Yang Luput Dipahami Perkara Orang Kabupaten yang (Terpaksa) Mengaku Berasal dari Kota Besar

orang desa, orang kabupaten

Saya lahir dan tumbuh di Wonogiri. Sembilan tahun di Jogja tidak membikin saya kehilangan akar. Mungkin saya mulai mencampur bahasa Jawa dan Indonesia dalam percakapan. Tapi, sampai kapan pun, saya akan selalu menyebutkan kalau saya asli Wonogiri. Tak pernah sekali pun saya malu jadi orang kabupaten.

Sumpah, sebenarnya saya marah tiap kali orang kota menyebut orang desa atau pendatang dengan sebutan orang kabupaten. Tapi, lupakan itu.

Meski saya sebagai orang kabupaten tak malu mengakui siapa saya, hal itu tak berlaku buat orang lain. Banyak orang yang harus mengaku berasal dari kota lain hanya untuk mendapat pengakuan, tak merasa malu, atau sekadar bikin percakapan segera selesai. Dulu, dulu banget, saya marah dengan sikap-sikap seperti itu. Sekarang sih, sante.

Hal yang bikin saya sekarang santai mendengar sikap-sikap tersebut adalah orang-orang emang nggak tahu daerah-daerah tersebut. Ya mau bagaimana lagi, orang-orang tahunya kota-kota besar. Solo, Jakarta, Jogja, Surabaya, you name it. Mendengar nama daerah yang asing bikin mereka berkernyit. Ekspresi tersebut lah yang sebenarnya tidak begitu disukai oleh orang-orang yang berasal dari daerah-daerah tak terkenal.

Saya sebut ini dengan faktor olok-olok. Biar gampang. Gitu pokoknya.

Jangan salahkan orang-orang kabupaten kalau dalam hati mereka kurang suka dengan ekspresi tersebut. Sebab, kebanyakan ekspresi tersebut diikuti dengan olok-olok. Daerahnya tak tercatat peta lah, terkenal isinya orang udik lah, ndeso lah. Siapa juga yang tak malu dan merasa biasa saja ketika daerah tempat ia tumbuh diolok-olok?

Maka, mereka terpaksa mengaku orang daerah tertentu agar terhindar dari perundungan tak jelas itu. Contoh paling sering saya temukan ya orang asli Wonogiri mengaku asalnya Solo. Coba kalian saya tanya, tanpa membuka peta, kalian emang tahu Wonogiri di mana?

Saya awalnya tak tahu Cilacap itu di mana. Saya tak tahu mana itu Banjarnegara, Kendal, Rembang, dan kota-kota lain. Yang bisa saya lakukan ya minta dijelaskan kota itu di mana. Bagi beberapa orang, proses menjelaskan ini melelahkan.

Kembali ke faktor olok-olok.

Mendengar bahwa tempat asalnya diolok-olok, bagi beberapa orang, adalah hal yang menyedihkan. Tempat yang ia kira indah dan ideal, nyatanya adalah samsak hinaan bagi orang-orang kota lain. Hal ini membekas, dan pada titik tertentu, mengubah sifat dan karakter.

Hal termudah yang bisa dilakukan yaaa mengaku berasal dari kota besar terdekat. Kayak Wonogiri ke Solo gitu. Setidaknya, masalah kelar. Setidaknya, mereka tidak diolok-olok atas sesuatu yang tidak bisa ia kuasai. Manusia tidak bisa memilih di mana dia dilahirkan, bukan?

Bagi penghina, mereka merasa bahwa kabupaten-kabupaten yang tidak dianggap modern dan terkenal itu tertinggal. Oleh karena tertinggal, maka sah untuk dijadikan olok-olok. Apa yang menyenangkan dari daerah tanpa bioskop, mal, kafe fancy, dan tempat nongkrong hits? Hidup macam apa itu?

Tapi, jujur saja, saya malah bingung jika pikiran-pikiran itu muncul dari orang-orang kota. Lha memang masalahnya di mana?

Jujur saja, hal itu aneh. Sepertinya orang-orang itu lupa bahwa kemajuan-kemajuan tersebut bukanlah kebutuhan utama buat sebagian orang. Ya ngapain sebuah kabupaten diisi bioskop, mal, kafe fancy, kalau orang-orangnya nggak butuh?

Saya sih sampai sekarang belum pernah dengar orang asli X ngaku berasal dari kota Y karena di tempat asalnya nggak ada hal-hal kayak gitu.

“Bro, koe kan asli Wonogiri, ngopo ngaku Solo?

“Wonogiri renek bioskop joh.”

Bayangin ada orang mikir kayak gitu aja udah ngerasa goblok saya.

Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, yang lucu itu orang kota. Mereka jauh-jauh datengin kafe yang berdiri di tengah sawah untuk merasakan sensasi ngopi di alam terbuka yang sejuk. Kamu harus bayar mahal untuk ngerasain vietnam drip sambil digigit nyamuk. Orang-orang desa bakal menganggapmu gila.

Oh, kalian bakal bilang orang desa nggak paham, atau sasaran pasarnya bukan mereka?

Persis yang akan saya bilang ke kalian. Kalian—orang-orang kota—nggak paham apa pun tentang kehidupan orang desa. Hanya karena kabupaten asal mereka tak punya infrastruktur keren, kalian anggap mereka tertinggal. Hell, saya bahkan masih menemukan orang bilang Tilik tidak mencerminkan orang desa karena nggak pakai kemben. Kalian masih menganggap orang-orang kabupaten hidup dengan sistem barter dan baru menemukan api satu dekade silam.

Padahal yang nggak paham itu ya kalian. Orang-orang desa nggak seudik yang kalian pikir. Kalian aja yang terlalu jumawa hanya karena merasa hidup di tempat modern. Nyatanya, kualitas hidup tak jauh berbeda.

Setelah ini, saya rasa sikap-sikap menyebalkan itu harusnya mulai dikurangi, mengingat gap pengetahuan tak lagi sebegitu jauh. Kecuali sikap bebal itu memang sengaja dipegang sampai mati, ya sudah. Tapi, yang jelas, orang-orang kabupaten tak semenyedihkan yang kalian kira sampai harus diolok-olok. Bahkan, bisa jadi hidup mereka jauh lebih bahagia.

Kalau masalah infrastruktur tertinggal, seperti orang yang tak bisa memilih di mana ia dilahirkan, penduduk kabupaten tak punya kuasa akan itu. Itu kan tugas pemerintah daerah dan pusat. Gini aja masa nggak paham.

Sumber gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version