Judul: Yang Menguar di Gang Mawar
Penulis: Astri Pratiwi Wulandari
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: 104 halaman
Harga: Rp58.000
Tahun Terbit: 2021
Entah kenapa setiap mendengar kata “mawar” saya langsung teringat akan Juliet Capulet. Kutipan kekasih Romeo Montague dalam cerita karya William Shakespeare yang masyhur itu menancap dalam benak saya dan menjadi saklar otomatis terhadap kata “mawar”.
Tentang nama yang menjadi beban yang menghalangi terjalinnya tali kasih sejoli tersebut. Bahwa mawar tetaplah mawar sekalipun kau menyebutnya dengan nama lain. Namun, agaknya persepsi tersebut menjadi sedikit ruai setelah saya membaca buku Yang Menguar di Gang Mawar karya Asri Pratiwi Wulandari.
Dalam buku setebal 104 halaman ini, Mawar bukan sekadar nama bunga. Bukan juga sekadar nama gang seperti yang terdapat pada judul buku. Lebih dari itu, mawar adalah representasi segala macam nifak, masygul, dan sengsara.
Mawar menjelma banyak hal. Dari mulai nama seorang anak kecil yang gemar menari, tanaman yang tumbuh dari bangkai kecoak yang dikubur, hingga gadis seukuran ibu jari yang ditemukan di salah satu pucuk bunga mawar.
Sebelum membuka halaman demi halaman ceritanya, kita sudah ditantang oleh penulisnya untuk menerka isi buku melalui judulnya. Apa sebenarnya “Yang Menguar di Gang Mawar” itu?
Kemudian perlahan kita akan bertemu dengan setiap cerita yang akan membuat kita seperti ingin menggeleng menolak, namun mau tidak mau justru mengamini ironi tersebut.
Sebelas cerita dalam buku ini kental mempertanyakan kewarasan kita. Menohok kesadaran sekaligus mengolok kenaifan kita yang mengira bahwa, “Ya beginilah hidup. Memang sudah begitu adanya, ya sudah.”
Kisah tentang anak perempuan periang yang tidak pernah kita tahu bahwa ia ternyata menyimpan luka batin yang menganga di balik keceriaannya menari ke sana kemari seolah-olah membuat kita mempertanyakan kenormalan di sekitar kita. Benarkah gadis kecil itu sungguh-sungguh menari gembira atau hanya sedang mengalihkan silu hatinya?
Selain itu, kritik tentang kegaliban supremasi kaum Adam juga tersurat di sini. Ihwal male gaze yang telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan paling privat sekalipun. Melahirkan anomali-anomali yang perlu dipertanyakan kelahirannya.
Fenomena sastra wangi, misalnya. Penyematan tajuk “sastra wangi” sepertinya tidak perlu-perlu amat jika saja kita menormalisasi perempuan yang menulis. Adanya sebutan “sastra wangi” justru dapat berpotensi memicu menebalnya nuansa dominasi laki-laki alih-alih sebagai ungkapan yang representatif.
Juga tentang maskulinitas yang arbitrer alih-alih akomodatif. Hierarki dalam pernikahan seharusnya dapat menyusun terjalinnya komunikasi dua arah yang demokratis namun tentunya hal tersebut dapat tercapai kalau saja pasutri mau untuk saling toleran dan fleksibel secara fungsional.
Kita juga dipaksa mengaku bahwa masing-masing kita—atau paling tidak—memiliki secuil jiwa munafik dalam diri. Ya, tidak semua dari kita beruntung terlahir dari keluarga yang “sehat” dan tulus. Orang-orang terdekat kita bisa jadi adalah orang paling berbahaya yang terlambat kita sadari. Kesadaran yang terhambat oleh rasa percaya yang terpatri yang digoyahkan oleh keingkaran yang menjejal.
Kemudian diam-diam kita menyumpah-serapahi dan berujung pada perasaan paradoksikal yang jemu tak keruan.
Bahaya tersebut membuat kita jadi waspada. Namun di satu sisi, kewaspadaan kita justru membuat kita cenderung bersikap apriori. Lantas membenarkan sikap tersebut sebagai reaksi defensif alih-alih bersaksi.
Sebaliknya, kita sering mengaku telah bersikap adil meski jelas-jelas bertindak subjektif. Main aman biar hidup nyaman dan tenteram. Selalu setuju dengan semua orang yang kita sayang. Serta mementingkan diri dan keluarga sendiri. Tetapi, bukankah itu yang menyusun oligarki?
Kita disuguhi berbagai dilematika yang dekat dengan realitas di sekitar kita. Ironi-ironi dalam cerita ini seakan ingin membuat kita gila dan waras sekaligus. Kita seperti dibimbing untuk menjadi bimbang. Membuat kita mempertanyakan lagi tentang apa sejatinya yang gila dan waras itu sebenarnya.
Terlepas dari konteks alur cerita, saya amat menyukai kalimat-kalimat majas yang ada dalam buku ini. Kaya, namun tidak eksesif. Familier, tapi segar. Kalimat-kalimat deskriptifnya tidak terus terang. Cenderung implisit, tetapi menawan. Seperti sengaja berlagak enggan mengatakan tentang sesuatu hal, namun justru keengganan itulah yang membuat pembaca mengerti bahwa penulis sedang membicarakan tentang sesuatu hal tersebut.
Mawar yang sebenarnya merupakan bunga yang pada umumnya identik dengan ekspresi cinta juga kian tergoyahkan secara maknawi. Kata “mawar” dijungkirbalikkan sedemikian rupa seakan-akan telah menjelma menjadi kosakata tersendiri yang berkeliaran menimpa setiap halaman, berlari menjauhi kekangan definitif.
Begitu pun dengan cinta. Kata “cinta” seakan-akan adalah term anyar yang perlu kajian dan revisi sana sini sebelum resmi menjadi anasir bahasa.
Apakah cinta adalah sekadar dorongan biologis? Hasrat untuk saling memiliki? Bentuk kesempurnaan? Atau keseluruhan hal tersebut?
Apa pun itu, biarlah definisi cinta tetap meliar seperti liar mawar. Sehingga ingkar dan ikrar bisa bebas bertukar sukar. Tetapi barangkali, cinta adalah lahar yang kahar. Memancar suar dalam gelegar yang menyamar. Dan Mawar adalah uar dari kelakar yang mengakar ganar dan tampar yang membakar nalar.
Sumber Gambar: Buku Mojok