Di dunia ini, selalu saja ada orang-orang yang di tangannya, perkara sesimpel dan semudah apa pun selalu bisa menjadi perkara yang begitu rumit, gawat, dan membingungkan.
Orang-orang jenis ini mungkin adalah satu dari sekian jenis manusia yang, meminjam istilah Albert Einstein, have a problem for every solution.
Dan entah kenapa, saya sering dipertemukan dengan manusia-manusia jenis ini. Entah di sosial media, atau di di dunia nyata.
Saya tentu saja selalu punya kesan tiap kali bertemu dengan orang jenis itu. Termasuk orang yang saya temui hari Kamis kemarin.
Kamis kemarin, saya mengikuti acara “Facebook Laju Digital”, semacam acara workshop tentang pemanfaatan fitur-fitur produk Facebook untuk bisnis yang diadakan oleh Facebook Indonesia di Alana Hotel.
Salah satu sesi dalam acara tersebut adalah pembahasan tentang penggunaan Whatsapp business. Saya memang cukup menantikan sesi ini, sebab saya memang sedang getol-getolnya mengoprek Whatsapp business seiring dengan kesibukan saya mengurus toko buku online yang saya jalankan bersama pacar saya.
Sesi Whatsapp business tersebut diisi oleh pemateri dari Facebook. Saya lupa siapa nama pematerinya, namun yang jelas, dari prejengan-nya, tampak betul bahwa ia adalah lelaki metroseksual yang sangat memperhatikan penampilan.
Dalam penyampaian materinya, sebelum sampai pada materi pokok, ia menceritakan kisah bagaimana ia merasa begitu tertolong oleh Whatsapp.
“Saat berangkat ke Jogja kemarin, saya terburu-buru, packing saya kurang sempurna, saking buru-burunya, celana dalam saya ketinggalan,” ujarnya. “Saya baru sadar kalau ternyata celana dalam saya ketinggalan saat saya sudah sampai Jogja. Saya panik setengah mati, nggak mungkin dong saya harus pakai celana dalam yang sama selama tiga hari selama saya tinggal di Jogja.”
Demi mendengar ceritanya tersebut, saya mendengus agak kesal. Saya berbisik pada peserta di samping saya, “Iki pematerine ketoke ra tau mlebu Indomaret, ha mung perkoro cawet we kok urusane iso ribet banget. Ha gari tuku neng Indomaret, patang puluh ewu entuk telu. Beres tho”
“Hoo, ribet banget, Mas…”
Saya kembali melemparkan konsentrasi saya pada si pemateri. Saya menunggu, kerepotan apa lagi yang akan ia sampaikan.
“Untunglah ada Go-mart dan ada whatsapp,” kata dia. “Begitu sampai hotel, saya langsung buka go-mart, trus beli celana dalam di outletnya Uniqlo. Karena pilihan celana dalam di Uniqlo banyak, si driver yang membelikan pesanan celana dalam kemudian berkomunikasi dengan saya lewat Whatsapp, dia kirim beberapa gambar pilihan celana dalam.”
Bedebah. Isi hati saya berontak. Saya kembali berbisik pada kawan di sebelah saya, kali ini dengan suara yang lebih keras.
“Asuuu, mung cekekan cawet we ngasi tuku ng Uniqlo, opo manuke deknen ki larang po yo? Manuke manuk hypebeast ketoke.”
Kawan di sebelah saya malah tertawa, padahal sungguh, saya tidak terlalu berniat melucu, murni karena saya kesal saja dengan adanya kesenjangan dan perbedaan kasta cawet yang ternyata begitu lebar.
Saya kembali mendengarkan penuturan pemateri hypebeast ini. Tentu saja dengan perasaan yang dongkol-dongkol geli.
Diam-diam, saya semakin meyakini teori “Kesuksesan pria berawal dari celana dalamnya”.
Jangan-jangan, saya jadi karyawan Mojok karena celana dalam saya mereknya Indomaret, coba kalau celana dalam saya mereknya Uniqlo, mungkin sekarang saya sudah jadi karyawan Facebook atau karyawan Microsoft.
Pada akhirnya, sepanjang sesi berjalan, yang paling bisa saya ingat dengan jelas dari paparan materinya justru soal celana dalamnya, bukan soal Whatsapp business-nya.
Ah, mungkin di luar sana, memang ada banyak orang-orang yang hidup dengan seni merumitkan perkara sederhana.