Sapardi Djoko Damono

TOKOH-SASTRAWAN-MOJOK

TOKOH-SASTRAWAN-MOJOK

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Menjadi romantis bagi pasangan bukanlah perkara yang mudah bagi semua orang. Banyak pasangan yang mengeluhkan hal ini. Jangankan mengucapkan dua kata, “Kamu istimewa,” menanyakan, “Kamu sudah makan?” pun tidak pernah. Untuk orang-orang super tak romantis, mungkin mengutip karya-karya puisi atau sajak adalah cara pamungkas ketika mereka dituntut untuk romantis (nek ra romantis babar blas, kita pegat ae ‘kalau tidak romantis, kita putus saja’). Maka, ketika itulah salah satu karya Sapardi Djoko Damono bisa menjadi “dewa” penolongnya.

Sapardi Djoko Damono, atau yang sudah jamak dikenal dengan SDD, adalah satu dari sekian sastrawan Indonesia yang karyanya dekat dengan hampir semua kalangan. Ya, minimal orang-orang pernah membaca sajaknya yang populer di undangan-undangan pernikahan anak zaman now. Pria yang sangat terinspirasi oleh Rendra dan termotivasi untuk terus menulis agar tidak pikun ini, lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Ia mulai menulis puisi di tahun 1957 ketika masih berada di bangku SMA. Baginya, menulis puisi adalah memberi bentuk kepada isi pikiran yang abstrak agar bisa dikenal orang melalui tulisan.

Mengalami hidup selama 78 tahun, menjadikan SDD menyaksikan banyak perubahan zaman, termasuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada peran orang tua dalam pendidikan anaknya. Pengalamannya dalam dunia pendidikan pun—di antaranya menjadi Dekan FIB UI periode 1995-1999 dan hingga saat ini masih mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta—menjadikan ia percaya bahwa anak harus diberikan kebebasan memilih. Dengan cara kebebasan itu, anak dengan sendirinya akan membentuk diri. Bagi penulis Duka-Mu Abadi, Hujan Bulan Juni, Perahu Kertas, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, dan sederet karya prosa, karya fisik, maupun nonfiksi lainnya ini, anak-anak bukanlah boneka. Baginya, anak-anak bisa berpikir, punya kehendak dan kesenangan sendiri. Untuk itu, prinsipnya, biarkanlah anak memilih.

Jadi, kalau orang tua ingin bersikap romantis ke anak, mungkin bisa bilang, “Nak, jadilah seperti yang kamu inginkan. Bapak Ibu menerimamu apa adanya.” Uwuwuwu ~

Exit mobile version