The Beatles boleh jadi memang lahir di Liverpool, namun saya tak pernah setuju jika orang-orang menyebut The Beatles adalah milik Liverpool.
Kalaulah memang ia harus diakui sebagai milik Liverpool, maka itu hanya sampai tahun 1962 saja, sebab, di tahun 1963, tahun di mana album Please Please Me dirilis dan sukses, The Beatles bukan lagi milik Liverpool, ia otomatis menjadi milik Inggris. Hingga di tahun 1964, saat The Beatles tampil pertama kalinya di Amerika serikat, ia sudah bukan lagi milik Inggris apalagi Liverpool, ia milik umat manusia.
***
Saya bukan fans berat The Beatles, terlalu lancang rasanya kalau saya menyebutnya demikian, sebab, saya hanya hafal beberapa lirik lagunya, itupun lagu-lagu yang kelewat pop seperti Hey Jude, Come Together, Let It Be, I Want to Hold Your Hand, atau Twist and Shout. Selebihnya, saya mentok cuma hafal nadanya, sedangkan liriknya, dengan sangat terpaksa harus saya ganti dengan “du du du” atau “na na na”.
Saya hanya berani mendaku diri saya sebagai penggemar amatir The Beatles, seseorang yang sekadar menyukai lagu-lagu The Beatles, tanpa mengoleksi album, pernak-pernik, atau memorabilianya.
Dan menyambangi Ascos setiap senin malam adalah salah satu bentuk ikhtiar saya dalam upaya membuktikan diri bahwa saya masih cukup layak untuk dianggap sebagai penggemar The Beatles, sungguhpun hanya penggemar amatir.
***
Ascos, begitu orang-orang menyebutnya. Ia akronim dari Asmara art & coffee shop, sebuah café, bar, sekaligus galeri seni yang ada di Tirtodipuran. Di sanalah, setiap hari senin malam, “The Beatles” tampil. Sengaja saya tulis The Beatles dengan tanda petik sebab tentu saja bukan The Beatles yang benar-benar tampil di sana, melainkan band spesialis lagu-lagu The Beatles. Mereka menyebut dirinya, Lonely Heart Club Band.
Band ini terkenal sebagai salah satu pionir pengcover lagu-lagu The Beatles. Tak heran jika band ini populer di kalangan The Beatlesmanis Jogja, Komunitas penggemar The Beatles di Jogja.
Lonely Heart Club Band terdiri dari lima personel, Diar pada vocal nyambi gitar, Toto pada gitar, Micky pada bass, Totok pada keyboard, dan Fajar sebagai penggebuk drum.
“Lonely Heart Club Band ini salah satu band spesialis The Beatles paling moncer di Jogja, Mas Agus,” jelas Mbilonx, salah satu koki di Ascos.
“Di Jogja ini, band spesialis The Beatles itu banyak nggak sih?” Tanya saya
“Sebenarnya banyak band-band lain yang juga nggarap lagu-lagunya The Beatles, tapi setahu saya yang paling aktif dan paling banyak manggung ya Lonely Heart Club Band. LHCB ini bahkan didapuk sebagai duta Beatles Jogja.” terangnya.
Di Ascos, saya memang sering ngobrol dengan Mbilonx, kebetulan, ia juga orang Magelang, jadi nyambung. Saya mendapat banyak informasi tentang Lonely Heart Club Band dan juga band-band pengisi lain di Ascos dari dia.
Dari Mbilonx pula, saya tahu, di mana saja Lonely Heart Club Band pernah manggung.
***
Ascos menjadi salah satu cafe langganan para awak Mojok. Seminggu sekali atau dua minggu sekali, saya dan beberapa kawan Mojok hampir pasti menyempatkan waktu untuk nongkrong di sana. Kami bahkan sampai menggunakan istilah “Ngascos” karena saking seringnya kami menyambanginya.
Saya pertama kali tahu Ascos sekitaran tahun 2015, kala itu, saya diajak ke sana oleh rekan sejawat saya sesama redaktur, Cik Prim. Sejak pengalaman pertama kalinya ke Ascos, saya langsung memantapkan diri bahwa saya harus lebih sering menyambanginya. Dengan, atau tanpa Cik Prim.
Jika dibandingkan dengan café atau bar lain di bilangan Tirtodipuran atau di sekitar Jalan Parangtritis, sebenarnya tak ada yang istimewa dari Ascos. Ia menyediakan bir, kopi, aneka jus buah, cemilan standar: jamur dan kentang goreng, sampai makanan berat seperti sandwich sampai nasi goreng. Ia tak jauh berbeda dengan café dan bar di sekitarnya. Kalaupun ada yang berbeda, itu hanyalah menu khas Brazil yang sengaja ditawarkan Ascos seperti Piri-piri de Frango sampai Brazilian Mojito.
Namun, seperti halnya Chinmi yang punya tinju peremuk tulang atau Son Goku yang punya kamehameha, Ascos punya jurus andalan yang saya rasa cukup ampuh untuk menarik minat orang untuk datang menghangatkan kursi cafenya: menghadirkan live music sepanjang hari.
Hampir setiap hari, kecuali senin dan minggu, Ascos selalu menghadirkan live music multigenre di cafenya. Hari selasa, misalnya, Ascos menghadirkan music jazz melalui Jazz n’ Soulways, rabu untuk blues bersama Semendelic, kamis untuk reggae bersama Eastjam, jumat untuk Rolling Stone dan blues bersama Aan and the Old Fellas, dan sabtu untuk classic rock bersama Dr Feelgood. Untuk hari minggunya libur, sedangkan hari senin biasanya diisi dengan pameran seni.
Dulu, para awak Mojok biasanya nongkrong setiap hari rabu, band pengisi hari rabu waktu itu adalah Difinside, yang membawakan lagu-lagu classic rock manca dan lokal. Kami bahkan sampai punya daftar lagu rikues yang biasa kami minta untuk dibawakan. Untuk lagu manca, kami biasanya minta I Remember You-nya Skid Row, sedangkan yang lokal, biasanya kami minta Sanggupkah Aku-nya Andy Liany, atau Salam Untuk Dia-nya Voodoo.
Namun, sejak lebaran tahun lalu, entah karena sebab apa, Difinside tidak lagi manggung di Ascos. Mereka kemudian digantikan oleh band blues asal Jogja, Semendelic.
Sejak Difinside tidak pernah tampil lagi di Ascos, jadwal ngascos kami kemudian bergeser, yang tadinya rabu, kemudian menjadi sabtu, karena band pengisi di hari sabtu adalah Dr Feelgood, yang ndilalah masih satu genre dengan Difinside, yaitu classic rock. Dengan Dr Feelgood, rikues lagi kami masih tetap sama seperti saat masih dengan Difinside. Dan, Dr Feelgood bisa membawakannya tak kalah bagus dari Difinside. Kami bahkan menjadi akrab dengan vokalisnya.
***
Di Ascos, Lonely Heart Club Band sebenarnya tidak punya jadwal tetap. Sebab, hari senin biasanya diisi dengan aneka pameran kesenian, eksibisi, peluncuran album, diskusi sastra, pembacaan puisi, dan sebangsanya. Maklum, sebab sesuai dengan namanya, Asmara art & coffee shop, Ascos bukan semata café ataupun bar, namun juga galeri seni, sehingga tak heran jika sering dihelat pameran seni di Ascos.
Nah, Lonely Heart Club Band ini biasanya tampil jika hari senin di Ascos tidak ada agenda pameran seni. Kebetulan, Diar, si Vokalis adalah salah satu pemilik Ascos, sehingga mudah baginya untuk mengisi jadwal kosong di hari senin tersebut. Sekalian buat klangenan para penggemar The Beatles di Jogja.
Biasanya, Lonely Heart Club Band manggung satu bulan atau dua buan sekali di Ascos, namun ndilalah, sudah dua bulanan ini, jadwal pameran hari senin di Ascos sering kosong, maka otomatis, Lonely Heart Club Band jadi lebih sering manggung. Hampir setiap minggu.
Satu bulan yang lalu, saya mengajak pacar saya ke Ascos untuk The Beatles-an di sana, namun dasar saya egois, pacar saya ternyata nggak mudeng dan nggak tahu lagu-lagunya The Beatles, jadinya selama band tampil, pacar saya cuma diam plonga-plonga tanpa bisa ikut sing along. Padahal biasanya, kalau disuruh sing along lagunya Melly Goeslaw, dia nomor satu.
Sejak kejadian itu, saya lebih sering sendiri kalau ke Ascos hari senin malam. Kadang sama kawan jika ada yang mau menemani, seperti senin kemarin, saya datang bersama Ega, tukang gambar di Mojok.co yang wajahnya luar biasa mencurigakan itu.
Kami datang pukul sembilan malam, dan tentu saja, kami sudah tertinggal beberapa buah lagu, semoga tak banyak, sebab live music di Ascos memang dimulai pukul setengah sembilan.
Sampai di Ascos, Lonely Heart Club Band sedang membawakan Strawberry Fields Forever, lumayan, kami masih kebagian separuh lagu, masih sempat kebagian reff satu kali.
Let me take you down
‘Cause I’m going to Strawberry Fields
Nothing is real
And nothing to get hung about
Strawberry Fields forever
Di Ascos, saya biasanya memesan cappucino panas plus kentang goreng, begitu juga Ega. Maklum, Saya dan Ega bukan tipe peminum yang baik. Utamanya saya, perut saya ini sudah kadung berkawan baik dengan kolak dan sekoteng, ia seakan tak pernah mau berdamai dengan bir atau sebangsanya.
Maka, ketika kami memandang ke meja di sebelah kiri-kanan kami yang penuh dengan bir, kami langsung merasa bahwa sebagai orang yang bekerja di dunia kreatif, kami ini blas nggak ada sangar-sangarnya.
Tapi tak apa, wong ya mau bir atau cappuccino, kalau memang diminum sambil ditemani lagu-lagu The Beatles, saya rasa, efek mabuknya akan tetap sama.
Di Ascos, waktu tampil untuk band pengisi dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dari jam setengah sembilan sampai jam sepuluh, kemudian istirahat lima belas menit, dan kemudian dilanjut ke sesi dua sampai jam setengah dua belas.
Nah, di waktu istirahat itu, para personel band pengisi biasanya akan menyalami pengunjung sambil kenalan atau ngobrol-ngobrol ringan. Ini mungkin yang membuat kedekatan emosional antara pengunjung dan band pengisi. Kadang, saat ngobrol-ngobrol inilah, pengunjung bisa rikues lagu apa yang ingin dibawakan.
Saya salah satu pengunjung yang sering rikues lagu, walau kadang, dalam hati, saya merasa rikuh juga, sebab, pesennya cuma cappuccino sama kentang goreng, tapi rikuesnya berkali-kali dan nggak tahu diri. Tapi tak apa, toh, Toto, si gitaris pernah berujar sama saya, katanya, dia malah senang kalau ada yang rikues lagu. Hal yang membuat ketidaktahudirian saya mendadak terampuni.
Ada empat lagu yang sering sekali saya rikues, yaitu Do You Want to Know a Secret; Here, There, and Everywhere; Obladi-Oblada; dan Michelle.
Entah kenapa, setiap kali lagu favorit saya dibawakan, saya merasa, bahwa The Beatles bukan lagi milik umat manusia. Ia milik saya seorang, ya, milik saya.
Michelle, ma belle
These are words that go together well
My Michelle
Michelle, ma belle
Sont des mots qui vont très bien ensemble
Très bien ensemble