pendapatnya yang dianggap merendahkan orang miskin di podcast Deddy Corbuzier, sebetulnya pendapat itu sedikit banyak berusaha untuk menghentikan perdebatan berupa bagaimana caranya untuk sukses yang sudah tidak ada manfaatnya lagi.

Ambil saja contoh, sekalipun mahasiswa lulus dengan IPK sempurna, kalau dia berasal dari keluarga melarat, apakah mudah baginya mendapat pekerjaan?

Siapa pun tahu jawabannya tidak semudah itu. Untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan, ia sejak awal telah gagal memenuhi syarat, yakni berasal dari keluarga yang bekerja di tempat di mana ia melamar.

Sementara jika hendak membuka usaha online, si miskin membutuhkan modal yang bagi orang kaya cukup murah, tapi baginya mahal luar biasa. Sebaliknya, si miskin yang memiliki IPK rendah tapi punya skill yang baik akan menghadapi tantangan serupa.

Masalahnya, tantangan-tantangan itu kerap tidak ada hubungannya dengan IPK dan skill yang selama ini diperdebatkan berulang-ulang.

Ya, saya tahu ada segelintir orang miskin yang akhirnya tumbuh menjadi sukses dan berkelimpahan. Tapi jangan lupa kalau jumlah yang sedikit itu justru membuktikan betapa sulit si miskin untuk melakukan lompatan-lompatan.

Sebaliknya, amat sedikit orang kaya yang justru melakukan bunuh diri kelas menjadi melarat. Itu membuktikan, betapa sulit si kaya untuk menjadi miskin. Loh iya, di situlah poinnya. Nadin Amizah tahu, di negaranya ini, ada beton yang memisahkan si miskin dan kaya yang mengakibatkan si miskin sulit kaya dan si kaya gampang makin kaya.

Penyebabnya, dunia tidak butuh skill dan IPK si miskin, sementara orang kaya berkepentingan untuk menimbun kekayaannya agar sekali waktu dapat menyantuni si miskin.

Untuk menjadi kaya, si miskin membutuhkan akses yang terbuka dan mendukungnya, sialnya kebutuhan itu justru mengancam kesempatan orang kaya untuk melambaikan tangannya ke bawah.

Secara tidak langsung, Nadin Amizah hendak mengajak kita untuk memahami kemiskinan secara struktural, di mana kemiskinan dan kegagalan itu bukanlah masalah individual belaka, melaikan diakibatkan oleh negara yang memberikan keuntungan hanya kepada segelintir elite untuk berkembang, sekaligus menjadi pabrik bagi praktik korupsi dan nepotisme yang senantiasa menjadikan si miskin dijerat oleh kemiskinan.

Sehingga, ketika Anda miskin berhentilah berdebat mana jalan yang terbaik, karena tidak banyak pilihan tersedia, maka lakukanlah hal-hal yang sanggup dikerjakan. Kira-kira begitu.


Berangkat dari kesadaran atas nasib kelompok miskin itu, Nadin Amizah dengan lihai mengungkapkan bahwa dalam situasi tertekan, si miskin lebih gampang melakukan hal-hal yang kurang baik. Kita tahu sendiri kalau perampokan, pencurian, dan kejahatan di pinggir jalan biasanya dilakukan oleh kelompok kelas bawah dalam situasi tertekan.

Nah, dalam konteks itulah kalimat Nadin Amizah harus diletakkan.

Ia tidak sedang mengatakan semua orang miskin gampang melakukan kejahatan. Sebaliknya, justru dalam situasi tertekan, orang kaya tidak akan bertingkah layaknya orang miskin tadi, seperti turun ke jalan lalu menjambret, misalnya.

Kita tahu, tiap kali merasa posisinya terancam, alih-alih melakukan kejahatan, orang kaya biasanya justru mendekatkan diri ke Tuhan. Perhatikan saja semisal Jaksa Pinagki yang tiba-tiba memakai jilbab di pengadilan, atau Rizal Djalil yang setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap yang ujug-ujug menganggap kasusnya semata-mata murni cobaan dari Allah.

Secara tersirat, Nadin Amizah sebetulnya hendak mengatakan kalau dalam situasi apa pun itu, jadilah orang kaya dan miskin yang beriman dan tidak merugikan orang lain. Walaupun menjadi tersangka, buktinya orang kaya semacam Rizal Djalil tidak menyalahkan supirnya. Nah, harusnya, orang miskin juga begitu, menjalani hidup dengan mengembalikan semuanya kepada Tuhan.

Konteks keterdesakan itu yang harus dimengerti dari Nadin Amizah yang tidak boleh dipahami dalam situasi tidak terdesak. Sebab dia tahu, kalau dalam situasi normal, justru orang kayalah yang jadi sumber dari kesengsaraan si miskin.

BACA JUGA Yang Tak Disadari dari Satire ‘Besanan Kaum Miskin’ ala Muhadjir Effendy dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.

Exit mobile version