Yang Tak Kunjung Padam: Kisah Pelajar yang Dicampakkan Negara Saat Menimba Ilmu untuk Negara

Yang Tak Kunjung Padam: Kisah Pelajar yang Dicampakkan Negara Saat Menimba Ilmu untuk Negara

Yang Tak Kunjung Padam: Kisah Pelajar yang Dicampakkan Negara Saat Menimba Ilmu untuk Negara (Mojok Store)

Judul Buku: Yang Tak Kunjung Padam
Penulis: Soe Tjen Marching
Penerbit: EA Books
Tebal Buku: 332 halaman
Tahun Terbit: 2023

Lahir di era Reformasi membuat saya nggak pernah menyaksikan secara langsung berlangsungnya era Orde Baru. Saya cuma mendengar kisah-kisah Orba dari buku Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan serta penuturan orang-orang yang mengalami masa itu.

Buku-buku pelajaran yang saya baca sejak SD hingga SMA menanamkan bahwa era Orba adalah puncak kemakmuran Indonesia. Keberhasilan presiden kala itu, Soeharto, dalam sektor perekonomian membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai Macan Asia. Indonesia juga bisa mencapai swasembada pangan berkat inovasi kebijakan Sang Presiden. Sebagai pelajar yang nurut, saya langsung mencerna informasi itu tanpa banyak tanya.

Pandangan saya akan Orba lantas berubah sewaktu mulai kuliah. Di banyak mata kuliah maupun diskusi bersama mahasiswa lainnya, terbongkarlah pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto dan kroni-kroninya. Mirisnya, jejak-jejak pelanggaran HAM itu masih tersisa hingga sekarang.

Pandangan orang awam terhadap eksil

Suatu kali di sebuah mata kuliah, dosen saya memperkenalkan istilah eksil politik yang merupakan korban peristiwa genosida 1965. Blio memanfaatkan satu pertemuan kuliah untuk nobar film dokumenter tentang eksil politik Indonesia yang tinggal di Praha, Ceko. Waktu nonton film tersebut, saya masih punya pandangan bias bahwa tinggal di luar negeri itu enak, banyak kesempatan untuk belajar dan bekerja, serta gaji besar. Saya belum sepenuhnya memahami bahwa eksil yang tinggal di luar negeri itu mengalami penindasan dan perampasan hak. Mereka ada di luar negeri dan bukannya di Indonesia bukan karena mau, tapi terpaksa.

Ternyata, pemahaman yang terlintas di pikiran saya itu juga terbersit di pikiran orang awam ketika mereka membaca kata “eksil”. Fakta ini diperkenalkan dalam buku Yang Tak Kunjung Padam, karya Soe Tjen Marching.

Buku ini menuturkan narasi-narasi dari eksil politik Indonesia yang tinggal di Jerman. Para eksil korban Peristiwa 65 ini dulunya adalah mahasiswa ikatan dinas yang dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia untuk belajar ke Uni Soviet.

Saat membaca nama negaranya, jangan dulu menghakimi bahwa mereka belajar komunisme, ya. Memang sih pada waktu itu Uni Soviet termasuk negara yang berpaham komunis. Tapi, para eksil politik ini belajar berbagai macam bidang keilmuan, mulai dari hukum internasional, hubungan internasional, dan pertahanan-keamanan berupa pembuatan bom atom.

Menjadi eksil politik setelah paspor dicabut

Di dalam buku Yang Tak Kunjung Padam ada beberapa informan yang terlibat, yakni Arif Harsana, Waruno Mahdi, Supardjo, dan Willy Wirantaprawira. Semuanya memiliki latar belakang yang bermacam-macam, tapi punya kesamaan dikirim oleh pemerintahan era Sukarno untuk belajar ke Uni Soviet. Sebenarnya ada lebih banyak narasumber di buku ini, tapi ada yang menarik diri, ada juga yang bukan eksil korban genosida 65-66 tapi cukup banyak berkontribusi di kegiatan di kalangan eksil.

Awal mula para mahasiswa ikatan dinas bisa menjadi eksil ini adalah perubahan pemegang kekuasaan di Indonesia. Setelah peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dan beralihnya kekuasaan Sukarno ke Soeharto, para mahasiswa asal Indonesia diminta oleh pihak kedutaan besar untuk mengisi formulir.

Formulir ini rupanya adalah screening yang digunakan untuk membuktikan bahwa para mahasiswa memihak pemerintahan yang baru, yakni pemerintahan Soeharto. Mereka yang menunjukkan kesetiaan pada pemerintahan Soeharto diperbolehkan beraktivitas seperti biasa dan bisa pulang ke Indonesia, sementara yang memihak Sukarno akan dicabut paspornya. Namun ada juga eksil yang kehilangan paspornya karena fitnah.

Pandangan politik informan yang terlibat di buku ini sebenarnya berbeda-beda. Pandangan politik mungkin condong ke kiri, namun mereka sejak awal menyatakan bahwa mereka bukanlah komunis.

Setelah paspor Republik Indonesia yang mereka miliki sudah nggak berlaku, mereka mengalami keterbatasan untuk berpindah dari Uni Soviet ke negara lain, apalagi untuk pulang ke Indonesia. Sementara itu, bertahan hidup di Uni Soviet juga nggak mudah. Maka, para eksil lantas menyusun strategi untuk bisa terus bertahan hidup di negeri orang. Para informan dalam buku Yang Tak Kunjung Padam ini kebanyakan hijrah ke Berlin Timur karena bagian dari Jerman tersebut pada masa itu nggak melakukan pengecekan paspor dan visa.

Perjuangan mendapatkan paspor Indonesia

Mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan di Berlin Timur juga nggak semudah yang dibayangkan. Para informan dalam buku Yang Tak Kunjung Padam ini harus mengalami keterbatasan bahasa, melawan suhu dingin ekstrem, hingga terpaksa bekerja nggak sesuai dengan ilmu yang dipelajari asal bisa punya uang untuk makan. Beberapa dari mereka juga akhirnya pindah ke Berlin Barat sambil terus berupaya mendapatkan hak untuk memperoleh paspor dan kewarganegaraan mereka kembali.

Tapi sedihnya perjuangan yang mereka lakukan nggak membuat mereka bisa mendapatkan paspor Indonesia kembali. Mereka memakai berbagai macam cara, mulai dari berhadapan dengan kedutaan secara langsung, mengirim surat kepada para pejabat di Tanah Air, hingga menyatakan kritik melalui opini di majalah dan surat kabar.

Dalam Yang Tak Kunjung Padam, mereka terjebak di Jerman. Sampai akhirnya mereka terpaksa mengajukan permohonan kewarganegaraan Jerman agar bisa kembali ke Tanah Air untuk bertemu keluarga yang sudah puluhan tahun nggak bisa mereka jumpai. Selain Waruno Mahdi yang menggunakan paspor PBB, semua eksil yang diwawancarai dalam buku ini punya paspor Jerman.

Eksil politik juga korban peristiwa 1965

Selama ini kita sebagai orang awam mungkin mengira bahwa korban peristiwa 1965 adalah para jenderal yang terbunuh dan orang-orang yang disiksa, diasingkan, dan dibunuh setelah difitnah sebagai bagian dari PKI. Namun, sebenarnya para mahasiswa asing yang dikirim untuk belajar ke luar negeri juga termasuk korban. Mereka dirampas haknya sebagai warga negara Indonesia.

Keberadaan eksil politik ini juga seakan-akan dilenyapkan bukan hanya oleh pemerintahan Soeharto, tapi juga oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. Nggak ada upaya rehabilitasi dan pengembalian kewarganegaraan bagi para eksil. Bahkan mereka berulang kali dicap sebagai pengkhianat negara, dipersekusi, dan dihalang-halangi pulang ke Tanah Air.

Hanya Gus Dur yang meminta maaf atas kekejaman masa lalu dan mencanangkan pencabutan TAP MPR XXV/1966 yang melarang ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. Selanjutnya nggak ada usaha lain dari pemerintah untuk mengembalikan hak kewarganegaraan bagi para eksil.

Para eksil politik tetap merindukan tanah air dan kampung halaman mereka

Sebenarnya para eksil politik nggak hanya ada di Jerman. Ada yang di Ceko, seperti yang saya tonton dokumenternya, ada juga di Prancis, Belanda, dan negara-negara lainnya. Perjuangan eksil politik yang tinggal di Prancis sempat disebut secara singkat di buku Yang Tak Kunjung Padam ini.

Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jerman, para eksil politik ini masih tetap merindukan tanah air dan kampung halamannya. Dalam hati mereka juga mengaku masih tetap menjadi orang Indonesia. Mereka juga masih merasa berutang kepada masyarakat Indonesia. Sebab, mereka diutus menjadi mahasiswa untuk belajar ke Uni Soviet dengan tujuan mendapatkan ilmu dan bisa mengaplikasikan ilmu itu ketika kembali ke Indonesia. Tapi kenyataannya, mereka justru dilupakan oleh tanah air yang dicintai sendiri.

Seandainya saja para eksil tidak dicampakkan dan dibuang oleh negaranya sendiri, pasti banyak bidang di negeri ini yang sudah maju berkat kontribusi para eksil politik. Misalnya saja Supardjo pasti sudah menjadi jenderal dan Willy pasti sudah jadi diplomat. Dan pastinya nggak ada anak bangsa yang harus merasakan kepahitan dan ketidakadilan dari suatu peristiwa yang bahkan mereka nggak terlibat di dalamnya.

Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengakhiri Langgengnya Ideologi Kejantanan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version