Memahami Klorokuin, Obat yang Diklaim Bisa Sembuhkan Penderita Corona

Memahami Klorokuin, Obat yang Diklaim Bisa Sembuhkan Penderita Corona

Memahami Klorokuin, Obat yang Diklaim Bisa Sembuhkan Penderita Corona

MOJOK.COKlorokuin diklaim jadi salah satu obat yang bisa membantu penderita corona. Tak lama, di beberapa lapak online tiba-tiba banyak akun jualan obat ini.

Segera sesudah Presiden Jokowi mengumumkan ada obat yang namanya klorokuin dan digunakan sebagai upaya penyembuhan terhadap corona, begitu cepat pula obat itu jadi kondang lagi. Dan seperti biasa pula, di lapak online, mulai banyak orang bakulan dengan embel-embel sebagai obat corona.

Sebagai apoteker dengan sertifikat kompetensi kedaluwarsa, saya tentu mengelus dada melihat fenomena ini. Sejak si virus masih bernama novel coronavirus, kita sudah melihat begitu banyak dampak sifat asli manusia yang serakah dan oportunis.

Mulai dari masker kosong, ganti ke hand sanitizer, sekarang bahkan sarung tangan plastik dan alcohol swab juga ikutan tandas.

Korbannya? Tentu saja, lini terdepan yang menghadapi corona, yakni: tenaga kesehatan.

Sebagai gambaran saja betapa ngerinya keserakahan model begini, di grup teman kuliah, ada seorang teman yang bekerja sebagai apoteker di rumah sakit besar, di kota cukup besar, dengan jumlah ODP dan PDP yang terbilang besar juga. Teman saya ini sampai nanya via Whatsapp: “Halo, ada yang punya masker?”

Gila, teman saya yang tenaga kesehatan saja sampai kekurangan masker.

Sekarang, sesudah Alat Pelindung Diri (APD) tampaknya mulai bisa diatasi dengan bantuan-bantuan dari orang-orang di luar pemerintahan, persoalan larisnya klorokuin dapat menciptakan problem baru lagi.

Boleh jadi, salah satu alasan Presiden Jokowi sampai perlu menyebut nama klorokuin ke publik adalah karena nun jauh di sana, ada presiden doyan twitteran bernama Donald Trump yang dalam pengarahan media mengklaim bahwa FDA (BPOM-nya Amerika) telah menyetujui klorokuin sebagai obat corona.

Donald Trump bahkan begitu percaya diri berkata, “Normally the FDA would take a long time to approve something like that (persetujuan obat baru untuk COVID-19), and it’s—it was approved very, very quickly and it’s now approved, by prescription.”

Presiden Jokowi sebetulnya sudah lebih aman dalam membuat pernyataan karena mengawali dengan penekanan bahwa obat yang spesifik untuk corona itu belum ditemukan. Ketika kemudian menyebut klorokuin, Presiden Jokowi menyebut bahwa sudah dicoba di beberapa negara dan memberikan kesembuhan.

Dampak dari pernyataan Trump tanggal 19 Maret sudah merembet sampai ke Nigeria karena tanggal 20 Maret sudah ada rumah sakit yang menerima pasien keracunan klorokuin.

(((keracunan klorokuin)))

Bayangkan kalau tenaga kesehatan, lagi waspada dan fokus mengurusi pasien corona, lalu tiba-tiba dapat pasien yang justru masuk karena keracunan klorokuin—karena salah terima info supaya nggak kena corona malah minum klorokuin.

Ini mirip dengan cerita di Iran, ketika 44 orang malah meninggal gara-gara meminum alkohol yang dipikir bisa untuk mencegah coronavirus.

Penggunaan klorokuin sebagai terapi untuk penyakit yang lahir tahun 2019 sebenarnya agak unik juga karena klorokuin adalah obat yang jadulnya minta ampun.

Dalam upaya mencari obat untuk penyakit malaria setelah Atabrine, klorokuin sebagai obat sintetik sudah pernah ditemukan pada tahun 1934 di Jerman dengan nama Resochin sebelum kemudian sempat lama diabaikan karena hasil uji memperlihatkan bahwa obat ini terlalu toksik untuk manusia.

Obat ini baru diberi nama klorokuin di Amerika Serikat pada tahun 1946 sesudah melalui riset selama beberapa tahun. Proses uji klinik Resochin maupun klorokuin ini melibatkan sipil, militer, dan bahkan negara jajahan. Boleh jadi, pada masanya, malaria bagi manusia yang hidup saat itu setara COVID-19 bagi manusia tahun 2020.

Dalam perkembangannya, parasit Plasmodium yang menyebabkan malaria itu sudah kenal dengan klorokuin sehingga mulai menyesuaikan diri atau dikenal juga dengan istilah resisten. Tidak semua, sih, tapi resistensi terhadap klorokuin kemudian mendorong penemuan obat-obat baru untuk malaria.

Klorokuin sendiri di Indonesia banyak digunakan di Papua, karena angka kejadian malaria yang masih tinggi di sana. Sekitar 70 persen kasus malaria di Indonesia terjadi di Papua.

Saya punya pengalaman menarik dengan klorokuin ini. Jadi saya dulu pernah bekerja di salah satu pabrik obat kondang, yang sudah berdiri pada zaman Indonesia masih banyak malaria. Nah, otomatis obat berbahan baku klorokuin menjadi salah satu obat perdana dari perusahaan tersebut.

Ketika masuk pada tahun 2009, dalam rapat-rapat dengan bagian marketing dan produksi, saya sering mendengar bahwa obat ini mau dihentikan saja penjualannya. Pertama, pembelinya makin sedikit mengingat semakin minimnya malaria di Indonesia, plus persaingan dengan BUMN. Kedua, bentuk tabletnya yang nggak umum agak bikin riweuh proses produksi.

Satu-satunya yang membuat obat ini tidak dihentikan ketika itu adalah karena sang pendiri tidak mengizinkan penghentian tersebut. Salah satunya antara lain karena faktor historis.

Terakhir saya lihat di Google, ada lapak daring yang menjual produk ini dengan embel-embel produk terbatas karena pabrik sudah tidak produksi lagi. Saya juga cek di BPOM, nomor registrasinya juga sudah tidak ada.

Dari sisi marketing, kebayang dong berapa opportunity loss kalau benar bahwa obat itu kemudian bisa menjadi solusi dalam kasus Covid-19? Jadi, jangan salahkan juga pemerintah kok impor obat kuno. Ya karena pada dasarnya obat ini tadinya nggak laku-laku amat di Indonesia.

Penggunaan klorokuin dan remdesivir untuk menghambat Covid-19 secara in vitro dilakukan oleh Wang et al. (2020) pada akhir Januari 2020 dan langsung dipublikasikan tanggal 4 Februari 2020. (Kamu bisa download jurnalnya di sini).

Justifikasi ilmiah tersebut yang menjadi landasan para dokter di beberapa negara mencoba menggunakan klorokuin sebagai terapi untuk pasien COVID-19.

Sebulan kemudian, muncul pula penelitian dari Liu et al. (2020) yang baru dipublikasi 18 Maret 2020 bahwa ada turunan dari klorokuin yaitu hidroksiklorokuin juga menghambat infeksi SARS-CoV-2 alias virusnya COVID-19 pada pengujian in vitro. Hidroksiklorokuin disebutkan lebih tidak toksik jika dibandingkan dengan klorokuin. (Kamu bisa download jurnalnya di sini).

Dunia akademik memang sedang berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaik pada selesainya masalah COVID-19 ketika dunia politik justru lebih ramai anggota DPRD yang sakti karena menganggap dirinya terhormat sehingga nggak perlu dipantau terinfeksi virus corona atau nggak.

Sementara itu, dunia yang panik mulai deh mencari cara untuk mendapatkan klorokuin atau bahkan mendapatkan keuntungan dari keadaan sebagaimana yang terjadi dalam kasus masker maupun APD lainnya.

Padahal sudah ditekankan bahwa obatnya COVID-19 yang pasti itu belum ada. Pencegahannya ya social distancing dan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) serta—kalau kata Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto—enjoy aja.

Klorokuin dan obat-obat lain yang nanti bakal disebut adalah obat-obat yang sudah ada dan berdasarkan kajian ilmiah digunakan oleh para dokter untuk mencoba menaklukkan virus corona di tubuh pasien. Tentu sembari menunggu obat yang sesungguhnya bisa hadir.

Jadi, kalau ada yang nekat minum klorokuin tanpa rekomendasi tim medis terpercaya atau kamu yang tiba-tiba jual klorokuin sembrambangan karena yakin dapat untung banyak, ya tinggal tunggu akibatnya aja. Lha wong dahulu kala klorokuin ini pernah diabaikan karena terlalu toksik bagi manusia kok.

BACA JUGA Kegiatan yang Seharusnya Dilakukan Gatot Nurmantyo atau tulisan Alexander Arie lainnya.

Exit mobile version