“Happy Little Soul”: Bahagia Itu Ditentukan Diri Sendiri

Judul: Happy Little Soul: Belajar Memahami Anak dengan Penuh Cinta

Pengarang: Retno Hening 

Penerbit: GagasMedia

Bulan terbit: April 2017

Tebal buku: 216 halaman

Tutupnya Mojok 28 Maret lalu rupanya memberi dampak psikologis cukup berarti buat saya. Dengan kegiatan menulis yang makin jarang (cuma Mojok yang mau menerima tulisan saya), bertambahlah satu kegiatan saya yang agak tidak berfaedah: cek-cek Instagram.

Kenapa saya bilang agak tidak berfaedah? Karena saat saya cek-cek IG itu saya lebih sering melakukan hal yang tidak pantas. Astagfirullah. Tapi, baiknya saya mulai dengan yang pantas dan agak bermanfaat dulu ya, yaitu ikut giveaway. Beberapa kali menang, tapi selalu kalah kalau ikut giveaway-nya Buku Mojok. Mereka jahat. Nah, kalau yang tidak bermanfaat, salah satunya stalking akun mantan, eh, maksudnya selebgram.

Tidak bermanfaat karena kemudian hati saya rasanya nyut-nyutan, kepala pusing, perut perih. Oh, rupanya saya lapar. Tapi, setelah makan pun rasanya pikiran masih terganggu. Gini lho, hidupnya artis itu kok enak ya. Posting foto makan keripik aja dibayar mahal. Keripiknya enggak berceceran ke mana-mana. Selalu kelihatan cakep pulak.

Lalu lihat-lihat akun selebgram lainnya, kok juga sama. Hidupnya indah banget. Anak-anak lucu, suami ganteng, hidup sejahtera. Sementara anak saya, ditinggal pipis aja nangis. Enggak bisa buka tutup botol, nangis. Lihat bapaknya berangkat kerja, nangis. Nonton Kuch Kuch Hota Hai, nangis. Eh, yang terakhir ini emaknya sih.

Sering baper juga kalau lihat IG @retnohening, ibu muda beranak satu yang ikut suaminya kerja di Oman. Bu Retno ini termasuk selebgram karena akunnya yang rutin posting video tingkah anak semata wayangnya, Mayesa Hafsah Kirana, yang cute banget ituh jadi kesukaan banyak orang. Terutama setelah video-video Kinana—begitu dulu Kirana kecil menyebut dirinya—di-repost sama @indovidgram. Akun @retnohening mulai hits sekira dua tahunan lalu.

Melihat polah Kirana yang besok Desember berusia empat tahun, rasanya pengin banget punya anak kayak gitu. Cakep, nggemesin, pinter, lucuk. Jatuhnya jadi membanding-bandingkannya dengan anak saya yang selaluuu saja ada salahnya di mata saya. Sering ngeselinlah, sering bikin berantakanlah. Hvft.

Bulan lalu Iboknya (iya, Kirana manggil ibunya “Ibok”) mengeluarkan buku Happy Little Soul. Bukunya laris manis, sulit dicari, dan dalam sebulan sudah cetak ulang berkali-kali. Wah, sungguh mati aku jadi penasaran. Sampai akhirnya ada kesempatan membaca bukunya dan … jadi tersentil karena pada kenyataannya hidup memang tak seindah drama Korea.

Di buku tersebut Ibok Kirana menceritakan perjuangannya memiliki anak. Sempat keguguran, kemudian pas hamil malah ditinggal suami kerja ke Oman sementara dia sendiri masih tinggal di Riau. Setelah melahirkan pun enggak langsung bisa menyusui dengan lancar. Belum lagi dikomenin ini itu sama orang-orang. Saya jadi bertanya-tanya, adakah ibu muda yang enggak pernah dikomenin orang lain soal ngurus anak?

Kirana pun tidak tiba-tiba jadi pintar dan menggemaskan seperti sekarang ini. Ia melalui masa-masa rawan tantrum, sakit-sakitan, dan sulit dipahami. Ia, seperti banyak anak lainnya, benar-benar menyita waktu tidur ibunya, menguras emosi dan kesabaran. Namun, satu hal yang sangat saya sukai dari Retno Hening ialah afirmasi positif yang dilakukannya. Ia bilang, kalau kita ingin anak kita melakukan sesuatu, kita harus jadi contoh terlebih dahulu. Children see, children do. Jadi, alih-alih marah melihat anak kita yang serba tidak sabaran, kita harus lebih dulu sabar.

Dan sebagaimana semua teori lain di dunia ini, praktiknya jauh lebih sulit.

Nah, terkait praktik ilmu-ilmu parenting, saya merasa senasib dengan Ibok Kirana. Dahulu, saat si bayi masih di perut, saya bercita-cita menerapkan berbagai teori parenting dan manner buat anak saya kelak.

Misalnya, saya ingin ia makan dengan duduk manis di tempat, seperti triplets Korea Daehan-Minguk-Manse itu. High chair pun saya beli, tapi ternyata ketika anak saya sudah bisa berdiri, ia tak bisa duduk diam saat makan. Maka, mengalahlah saya, karena kalau dipaksa, dia akan nangis tak berkesudahan kemudian jadi tidak mau makan. Di sinilah saya sering merasa jadi ibu yang gagal.

Genre parenting yang harus dipilih pun bisa menjadi sumber kegalauan luar biasa, sebab di masing-masing aliran ada perdebatan luar biasa. Mom wars bahkan enggak kalah seru dibanding debat agama atau pilkada.

Segala hal bisa jadi mom wars. Pilih saja temanya: persalinan vaginal vs sectio caesarea, ASI vs sufor, homemade MPASI vs MPASI instan, vaksin vs anti-vaksin, homeschool vs sekolah umum (ini pun masih bisa dipecah jadi sekolah negeri vs swasta, full day school vs sekolah alam, dsb.).

Bahkan urusan menggendong bisa jadi perdebatan pelik yang melelahkan. O iya, working mom vs stay at home mom jangan sampai ketinggalan. Topik ini masih bisa diturunkan lagi ke soal pakai ART vs semua-dikerjakan-sendiri, yang sisa-sisa debatnya masih terasa ketika Mbak Nia Ramadhani dibilang tentu selalu happy karena pembantunya lima belas.

Padahal, kebahagiaan itu kita kan ya yang menentukan sendiri standarnya. Mungkin … mungkin Mbak Nia akan lebih memilih punya banyak waktu bersama suami daripada pembantu yang lima belas orang itu. Mungkin juga kalau kita dikasih rezeki bisa memperkerjakan pembantu lima belas orang, belum tentu kita bisa secantik Mbak Nia. Menjadi cantik kan rezeki yang tidak dibagikan kepada semua orang, termasuk saya. T_T

Membaca buku ini, saya jadi makin sadar bahwa tiap ibu punya perjuangannya masing-masing. Kita bisa dengan mudah bilang hidupnya Nia Ramadhani itu enak banget, beruntung banget punya suami kaya raya, tanpa pernah memikirkan nggak enaknya. Sementara, kita yang punya suami lecek, penghasilan pas-pasan, bau ketek pula, toh masih sering was-was kena tikung. Apalagi kalau punya suami cem Hamish Daud. Ngucap, Buk ….

Memang, hidup enggak akan asyik tanpa gosip atau komentar. Tapi, daripada sibuk menghakimi perempuan-perempuan lain yang terlihat sempurna tapi selalu kita cari celanya, mending kita cari rahasia bagaimana Song Hye Kyo bisa kelihatan sama cakepnya dari zaman Autumn in My Heart sampai Descendants of The Sun. Bedanya enam belas tahun lho! Situ KZL? Jangan, “It’s okay, I’m special. I like myself!” kalau kata Kirana 🙂

Exit mobile version