Belajar Bersyukur dari Kisah Tsutomu Yamaguchi

bersyukur

Kiranya saya merasa perlu untuk menceritakan kisah tentang Tsutomu Yamaguchi. Seorang lelaki hebat yang kisahnya moncer dan kesohor di seantero dunia.

Di tahun 1945, Yamaguchi berusia 29 tahun. Ia bekerja sebagai pegawai di Mitsubishi Motors.

Di awal bulan Agustus, kantor tempatnya bekerja memberikan tugas kepadanya untuk melakukan perjalanan bisnis ke Hiroshima, kota yang kelak menjadi sangat populer karena dihancurkan oleh Amerika dengan bom atom.

Saat peristiwa nahas itu terjadi, Yamaguchi sedang berada di lokasi yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi bom dijatuhkan. Ia bahkan sempat melihat saat bom tersebut dijatuhkan dengan dua parasut kecil. Ia juga sempat melihat kilatan cahaya yang amat terang saat bom itu meledak.

Detik-detik berikutnya adalah tentang kehancuran luar biasa. Kota luluh lantak dengan kerusakan yang tak bisa dibayangkan sebelumnya.

Kendati demikian, Yamaguchi ternyata selamat meski gendang telinganya pecah dan ia mengalami luka bakar yang serius di tubuh bagian kirinya. Ia bahkan sempat buta sementara.

Dengan kondisi tubuh yang penuh luka sampai cenderung tak bisa dikenali, ia lantas berusaha keras mencari bantuan medis. Perjuangannya tak sia-sia, ia berhasil mendapatkan perawatan seadanya dari para petugas medis yang berkeliling mencari korban selamat.

Dengan kondisi kota yang berantakan, mustahil bagi Yamaguchi untuk bisa mendapatkan perawatan yang memadahi. Maka, dengan penuh keputusasaan, Yamaguchi kemudian bergerak ke stasiun dan berharap bisa kembali ke kampung halaman untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Perjalanan menuju stasiun merupakan perjalanan yang amat memilukan. Di sepanjang jalan, mayat-mayat bergelimpangan dengan kondisi yang mengenaskan. Kulit mereka meleleh seperti plastik terbakar. Bangunan-bangunan hancur dan rata. Ia sampai harus menyeberangi sungai yang penuh dengan mayat sebab jembatan yang menghubungkan jalan ke stasiun ternyata ikut hancur.

Beruntung bagi Yamaguchi karena dalam kondisi yang sangat kacau, stasiun yang ia tuju, entah bagaimana caranya, ternyata tetap beroperasi.

Yamaguchi pada akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.

Namun, derita Yamaguchi ternyata belum berhenti. Perjalanannya pulang ke kampung halaman itu justru mengantarkannya pada penderitaan yang lain. Sebab kampung halaman yang dituju oleh Yamaguchi adalah… Nagasaki.

Di kota kampung halamannya itu, Yamaguchi akhirnya bisa bertemu dengan keluarganya. Ia juga mendapatkan perawatan yang baik. Bahkan, walau dengan luka yang belum pulih betul, ia sudah berani masuk kerja.

Di kantornya, ia menceritakan tentang betapa mengerikannya peristiwa pengeboman Hiroshima itu kepada rekan dan atasannya.

Tepat saat ia menceritakan tentang dahsyatnya bom Hiroshima itulah, bom atom kedua yang kali ini dijatuhkan di Nagasaki meledak.

Saat bom Nagasaki meledak, kantor Yamaguchi hancur. Yamaguchi tersungkur dan kembali menerima apa yang tiga hari sebelumnya ia terima di Hiroshima. Luka-lukanya yang sudah sempat diperban kembali menganga. Ia mengalami rasa sakit yang amat sangat.

Dan ajaibnya, ia lagi-lagi selamat.

Dengan luka tubuh yang kali ini lebih mengerikan dari luka sebelumnya, Yamaguchi tak mempedulikan kondisi tubuhnya. Ia bangkit dari puing-puing bangunan kantor dan merangsek keluar.

Tak ada tujuan lain bagi dirinya saat itu selain rumahnya. Ia harus mencari tahu keadaan keluarganya.

Hati Yamaguchi remuk berkeping-keping saat tahu rumahnya sudah hancur dan rata dengan tanah. Seluruh bangunan rumahnya ambruk. Sama seperti bangunan-bangunan yang lain.

Namun tak berselang lama, betapa bahagianya Yamaguchi saat mengetahui bahwa istri dan anaknya yang masih bayi ternyata selamat.

Kelak, Yamaguchi akhirnya meninggal tahun 2010 lalu di usia 93 tahun. Usia yang sangat panjang untuk ukuran seseorang yang selamat dari bom Hiroshima dan Nagasaki.

Kisah tentang Yamaguchi di atas rasanya bisa menjadi sebuah refleksi yang unik dan menarik tentang hidup.

Betapa hidup kerap memberikan penderitaan dan cobaan bertubi-tubi tanpa mengenal ampun dan belas kasihan.

Namun, akan selalu ada hal yang layak untuk disyukuri setelah cobaan yang datang dan menyerang secara brutal dan kolosal itu berakhir.

Tuhan selalu memberikan rasa syukur dengan caranya sendiri. Dan penderitaan boleh jadi adalah salah satunya.

“Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Boleh jadi tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi dipecatnya engkau dari pekerjaan adalah suatu maslahat,” begitu kata Prof Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya.

Kita seringkali mengumpati hidup dan menganggapnya tak adil hanya karena kita ditimpakan sebuah masalah yang serius dan berat.

“Hidup ini sungguh tidak adil!” kata si Samsul, saat ia tahu bahwa Hiroh, gadis yang ia taksir selama lima tahun terakhir ini ternyata justru menikah dengan orang pilihan orang tua Hiroh, padahal Samsul sudah bekerja keras mengumpulkan uang demi melamar si Hiroh.

“Hidup ini sungguh tidak adil” kata si Burhan, saat ia tahu bahwa perusahaan tempat ia bekerja memecatnya karena ia tidak bisa memenuhi target penjualan selama sebulan terakhir. Padahal di bulan-bulan sebelumnya, penjualan selalu gemilang, bahkan melebihi kawan-kawan marketing yang lain.

“Hidup ini sungguh tidak adil” Kata si Rahayu setelah sang ayah tercinta harus meringkuk di Penjara karena dituduh korupsi, padahal sebenarnya, justru ayahnya lah yang dengan berani mengungkap tindak korupsi yang selama ini menggerogoti institusi tempat ayah Rahayu bekerja.

“Hidup ini sungguh tidak adil” kata si Markonah, yang sampai usia sepuluh tahun perkawinan belum juga punya anak, padahal ia sudah setiap hari berdoa, sedekah, mendatangi dokter sana-sini, juga pengobatan alternatif kesana-kemari.

Ketika semua merasa bahwa hidup penuh dengan ketidakadilan, maka di situlah letak keadilan yang sesungguhnya.

Semua orang akan mendapatkan jatah ketidakadilannya masing-masing, dengan jalan masing-masing. Begitulah keadilan.

Tugas manusia memang bersabar dan bersyukur. Bersabar atas bencana, dan bersyukur atas bencana. Bersabar atas nikmat, dan bersyukur atas nikmat pula.

Sama seperti Yamaguchi, yang kelak, pada satu titik, justru merasa sangat bersyukur karena terkena ledakan bom Hiroshima. Sebab dengan itulah anak dan istrinya selamat.

Ya, istri Yamaguchi dan anaknya yang masih kecil itu selamat karena saat ledakan, mereka sedang keluar rumah untuk membeli salep yang digunakan untuk mengobati luka bakar Yamaguchi akibat terkena bom Hiroshima.

Exit mobile version