Sebagai calon psikolog yang sedang menjalani Praktek Kerja Profesi Psikologi, hari-hari melelahkan saya habiskan dengan cara lurus-lurus saja. Bilamana tidak ada klien yang perlu ditangani, saya akan bergegas ke perpustakaan kampus menghabiskan waktu sepanjang hari. Sekadar untuk mendinginkan tubuh di tengah teriknya panas Surabaya atau bengong meratapi nasib karena ada yang menolak cintaku.
Saya menyadari betul “Perihal hati saya memang masih remidi”. Ini yang kemudian sebagian teman dekat melabel diri saya sebagai “intelektual zero gami”. Sebagian memprediksi nasib saya tak ubahnya seperti Tan Malaka yang jatuh cinta empat kali. Namun, mendapat penolakan lima kali dan berakhir tragis hidup tanpa cinta.
Ini membuat beberapa orang di sekeliling saya menjadi risau sambil merayu supaya mau di kenalkan dengan perempuan kenalan mereka, jawaban saya tetap, “terima kasih, tidak dulu”.
Sebagai insan “zerogami” saya sadar betul kalau saat ini saya tidak memiliki pasangan tapi bukan berarti saya kehabisan akal untuk menemukannya. “Ada 1000 jalan menuju cinta,” kira-kira begitu saya harus menjawab.
Hingga suatu hari, ada DM Instagram dari salah seorang perempuan. Pesan dari orang serupa sejak 2021 lalu. Setelah saya pikir-pikir orang ini boleh juga, jujur saya sudah tertarik sejak awal bertemu.
Sampai akhirnya saya memutuskan untuk mengajaknya ketemu, sekadar ngopi, ngobrol ringan sambil mengantarkan senja pergi meninggalkan kami. Gayung-Pun bersambut, akhirnya kita ketemu juga, momen yang saya harapkan sejak dulu.
Cinta saya ditolak oleh orang yang nge-fans sama saya
Melalui obrolan yang tidak lama tersebut, saya tidak menyangka perempuan yang sudah saya kenal sejak lama ini ternyata “ngefans dengan saya”. Saya tidak bohong, doi sendiri yang bilang.
Obrolan berlanjut saat ia cerita perihal masa lalunya tentang mantan pacar yang nge-ghosting, kehidupan keluarga sampai kehidupannya saat ini. Sambil sesekali ia melemparkan candaan tentang hati hingga membicarakan pernikahan.
“Nampaknya ia telah menyiram setetes air di bunga yang hampir layu, jangan salahkan bila yang tumbuh bukan sekedar bunga melainkan juga cinta,” ucapku dalam hati
Selepas pertemuan itu, saya bertekad untuk terus mengenalnya lebih jauh dengan berkirim pesan secara lebih intens, kami mulai saling berbagi cerita, bertukar kabar. Hingga pada titik naluriku berkata “barangkali ia mau denganku”.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk confess, saya hanya mau jujur dengan apa yang saya rasakan, sambil berharap doi menerimaku. Tentunya tindakan nekat ini sudah saya kalkulasi dengan matang laksana analis profesional dengan margin error 0.01%
Benar saja kata bestari “Perempuan itu penuh tipu daya”
Harapan di luar perkiraan, semua analisis saya ternyata zonk. Ya benar saja, ia menolak saya mentah-mentah. Alasannya sederhana, ia merasa lebih nyaman sendiri, belum move on dengan masa lalunya. Dan menganggap saya sebagai kakak, tidak lebih. tentu saja kakak-adik tidak mungkin pacaran apalagi sampai menikah.
Dari kejadian itu saya menyadari begitu penting pesan Raditya Dika. Saat kita mencintai seseorang, IQ kita bisa berkurang 10 poin. Ini yang saya alami hingga tidak bisa berpikir jernih menafsirkan segala tanda sekadar menilai “dia friendly atau benar mencintai”.
Apakah setelah itu saya menyerah? Tidak. Satu minggu berselang saya kembali confess dengan berbekal muka tembok. Saya menanyakan “duhai hati yang sedang kosong, laksana kata yang butuh jeda untuk bisa tereja. Saya sadar engkau membutuhkan jeda untuk sendiri, namun adakah celah untukku di masa depan?”.
Rupanya kelas sosial jadi soal cintaku ditolak
Gayung tak bersambut, sayang jawabannya sama, kali ini doi menyadarkan saya bahwa kelas sosial kita memang berbeda, bagai jurang yang teramat jauh tak mungkin bersatu.
Wajar saja, sebagai santriwati yang tumbuh dan besar dari keluarga priyayi doi tentu memiliki gambaran ideal pasangan dan pasti tidak jauh berbeda dengannya. Sebut saja si Gus untuk Ning, putra Pak Kyai sudah sepantasnya bersanding dengan putri Pak Kyai, apalah saya yang hanya seorang santi.
Dari situ saya kembali tersadar akan pepatah “Wanita kagum pada filsuf bestari, jatuh cinta dengan penyair dan pada akhirnya pun tetap akan menikah dengan pedagang”. Lagi-lagi saya tertampar. Level saya sebatas filsuf bestari yang cukup dikagumi, namun tidak sampai hati dicintai apalagi menjadi prioritas untuk jadi teman hidup.
Setelah preseden buruk itu, saya butuh 3 minggu untuk merenung, minggu pertama saya menilai diri sebagai pribadi yang tidak worth it untuk dimiliki. Minggu kedua saya semakin terpuruk, “dunia seakan runtuh” karenanya.
Lalu minggu ketiga menjadi titik balik “hidup saya harus terus berjalan” saya kembali menyusun ulang planning saya, menyelami diri dengan tidur, membaca dan merenung. Saya bertanya kembali akan prioritas hidup sambil memaknai kisah cinta kemarin sebagai distraksi yang perlu segera saya singkirkan.
Tunggu tahun depan, aku akan nyatakan cintaku lagi padamu
Meski dalam hati kecil saya masih mengharapkannya dalam level seminim mungkin, karena saya harus cepat-cepat sadar, saya bukan target pasar doi. kata teman kampung saya “Mangkok ijeh dekok, wong wedok orak doi tok”
Bila tidak meleset, tahun depan selepas dari Thailand saya mau menemuinya lagi, sekadar kembali mengajaknya ngopi dan berbincang kecil. Sambil memutar lagu “aku sudah tak marah, walau masih teringat semua yang terjadi kemarin jadikanku yang hari ini”.
Tidak terbayang bagaimana responnya doi kalau tahu soal ini, sambil berharap siapa tau ia berubah pikiran, memandangku bukan sekadar filsuf yang layak dikagumi, tapi juga sebagai pedagang yang patut diperhitungkan untuk dijadikan suami.
Sirril Wafa, “Lelaki Bias (a) Pada Umumnya. Lahir di Kudus, pernah singgah di Yogyakarta dan saat ini menenangkan diri di Surabaya. [email protected], Instagram wafa.sirrill
BACA JUGA Curahan Hati Seorang Alumni Pesantren dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini.