Zendo, Ojol Muhammadiyah yang Seharusnya Bisa Lebih Manusiawi

Usulan supaya Zendo, Ojol Milik Muhammadiyah, Jadi Lebih Manusiawi Mojok.co

Usulan supaya Zendo, Ojol Milik Muhammadiyah, Jadi Lebih Manusiawi (https://zendo.id/)

Aplikasi ojek online (ojol) Zendo ramai dibicarakan beberapa waktu terakhir. Berbeda dengan aplikasi lain, ojek online yang satu ini bekerja sama dengan Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), sayap kultural Muhammadiyah di bidang ekonomi dan organisasi masyarakat. Seperti yang kita tahu, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. 

Saya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) yang pernah bersekolah di SD dan SMK Muhammadiyah jelas bangga dengan gebrakan ini. Seperti yang tertera di laman resmi SUMU, organisasi sayap Muhammadiyah ini benar-benar serius ingin menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Sudah jadi rahasia umum kalau aplikasi ojol di Indonesia mampu menyerap begitu banyak tenaga kerja. 

Terlepas dari pro dan kontra ojol di Indonesia, saya merasa ada semacam angin segar akan kemunculan ojol yang menggandeng organisasi keagamaan. Saya berharap Zendo bisa menjadi layanan transportasi online yang lebih peduli pada kesejahteraan pekerjanya. Namun, harapan saya langsung memudar ketika membaca syarat dan ketentuan bergabung di Zendo yang beredar di media sosial.

Saya tidak tahu syarat dan ketentuan yang beredar itu hoax atau tidak. Apalagi dituliskan secara tidak profesional alias dengan bahasa alakadarnya. Namun, di berbagai pemberitaan, pihak Zendo maupun SUMU tidak ada yang membantahnya. Melansir Kompas.com, Sekretaris Jenderal SUMU Syarat dan ketentuan yang beredar adalah buatan warga akar rumput sehingga bahasa yang digunakan kurang profesional. Namun, dia tidak membantah isinya.

Zendo Muhammadiyah jadilah pembeda, jangan takut bikin sistem yang lebih manusiawi

Saya geleng-geleng kepala saat membaca syarat dan ketentuan bergabung dengan Zendo. Pertama, bisa-bisanya ojol hanya berstatus mitra, sementara mereka punya kewajiban kerja secara shift. Kedua, bisa-bisanya driver tidak boleh ada hari libur selama 2 minggu awal kerja. Ketiga, hanya ada hak libur sekali dalam seminggu. 

Saya semakin heran ketika membaca 20 persen keuntungan diperuntukan untuk Zendo. Saya pikir, untuk apa potongan sebesar itu? Mengingat komunikasi driver dengan penumpang dilakukan via WhatsApp, bukan aplikasi canggih seperti layanan ojol lain. Para driver juga tidak memperoleh tunjangan sama sekali. 

Ternyata kekecewaan itu tidak saya rasakan sendiri. Beberapa netizen juga merasakannya karena terlanjur memasang ekspektasi terhadap Zendo. Sebagai layanan yang bernaung di bawah organisasi keagamaan, kami berharap ojol lebih manusiawi dari banyak sisi. Sayang, kenyataannya tidak demikian. 

Masih melansir dari Kompas, pihak SUMU menngatakan, syarat dan ketentuan yang beredar di media sosial itu sudah disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan. Regulasi tersebut dibuat berdasar hasil pengamatan lapangan selama 9 tahun. Saya menghargai penganatan mereka. Hanya saja, kalau saya adalah bagian dari mereka yang menyusun regulasi tersebut, saya jelas akan mengusulkan hal-hal ini supaya Zendo Muhammadiyah lebih manusiawi dan benar-benar jadi pembeda di dunia transportasi online.  

Please, hapus sistem kemitraan

Sistem kemitraan sekilas terdengar meyakinkan, tapi sudah jadi rahasia umum kalau sistem ini lebih banyak merugikan driver ojol. Dengan kata “mitra” pemberi kerja bisa terhindar dari berbagai kewajiban terhadap penerima kerja (driver). Misal, pemberi kerja bisa terhindar dari memberi upah, berbagai asuransi, berbagai tunjangan, dan banyak hal lain. 

Tanda-tanda ini sepertinya juga mulai terlihat pada Zendo. Berdasar kabar yang beredar di sosial media, driver tidak akan mendapat tunjangan, sementara driver punya banyak kewajiban. Entah untuk hak-hak dirver Zendo yang lain, yang jelas persyaratan ini perlu dikawal bersama supaya tidak merugikan dan akhirnya mencoreng nama baik Muhammadiyah. 

Terapkan pembagian seadil-adilnya

Saat membaca Zendo menerapkan potongan 20 persen dari penghasilan driver, saya merasa pembagian itu kurang adil. Kenapa bisa begitu besar padahal hampir semua alat kerja berasal dari dirver seperti kendaraan, helm, ponsel, kuota internet, bensin. Terlebih, layanan ini tidak menggunakan aplikasi secanggih platform transportasi online lain. Analisis kecil-kecilan saya, seharusnya biaya perusahaan bisa ditekan.

Jadi mohon dihitung lagi sistem bagi hasil 20% versus 80% tersebut. Bila memungkinkan lakukan perhitungan secara transparan untuk melihat perbandingan modal driver dengan Zendo. Pertimbangkan juga untuk “bagi rugi.” Bila driver apes di jalan, bukankah seyogyanya Zendo ikut membantu?

Dua usulan di atas mungkin akan menekan perkembangan Zendo. Mungkin juga akan sulit bagi ojol Muhammadiyah ini menyanyikan layanan ojek online yang sudah lebih dulu ada di Indonesia. Namun, menurut saya itu lebih baik daripada menerapkan sistem serupa sebelumnya dan ikut meniru buruk-buruknya. 

Apalagi ojol ini punya beban moral membawa payung SUMU. Apabila ojol ini tercoreng, nama Muhammdiyah mau tidak mau ikut tercoreng. Itu mengapa, lebih sreg layanan ini berfokus pada kualitasnya, bukan kuantitas dan jadi pembeda di tengah banyakanya layanan transportasi online yang sudah ada. 

Penulis: Nar Dewi
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Kasta Stasiun KRL “Neraka” yang Wajib Diketahui Orang Luar Jabodetabek

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version