Jika politik adalah seni mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, maka di sisi yang lain, politik juga bisa muncul seperti ‘seolah-olah seni’. Pertunjukan tanpa greget. Membosankan. Masih mending kalau menggelikan (dalam makna negatif) pun lumayan. Setidaknya masih menimbulkan rasa geli.
Dari kacamata politik, terlepas Anda setuju atau tidak dengan isu yang diusung, tapi aksi massa 212 terlihat gemilang. Berbagai langkah pencegahan telah dilakukan oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan, tapi kenyataannya peserta tetap membeludak. Hampir semua media massa melaporkan dengan nada positif: massif, tertib, rapi, dan bersih.
Namun Pemerintah juga tak kalah lihai, setelah sebelumnya membuat manuver yang bikin geleng-geleng kepala: menangkap beberapa orang dengan tuduhan makar. Ini agak menggelikan. Masak orang seperti Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani dll dianggap membahayakan? Bahaya dari mana? Punya massa pun tidak, dan kapasitas politik mereka pun pas-pasan. Lagian, mana ada orang yang mau ikut makar jika yang memimpin macam mereka bertiga dan sejumlah orang lain yang kapasitas mereka juga tak lebih baik?
Okelah. Anggaplah memang ada upaya makar dari mereka, tapi mestinya kita ingat di era Presiden SBY berkuasa, Fadjroel Rachman juga pernah terang-terangan ingin menjatuhkan pemerintahan SBY. Apakah SBY menangkapnya? Tidak. Kenapa? Ya karena mungkin SBY tahu, keinginan Fadjroel untuk menjungkalkan SBY adalah dagelan politik. Ditambah SBY mungkin juga tahu, mana ada orang yang percaya Fadjroel bisa memimpin makar? Memimpin gerak jalan sih mungkin. Atau demo kecil-kecilan lah…
Mestinya hal itu pula yang sebaiknya dipakai oleh Pemerintah ketika Ratna, Sri Bintang, Dhani dkk ingin makar. Makar macam apa yang bisa dikreasikan oleh mereka? Makaroni? Kenapa tidak dianggap saja sebagai lelucon akhir tahun? Bukankah selera humor Jokowi lebih bagus dari SBY? Rileks sedikit, Pak Jok. Jalan politik Anda masih panjang. Asal jangan ingkar janji. Nikmatilaaah, kasihmu hari iniiiii… Eh maaf, malah kebablasan menyanyi lagu almarhum Andy Liany yang legendaris itu.
Beruntung Presiden Jokowi bisa menutup langkah berlebihan aparatnya dengan membuat keputusan politik yang ciamik. Dia dengan sedikit rombongan, mendatangi aksi massa 212. Jurus yang tak terduga. Musuh tak siap. Dengan segera, Jokowi mampu mengambil hati sebagian besar para peserta aksi massa 212. Inilah jurus politik berdasarkan falsafah Sosrokartono ‘Nglurug tanpa bala’ atau mendatangi musuh tanpa pasukan, yang berbuah ‘Menang tanpa ngasorake’ yakni menang tanpa membuat musuh merasa dikalahkan. Ini jurus politik yang mintilihir. Top. Berkelas. Semua merasa menang dan semua merasa bahagia.
Sayang sekali, ketika Presiden Jokowi sudah berhasil membuat gerakan yang licin dan cerdas, para pendukungnya malah membuat gerakan yang justru mengganggu kecerdasan langkah Jokowi, dan bisa membuat masalah baru lagi karena mereka malah membuat aksi 412. Diberi apapun judul aksinya, semua orang bakal berpikir mirip: ini adalah aksi massa tandingan. Dan tentu saja aksi massa ini punya risiko politik.
Risiko politik pertama sangat jelas: Menghapus jejak kelihaian politik Jokowi. Padahal dengan Jokowi datang ke aksi 212, lalu memberikan orasi dan menghimbau peserta untuk membubarkan diri dengan tertib, dan himbauan itu diikuti oleh peserta aksi massa, maka hal itu menunjukkan kekuatan Jokowi serta meninggalkan jejak politik yang dalam dan panjang. Namun jejak itu dihapus begitu saja oleh para pendukungnya tanpa pertimbangan yang matang. Ibarat guci indah yang dilabur dengan cat murah.
Risiko kedua, terlihat bahwa para pendukung Presiden Jokowi tak punya kapasitas melakukan manuver politik yang berkelas. Kalau aksi massa dibalas dengan aksi massa, mau apapun hasilnya, dalam citra publik aksi massa tandingan itu hanya upaya membebek dan membeo langkah lawan. Apalagi jika secara kuantitas dan kualitas, aksi massa 412 kalah dibanding 212. Kemiskinan kreativitas macam inilah yang sering membuat politik kita menjadi kering, jumud, dan membosankan. Bukan politik yang penuh greget dan gairah. Apalagi politik yang menggembirakan.
Risiko yang paling tidak keren adalah risiko ketiga: memperpanjang persoalan. Para pendukung Jokowi terlihat bukan malah membantu Jokowi menyelesaikan masalah, atau setidaknya memperingan beban politik Jokowi, tapi justru memberatkan. Sebab dengan langkah penutup sekaligus ‘kuncian’ yang dilakukan oleh Jokowi, situasi sudah mulai adem. Eh, malah ada ‘langkah kipas’ yang membuat bara kembali menyala.
Makin terasa hambar ketika aksi massa tandingan itu dibarengkan dengan kegiatan reguler masyarakat Jakarta ‘Car Free Day’. Mungkin ini upaya taktis agar seakan peserta aksi massa terlihat banyak. Kalau hanya itu tujuannya, apa gak sekalian saja aksi massa menyelam bersama di laut? Setidaknya bisa mengklaim didukung ratusan juta ikan, cumi, udang, dan ubur-ubur. Kalau perlu kerang dan kepiting pun bisa diklaim.
Bukan begitu, Cumi?