Susahnya Menjadi Netral di Tengah Netizen yang Tidak Netral

netral

Dua hari yang lalu, akun Instagram Mojok membikin konten infografik yang isinya berisi daftar 40 caleg mantan napi korupsi yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam daftar tersebut, disebutkan nama-nama si caleg beserta partai pengusungnya.

Golkar, Gerindra, Hanura, dan Demokrat menjadi empat partai teratas yang paling banyak mengusung caleg mantan koruptor.

Nah, dalam daftar tersebut, tidak ada partai PDI Perjuangan, PSI, Nasdem, dan PKB. Empat partai yang kebetulan semuanya menjadi pengusung pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amien.

Tidak adanya empat partai tersebut, utamanya PDI Perjuangan, membuat banyak netizen yang kemudian menuduh Mojok tidak netral. Ada banyak sekali komentar yang menganggap Mojok condong ke Jokowi.

“Mojok adalah favorit ku, makanya aku mnjd followers nya, tp setelah berita ini turun maka aku resmi utk meninggalkan nya, mojok semakin tdk berimbang.”

“Yg fair dong min.. Semua partai lah harusnya nanti kesannya mojok cuma media pesanan.. Klo mmg ga ada ya bagus lah tapi klo mmg ada ya masukin jg dong…”

“Yahhhh… Berpihak gak usah di share min, PDIP jugak korup lohh.. ternyata admin nya caleg PDIP haha.”

Sebagai orang yang bekerja di Mojok, tentu saja saya dibikin ngelu. Lha gimana, dalam daftar yang dirilis oleh ICW, keempat partai yakni PDI Perjuangan, PSI, Nasdem, dan PKB memang tidak dicantumkan karena tidak memperbolehkan mantan koruptor untuk maju sebagai caleg. Masak kami harus mencantumkan sesuatu yang memang tidak bisa dicantumkan.

PDI Perjuangan, misalnya, sejak September tahun lalu memang melarang mantan napi korupsi untuk maju sebagai caleg. Bahkan satu caleg asal dapil Poso yang maju melalui PDI Perjuangan akhirnya dicoret oleh partai kendati secara aturan diperbolehkan.

PSI lebih “berani” lagi. Sejak awal, sejak masa pembukaan pendaftaran, PSI sudah melarang mantan napi korupsi untuk ikut mendaftar.

Dari sini saya mulai belajar, bahwa kenetralan kadang hadir bukan melalui standar yang netral. Ia hadir melalui kacamata keinginan yang tentu saja berpihak.

Kali lain, Mojok pernah dianggap sebagai media partisan karena sering mengulas kelucuan-kelucuan dan kewaguan-kewaguan tokoh-tokoh dari kubu pendukung Prabowo.

Sekali lagi, ini cukup bikin saya ngelu dan agak mumet.

Lha Mojok selama ini memang media yang dikenal suka mengakspos isu-isu yang lucu.

Nah, dalam kontestasi politik menjelang 2019 ini, sosok-sosok politisi yang tingkahnya lucu memang kebetulan kebanyakan dari kubu pendukung Prabowo.

Sebut saja Amien Rais yang menyebut partai setan dan partai Allah. Kemudian Ferdinand Hutahaean yang menyebut tanda-tanda kemenangan Prabowo karena mobilnya kejatuhan tahi burung berbentuk angka 2. Lalu ada Habiburokhman yang menyebut Prabowo akan menang karena ia melihat awan di langit membentuk siluet gambar Prabowo sedang memakai topi koboi. Tak ketinggalan sosok Ratna Sarumpaet yang wajahnya bengkak karena operasi medias tapi mengaku dianiaya. Sampai Sandiaga Uno yang dengan sangat lucunya menggunakan gimik jurus bangau sampai wig dari petai.

Nah, sementara dari kubu Jokowi, sejauh yang Mojok tahu, sosok-sosok lucu dan wagu mentok hanyalah Ngabalin dan Farhat Abbas. Itupun yang disebut terakhir sudah dipecat dari tim pemenangan karena pernyataannya terlalu wagu.

Sungguh, kalau kebetulan orang-orang yang lucu itu sebagian besar berada dalam kubu Jokowi, pasti Mojok akan lebih banyak membahas mereka dengan segala kelucuan dan kewaguannya.

Ah, susah betul dianggap netral di tengah masyarakat yang bahkan memandang sesuatu dengan tidak netral.

Pantas saja Netral ganti nama jadi NTRL. Sebab memang Sudah menjadi Netral.

Exit mobile version