Yakin Mau Nangis di Nikahan Mantan?

Nikahan mantan

Nikahan mantan

Bulan Syawal tiba, kiriman undangan pernikahan pasti sudah menjadi tumpukan. Coba cek lagi adakah nama  mantan atau seseorang yang belum bisa lepas dari hati dan pikiran?

Jagain jodoh orang menjadi salah satu topik ‘panas’ di beberapa bulan terakhir. Sebuah kekhilafan pacaran dengan sang pujaan namun tak berakhir di pelaminan. Naasnya lagi, nafsu rasa yang terlalu dalam menjadikan hati sulit mengikhlaskan—rasanya tak ingin dia jatuh ke lain pelukan. Sebentar sampai baris ini adakah yang merasakan? Tenang dan sabar, mari kita renungi bersama agar menemui titik terang.

Melihat fenomena yang ada, seperti datangnya mantan di pernikahan—dari yang memang kuat telah merelakan—melantunkan lagu kenangan, hingga tangisan, menjadikan rasa cinta bak sesuatu yang menyakitkan. Bahkan seperti tak ada sedikitpun kebahagiaan yang tersematkan. Meski ada juga yang tampak kuat dan menghadapinya dengan senyum keikhlasan.

Coba bayangkan, ketika dua insan yang sedang bersanding di pelaminan dengan penuh kebahagiaan, lalu ada perempuan bernama mantan tetiba datang dan mempelai laki-laki memberikan pelukan, atau tetiba ada laki-laki mantan saat tiba di depan mempelai perempuan tetiba matanya berkaca-kaca dan genggaman kemesraan pun tak terelakkan.

Duh, apa kabar perasaan? Baru saja paginya ada perjanjian besar—ijab qabul—yang berjanji mencintai sehidup semati dan tak akan saling menyakiti. Ternyata belum ada sehari, ujian kesetiaan sudah harus dilewati. Dear para pengantin, jika mantan datang maka yang harus kamu lakukan adalah tatap mesra pasangan—tumbuhkan cinta lebih dalam, katakan dia yang terbaik yang Allah pilihkan, dan tetap biasalah bersikap dengan para mantan setidaknya untuk menjaga perasaan dan kepercayaan. Daripada semakin menyesakkan, mari kita belajar mengelola rasa dari kisah cinta mulia di masa silam.

Ingat dengan kisah Ali bin Abi Thalib yang memendam perasaan dengan sang pujaan—yang sangat ingin mengutarakan namun sadar akan keadaan. Sayangnya belum sempat menyampaikan, ia mendengar kabar bahwa ada yang melamar gadis pujaan. Tak tanggung-tanggung, ia tahu yang melamar adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, yang tentu lebih banyak kelebihan—ibaratnya anak sekarang, daku hanya remahan micin yang berserakan.

Aduhai berantakan namun keimanan membuatnya tetap yakin akan ketetapan Pemilik Alam. Ia sempat lega mendengar kabar lamaran Abu Bakar ditolak, namun tak berselang lama kabar baru mengejutkan. Umar bin Khattab, yang memiliki keutamaan, datang meminang. Ia kembali mengikhlaskan dan mengutamakan kebahagiaan sang pujaan, Fatimah. Perasaannya kembali teredam dan ada celah kelegaan saat lamaran Umar bertemu penolakan. Ada rasa campur aduk dalam dirinya, apalah dia dibanding dua lelaki sebelumnya. Dukungan kawannya membulatkan niat baiknya, ia datang kepada sang Nabi dan menyampaikan ingin menikahi sang gadis pujaan hati, Fatimah.

Ahlan wa sahlan,” ucapan penerimaan itu akhirnya datang. Kalau jodoh tak akan kemana, bukan? Meski remuk redam perasaan, ia kembalikan kepada Pemiliknya dan terus penuh keyakinan akan segala rencana-Nya yang tak terkira.

Adalah Salman Al Farisi, seorang pendatang yang  ingin menyampaikan niatnya meminang gadis idamannya melalui Abu Darda, penduduk asli Madinah. Saat datang ke rumah tujuan, Abu Darda menyampaikan niat Salman dan menceritakan kisah sahabatnya tersebut. Keduanya menanti jawaban, dan alangkah tak terkiranya, sang pujaan menjawab “Iya jika Abu Darda memiliki niat yang sama dengan Salman“. Inilah yang dilakukan lelaki taat dan penuh iman, mendengar jawaban itu ia justru girang dan menawarkan bantuan untuk mengurus pernikahan. Jawaban sang gadis memang tak sesuai dengan yang diharapkannya, yang dari kacamata manusia, memang ini terasa sesak di dada. Indahnya, jika memandang dengan keimanan, ia akan mengembalikan kepada fitrahnya, menjaga kesucian cinta dan meraih ridha-Nya.

Jadi bagaimana, sang mantan? Apakah tak malu kita setelah mendengar cerita di masa silam yang harusnya menguatkan? Baiklah, kalau memang hatimu belum kuat datang ke nikahan mantan, lebih baik di rumah saja ibadah, banyakin baca Al Qur’an, dengarkan kajian biar hatimu lebih mendingan. Kalau dirasa sudah tenang, ambil gawai dan ketik pesan selamat serta doa agar pernikahannya penuh keberkahan. Alangkah baiknya jika diundang, datanglah dengan segenap kekuatan. Sebelum berangkat, luangkan waktu untuk sholat dulu, dzikir dulu, minta dikuatkan Allah dan dihilangkan perasaan yang masih tersisa di hati yang paling dalam. You’re strong enough, dude~

Jadi, sudah ikhlaskah sang mantan jatuh ke pelukan yang telah Allah takdirkan? Jika belum, mari kita belajar dari satu kisah lagi, bahwa cinta tak harus memiliki. Memang saat kita tak dijodohkan dengan orang yang kita ingini, Allah telah siapkan seseorang yang lebih baik lagi. Adalah kisah Rasulullah dengan Fakhithah. Rasulullah pernah menyukai putri Pamannya ini, Abu Thalib. Namun, sang Paman telah menerima pinangan orang lain, Hubairoh. Sang lelaki mulia berkata, “Wahai paman, engkau nikahkan ia dengan Hubairoh dan kau tolak aku?”. Pedih rasanya. Tapi keimanan membuatnya menerima takdir yang telah ditetapkan. Hingga akhirnya Rasulullah menemukan belahan jiwanya, Khadijah. Meskipun telah lama tak berjumpa dan pada masa tuanya dipertemukan kembali, tak lantas membuat keduanya saling membenci. Sungguh, kisah ini penuh pelajaran yang perlu diresapi oleh anak-anak muda saat ini.

Akhirnya, begitulah sebenarnya cinta yang penuh kesucian, yang harusnya memunculkan kebaikan bukan malah menyakitkan. Ketulusan cinta tetap saling menyapa meski tak harus bersama. Kesucian cinta selalu berakhir mengharap ridaNya—bukan menuruti nafsu belaka.

Jadi bagaimana sang mantan? Sepakat ikhlas ya—tak ada lagi drama menangis di pernikahan. Datang, doakan penuh kebaikan, tetap jaga silaturahmi jangan sampai bermusuhan—siapa tahu nanti tetanggaan—eh.

Untuk menghindari drama ‘mantan’, alangkah baiknya nggak perlu lagi jagain jodoh orang yhaaa~

Exit mobile version