Nggak Pernah Ada yang Bilang Jadi Anak Perempuan Pertama, Piatu, dan di Rumah Saja Itu Seberat Ini

Nggak Pernah Ada yang Bilang Jadi Anak Perempuan Pertama, Piatu, dan di Rumah Saja Itu Seberat Ini MOJOK.CO

Uneg-uneg Nggak Pernah Ada yang Bilang Jadi Anak Perempuan Pertama, Piatu, dan di Rumah Saja Itu Seberat Ini. (Mojok.co)

Saya adalah anak perempuan pertama berusia 24 tahun di keluarga kecil yang hanya terdiri dari saya, adik perempuan, Ayah, dan Ibu. Kurang lebih hidup saya begitu selama 22 tahun. Hingga dua tahun lalu Ibu saya meninggal. Alhasil, hanya kami bertiga. Saya dan adik saya jadi piatu.

Peran ibu mulai saya ambil. Saya yang mengingatkan Ayah saya untuk makan, untuk minum obat, dan berbagai kegiatan yang sering Ayah saya lewatkan. Untuk Adik saya tentu lebih terasa perubahannya. Tidak ada Ibu, semua urusan administrasi perkuliahannya, kebutuhan kuliah dan kost, saya yang mengurus. Termasuk agenda mengunjunginya tiap dua bulan sekali seperti yang dulu Ibu saya lakukan. 

Memilih pulang dan tinggal bersama nenek

Karena saya sudah lulus kuliah di Jakarta, akhirnya saya memilih kembali pulang. Di rumah, ada nenek yang menunggu rumah sembari memastikan rumah tetap berpenghuni. Pasalnya, adik saya harus kuliah ke Bandung dan Ayah saya bertugas di kota yang sama dengan adik saya. 

Alhamdulillah, nggak tau apakah ini amalan saya atau amalan Ibu saya, walau pandemi sudah berakhir, hingga saat ini saya bisa secara penuh kerja dari rumah. Kini, saya menemani Nenek saya untuk memastikan rumah berpenghuni sekaligus menemani beliau yang masih lincah, namun kadang sering flu. 

Mulanya semua lancar-lancar saja. Saya senang bisa bangun kapan saja, tidak perlu bersiap-siap pergi bekerja, bahkan bisa bekerja dengan daster. 

Namun, semuanya berubah waktu memasuki tahun kedua ini. 

Saya mulai bosan. Saya sering merasa iri dengan teman-teman yang bepergian dengan teman kantornya atau teman di perkuliahan magisternya. Mereka juga bisa jalan-jalan ke tempat-tempat hits dan baru, menikmati weekend, dan tentu saja berada di tengah hiruk pikuk kota. 

Sedangkan saya di kampung halaman yang tidak begitu besar, bahkan ojol baru aktif setahun ke belakang. Sudah aktifpun, tidak banyak pilihan makanan yang bisa dipesan. Untuk pesan ayam dari brand K atau M saja, saya harus ke kota yang 30-45 menit jauhnya. Tidak ada bioskop, tidak ada mall, dan tentunya tidak ada teman yang bisa diajak bepergian karena mereka mengejar mimpi ke luar kota. 

Perasaan saya tidak cuma iri saja. Karena saya juga mulai merasa tekanan. 

Keluarga yang dulu menghubungi Ibu saya untuk pinjam uang, jadi memposisikan saya sama dengan Ibu saya. Beberapa kali mereka hendak meminjam uang. 

Ada yang saya beri, ada yang tidak, ada yang saya pura-pura tidak baca chatnya. Lebih menyebalkan lagi, mereka menghubungi adik saya ketika saya tidak membalas mereka. 

Keluarga yang suka meminjam uang

Bagaimana mereka tega pinjam uang dari anak kuliah? Walau keluarga kami berkecukupan, Ayah saya selalu mengajarkan menggunakan uang dengan bijak. Jadi, beliau tidak pernah melebihkan uang jajan adik saya. Jika ia ingin uang lebih, ya harus menabung atau mengikuti lomba yang berhadiah uang. 

Maaf belum menjelaskan sebelumnya, tapi ada anggota keluarga yang masih satu kampung dengan saya. Oleh karena itu, saya sering bertemu mereka. Tentu saja dengan perasaan kesal di dada. 

Mereka mengusik nggak hanya itu saja. Beberapa kali saya harus keluar kota untuk acara kantor, sambil curi-curi waktu juga untuk ketemu teman-teman. Belum lama saya pergi, keluarga besar saya menyuruh pulang menemani Nenek saya. 

Padahal, mereka anak kandungnya. Apa tidak bisa ya menjaga Nenek saya sebentar saja? Toh, tiap hari selalu saya yang menjaga dan menemani beliau. Mereka seolah-olah tidak mau tahu, tidak mau ribet, dan tentunya tidak mau ada Nenek yang harus diurus. Mereka selalu menyalahkan saya jika terlalu lama keluar kota. Padahal, saya pergi paling lama seminggu dengan 2 hari dipotong perjalanan menggunakan Kereta PP. 

Anak perempuan yang ingin keluar rumah

Perasaan-perasaan itu membuat saya ingin keluar rumah. Saya bosan, saya iri, saya kesal. Saya ingin hanya ada diri saya sendiri tanpa orang lain. 

Tapi ketika saya hendak keluar, saya selalu teringat rumah yang nanti sepi dan Nenek yang kesepian. 

Akhirnya, saya urungkan lagi. 

Ketika perasaan-perasaan itu muncul lagi, tentu saya ingin kembali keluar rumah. 

Namun tak pernah lama, karena sudah pasti saya urungkan lagi. 

Saya tidak tahu harus bercerita kemana tentang perasaan saya yang berantakan ini. Ayah saya sibuk, Adik saya yang fokus kuliah, Nenek yang sudah tua, dan teman-teman yang tentu sudah punya kesibukan mereka sendiri, selalu membuat saya urung mengutarakan uneg-uneg yang saya miliki. 

Alhasil, saya sering menangis sendiri. Saya rindu Ibu saya yang selalu punya waktu untuk bercerita. Saya juga rindu diri saya yang dulu sebelum semuanya seperti ini. 

Menikah jadi jalan keluar bagi anak perempuan?

Sekarang pikiran saya cuma menikah. 

Dulu saya mau menikah kalau sudah lulus S2, sudah 27 tahun, dan menjelajahi kota-kota yang ingin saya kunjungi. 

Tapi kini saya mau menikah agar bisa keluar rumah. 

Karena saya rasa hanya dengan menikah, keluarga besar saya tidak akan menghubungi saya untuk segera pulang menjaga Nenek. Karena saya merasa, hanya dengan menikah akhirnya mereka mau merawat Ibu mereka. 

Tapi entahlah, apakah ini pikiran yang sudah benar-benar matang, atau hanya pikiran seorang anak perempuan yang mulai sering menangis kesepian.”

Rahma cholifrahma@gmail.com

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Teman Pondok Pesantren Saya yang Tukang Goshob dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini.

 

Exit mobile version