Pasca Roma vs Barcelona: 3 Alasan Mengapa Roma Mampu Mengalahkan Barcelona

MOJOK.CO Pembalasan dendam. Inilah 3 alasan mengapa AS Roma berhasil memupus harapan Barcelona.

Remontada! Pembalasan dendam itu usai sudah. Remontada bukan milik Barcelona, melainkan untuk Serigala Roma!

Sebuah kejutan merupakan paket terbaik yang pernah ditawarkan oleh Liga Champions, kompetisi antar-klub paling mewah di dunia. Liga Champions menjadi panggung drama paling diminati, dengan rating paling tinggi, ketika menyajikan keajaiban. Sebuah kejadian yang akan selalu mengingatkan bahwa tidak ada hal mutlak di sepak bola.

Kali ini, di perempat final leg kedua, adalah AS Roma yang menyajikan menu terbaik dari Liga Champions. Kalah dengan skor 1-4 di leg pertama dari Barcelona, skuat asuhan Eusebio Di Francesco tampil penuh vitalitas, membungkam salah satu klub Eropa yang nangkring di papan atas. Klub teras, yang kalah karena lalai dengan detail-detail kecil.

Sebagai bentuk penghormatan kepada Roma, Mojok Institute membuat daftar 3 hal yang membuat Barcelona justru kalah di momen-momen krusial laga. Daje, Roma!

1. Aura disiplin dan agresif dari AS Roma.

Tampil sebagai “yang tak diunggulkan” membutuhkan beberapa bahan pokok. Salah duanya adalah kudu disiplin dan agresif. Mengapa?

Roma pasti akan selalu ditekan oleh Barcelona. Itu hukum pastinya karena mau bagaimana pun juga, Barca unggul secara kualitas komposisi. Namun, ingat, pada dasarnya, keunggulan itu bermula di atas kertas saja. Untuk terejawantahkan di atas lapangan, klub unggulan pun harus bermain dengan situasi 100 persen.

Ketika gagal, nasibnya ya seperti “malam sedih di langit Olimpico”. Barcelona tak bermain dengan intensitas yang dibutuhkan. Bahkan, jika mau jujur mengakui, skuat asuhan Ernesto Valverde terlalu banyak kehilangan momen penting di leg pertama. Untuk situasi ini, big respect harus diberikan kepada Roma.

Roma menunjukkan caranya, dan hebatnya ketika bermain menggunakan dua skema. Pada leg pertama, Roma bermain dengan sistem 4 bek. Untuk leg kedua, Di Francesco mengubah timnya dan bermain menggunakan sistem 3 bek. Sebuah langkah berisiko diambil. Namun, keberanian mengambil risiko tinggi, bayarannya juga akan sangat tinggi. Dan ini dalam konteks positif.

Di Francesco, setidaknya mempertahankan 2 hal yang pernah saya tulis lewat analisis leg pertama, yang bisa kamu baca di sini.

Pertama, merusak poros Barca dalam diri Marc-Andre Ter Stegen, Sergio Busquets, dan Lionel Messi. Bagaimana cara merusaknya? Dengan mempertahankan bentuk segitiga di depan kotak penalti. Untuk leg pertama, kerja berat itu diemban oleh segitiga Daniele De Rossi – Kevin Strootman – Lorenzo Pellegrini dan De Rossi – Kostas Manolos – Federico Fazio.

Untuk leg kedua, pendekatannya berbeda, namun dengan ide yang sama. De Rossi dan Strootman punya koordinasi yang bagus ketika bergerak bersama salah satu bek tengah untuk membentuk segitiga ini. Pun di sisi lapangan, yang diisi Alexsandar Kolarov dan Alessandro Florenzi, punya koordinasi yang bagus dengan salah satu gelandang dan salah satu bek tengah, terutama kanan maupun kiri.

Kedisiplinan itu, memerlukan intensitas, dan Roma menunjukkannya dengan bermain agresif, seperti yang mereka lakukan di leg pertama. Skuat il lupi enggan memberikan 2 kemewahan untuk sang lawan, yaitu ruang dan waktu untuk menguasai bola. Salah satu kelebihan tim asuhan Valverde adalah memainkan tempo, terutama ketika sudah unggul. Intensitas Roma menihilkan kelebihan itu.

Berani agresif adalah cara terbaik untuk mengatasi tim yang unggul komposisi pemain. Ingat, agresif itu tidak selalu berhubungan dengan aksi menyerang gawang lawan terus-menerus. Agresif juga tampak pada sikap dan respons pemain untuk mencegah lawan berkreasi. Menekan (pressing) lawan secepat mungkin, atau bahkan dengan menjaga kompaksi bentuk pertahanan juga termasuk dalam term “bermain secara agresif”.

Roma memetik banyak buah positif dari sikap disiplin dan agresif ini. Ketika bisa dieksekusi dengan baik, justru Barca yang tertekan. Roma membutuhkan gol untuk lolos. Maka, bekal agresif itulah yang dimanfaatkan dengan baik.

Praktis, tiga gol tuan rumah berdasar dari seberapa agresif kamu memaksimalkan penguasaan bola. Umpan vertikal, agresif ketika mempertahankan bola menggunakan bagian tubuh (Dzeko menahan desakan Pique menggunakan teknik kebasan tangan hingga terjadi penalti), dan seberapa besar kamu menginginkan bola ketika bola mati (gol Manolas).

Akankah Roma mampu menjadi juara baru Liga Champions dengan kedisiplinan dan agresivitas yang sama?

2. Kegagapan Ernesto Valverde.

Valverde adalah salah satu “pemikir”. Hal itu nampak ketika Barcelona tampil di La Liga. Pelatih asal Spanyol tersebut cukup sering membuat Barca menang lewat pergantian pemain dan perubahan cara bermain di babak kedua. Namun sayangnya, kelebihan itu hanya nampak di kompetisi domestik saja.

Melawan Roma yang agresif, Valverde justru pasif. Melihat anak-anak asuhnya tertekan, Valverde terlihat gamang. Ia gagap untuk merespons situasi. Valverde baru membuat pergantian pada menit ke-85. Rentang 5 menit saja tentu sungguh sangat sulit bagi pemain mana saja untuk membuat perbedaan, terutama ketika tim lawan sudah unggul secara mental.

Lewat konferensi press selepas laga, Valverde mengungkapkan bahwa dirinya mencoba menyerang ruang di belakang bek tuan rumah. Salah satu caranya adalah dengan umpan vertikal. Namun ingat, Barcelona tak punya pengalaman, tak ada ingatan yang manis ketika Barca bermain dengan bola-bola direct.

Ketika membalikkan keadaan saat melawan Paris Saint-Germain musim lalu, Barca tak sepenuhnya bermain direct. Pun, saat itu, pelatih Blaugrana bukan Valverde. Gamang merespons situasi berdampak negatif bagi pelatih anyar Barca tersebut.

3. Valverde mengabaikan detail-detail kecil.

Menurut kamu, apa resep rahasia Zinedine Zidane hingga bisa membawa Real Madrid dua kali menjadi juara Liga Champions berturut-turut? Jawabannya ada dua. Pertama, berani merotasi pemain penting dan bermain seefisien mungkin.

Dua musim ke belakang, Zidane berani mengganti sembilan pemain dari tim utama ketika berlaga di La Liga. Zidane ingin para pemainnya tetap bugar ketika mentas di Liga Champions, terutama setelah masuk ke fase sistem gugur. Saat itu, pemain-pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Karim Benzema sempat tidak bahagia. Zidane berani melawan resistensi tersebut.

Pada akhirnya, keputusan berani dari Zidane mendapatkan penegasan akan kebenarannya ketika Ronaldo dan Benzema berhasil mengangkat Si Kuping Lebar di ujung musim. Detail kecil inilah yang alpa dilakukan Valverde.

Valverde memainkan Messi selama 90 menit ketika Barcelona mengalahkan Leganes. Narasi yang digunakan adalah memastika Barcelona memecahkan rekor tak kalah selama 38 pertandingan. Apa gunanya 38 kali tak kalah jika pada akhirnya Barca tersungkur di depan kaki Roma?

Valverde punya segala kuasa untuk memainkan pemain lapis kedua ketika melawan tim semenjana itu. Namu, ia justru kalah oleh suara pemain yang ingin selalu bermain. Yang namanya otoritas, tak dimiliki Valverde. Sebuah sikap lembek yang tentunya akan disesali dalam waktu yang lama.

Rotasi memang menjadi masalah bagi Valverde. Sudah 3 minggu lebih pemain-pemain kunci Barca tak diisitirahatkan. Pique, Umtiti, Jordi Alba, Busquets, Messi, dan Luis Suarez begitu jarang mengaso. Hasilnya, kaki-kaki mereka menjadi berat ketika menghadapi agresivitas Roma.

Tiga alasan yang berpadu. Pujian layak dialamatkan kepada kejelian Di Francesco. Semoga Liga Champions menawarkan juara baru.

Exit mobile version