Curahan Hati Seorang Alumni Pesantren

Curahan Hati Seorang Alumni Pesantren MOJOK.CO

Ilustrasi Curahan Hati Seorang Alumni Pesantren. (Mojok.Co)

Akhirnya, setelah bertahun-tahun terendap, saya berani untuk menyampaikan uneg-uneg saya sebagai alumni salah satu pondok pesantren di Sumatera Barat. Sependek yang saya ketahui, Sumatera Barat adalah salah satu provinsi dengan umat muslim terbanyak di Indonesia dengan 97% penduduknya beragama Islam.

Sejak zaman dahulu, kebudayaan Islam sangat kental di sana. Bahkan dalam adat budaya Minangkabau sendiri -suku mayoritas masyarakat Sumatera Barat, sya’riat Islam dijadikan pedoman hidup. 

Masyarakat hidup dengan falsafah ‘adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ yang artinya ‘adat berdasarkan syari’at, syari’at berdasarkan kitab Allah’.

Kebudayaan seperti ini membawa kehidupan masyarakatnya sangat kental dengan nuansa islami. Salah satu bentuknya dengan adanya lembaga pendidikan keagamaan di Sumatera Barat. 

Baik itu pendidikan non formal seperti; surau, MDA, atau les mengaji. Begitupun dengan pendidikan formalnya seperti pesantren. Dan saya adalah salah seorang yang pernah mengenyam pendidikan di dua model pendidikan ini.

Uneg-uneg sebagai santri

Kondisi sosial yang saya gambarkan tadi, juga mempengaruhi pendidikan orang tua kami di rumah. Akhirnya, saya dan tiga saudara lainnya orang tua kirim untuk mendapat title santri di salah satu pesantren di Sumatera Barat. Kami semua sama-sama mondok selama 6 tahun lamanya. Tentu saja, niat orang tua menyekolahkan kami di pesantren sangatlah baik. Dan saya sangat menyadari hal itu.

Tapi, percaya atau tidak selama di pesantren saya sering merasa gak betah karena terlalu ketatnya peraturan di pesantren. Hal ini terbukti dengan pengalaman saya yang menangis tanpa henti selama satu minggu saat masuk asrama.

 Begitupun mungkin, kakak pertama saya yang menangis hampir tiga bulan lamanya. Bahkan adik saya tak henti-hentinya menangis selama satu semester di sana.

Eiitts. Tunggu dulu, yang saya maksud dengan nangis selama itu bukan setiap detik kami menangis. Tapi selama waktu itu kami masih sempat menangis karena belum terbiasa dan berlalu kuat untuk berpisah dari ‘ketiak’ orang tua. 

Bahkan, saya sendiri karena malu menangis di depan umum, memilih untuk menangis diam-diam di kamar mandi sambil berak. Berbeda dengan adik bungsu saya yang tanpa malu menangis dan berteriak-teriak di tengah keramaian.

Kemudian, selain perihal menagis. Rasa tidak betah saya sering saya lampiaskan untuk berbuat nakal. Entah kenapa, nakal adalah salah satu bentuk pemberontakan paling keren menurut saya pada saat itu. Saya merokok diam-diam di kamar mandi. 

Jadi santri di tengah masyarakat itu kadang menyebalkan

Saya kabur tengah malam ke warnet terdekat hanya untuk sekedar main fb, ya karena saya tidak cukup beruntung untuk lihai bermain game online semacam blank point atau dota yang tenar waktu itu.

Pemberontakan yang saya lakukan sering para pembina di asrama ketahui. Akhirnya, saya mendapat hukuman agar jera. Saya pernah digundulin di hadapan santriwan dan santriwati beberapa kali. 

Guru BK pernah memanggil saya ke ruang BK. Hingga yang paling saya sesali adalah, saat orang tua dipanggil oleh pembina dan menangis mengetahui tingkah saya di pesantren. Saya sedikit iba saat itu, meskipun setelahnya saya masih melakukan kenakalan lainnya. Hadeuh, begitulah pemberontakan, ia harus selalu digaungkan, haha.

Setelah itu, menurut saya yang paling menyebalkan menjadi seorang santri adalah saat bergaul di tengah-tengah masyarakat. Ketika pertama kali liburan di pesantren, saya merasa sedikit canggung dengan teman-teman waktu SD. 

Seolah ada kasta yang telah memisahkan kami. Apalagi ketika Ramadan tiba, saya sengajakan telat datang sholat isya dan tarawih karena takut menjadi imam sholat. Atau ketika selesai sholat subuh, saya tergesa-gesa balik karena khawatir ada yang meminta mengisi kultum. Ah, sungguh beban moral yang sangat memberatkan.

Rasanya, menjadi seorang santri di tengah-tengah masyarakat Minangkabau adalah titel yang sangat luar biasa. Padahal belum tentu seorang santri benar-benar menimba ilmu di pesantren yang kemudian dapat disalurkannya ke masyarakat. Belum tentu juga, semua anak pesantren adalah anak-anak sholeh yang taat dan rajin beribadah. Bahkan, untuk sekadar merokok saja, saya masih ngumpet-ngumpet saat berkesempatan liburan.

Uneg-Uneg sebagai Mantri (Mantan Santri)

Ternyata, menjadi seorang santri adalah menjadi santri seumur hidup. Ketika telah dinyatakan secara resmi sebagai alumni, maka kita akan disebut dengan istilah ‘santri tanpa pondok’. Hal ini mulai saya rasakan saat telah menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Jogja. 

Tidak sedikit teman-teman atau bahkan keluarga yang masih melihat gelar itu di pundak saya.

Misal, ketika kawan-kawan menanyakan, “kamu sekolah dimana dulu?” Entah kenapa, lidah saya berat untuk mengucapkan ‘pesantren’. 

Dan benar saja, saat saya menjawab, sontak mereka timpali dengan kalimat, “wah anak sholeh nih,” “wah pintar agama dong,” “wah pentolan sekolah cabul nih,” – untuk jawaban ini tidak bisa dilepaskan dari fakta buruk yang ada di pesantren.

Jujur, hal ini sangat menyebalkan. 

Seterusnya, saat bertemu keluarga pun. Saya masih dibayang-bayangi dengan gelar tersebut. Ketika sedikit saja lalai dan lupa akan kewajiban agama, pasti keluarga selalu menimpali dengan kalimat, “kamu udah lupa sama yang kamu pelajari di pondok?”

Bahkan yang lebih dalamnya, saya pernah dinasaheti dengan kalimat, “kamu ini sudah sangat melenceng, sudah saatnya balik ke kamu yang dulu.” Ketika saya telat saat bangun sholat subuh. 

Jujur ini sangat menyinggung dan merusak citra santri menurut saya. Karena bagi saya, agama dan amal sholeh itu tidak bisa dikaitkan dengan pesantren. Tapi itu adalah kadar keimanan manusia yang bisa naik dan bisa turun juga.

Hentikan sakralkan titel santri

Akhirnya, saya ingin mengajak para pembaca untuk berhenti mensakralkan titel santri. Santri juga manusia. Mereka bisa saja lupa dan salah. Amal buruk dan amal baik manusia tidak bisa dipandang dari mana sekolahnya. Tapi itu dipandang dari keimanan manusia yang bisa naik dan turun kapan saja. Oleh karena itu, kita sebagai manusia dianjurkan untuk saling menasehati akan kebenaran dan kebaikan.

Selain itu, jujur dari relung yang terdalam. Saya sangat berterima kasih pada orang tua yang telah menyekolahkan saya di pesantren. Meskipun saya dulu nakal dan agak mengecewakan sebagai santri. Begitupun untuk para ustadz dan ustadzah kami, terima kasih atas didikan yang telah kami terima. Ilmu kalian akan menjadi amal jariyah. Aamiin.

Ramadhanur, Gamping, Yogyakarta

BACA JUGA Uneg-uneg Karyawan Retail: Banyak Pelanggan yang Bikin Sebel dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini.

Exit mobile version