“Yaelah Gitu Doang!”: Teman Kesusahan, Kok Malah Dijadiin Kompetisi?

kompetisi

kompetisi

Sepertinya budaya kompetitif masyarakat Indonesia sudah mengakar dengan kuatnya, sampai-sampai keluh kesah teman kita itu malah kita bandingkan dengan penderitaan kita sendiri.

Situasi yang rumit seringkali membuat kita pusing. Pengen cerita ke orang lain, tapi kemudian mikir kalau mereka nggak akan mengerti perasaan kita. Dikubur dalam-dalam masalahnya, jadi makin pusing. Akan tetapi saat keadaan sudah membuat kita tak memiliki pilihan lagi, akhirnya kita akan mendatangi orang yang paling kita percaya untuk menumpahkan segala keluh kesah kita. Tentunya dengan harapan dia akan memberikan solusi atau setidaknya memberi penghiburan belaka.

Akan tetapi, sepertinya budaya kompetitif masyarakat Indonesia sudah mengakar dengan kuatnya, sampai-sampai keluh kesah teman kita itu malah kita bandingkan dengan penderitaan kita sendiri. Seakan-akan semuanya menjadi kompetisi. Seakan-akan pasti ada yang akan menang dan kalah dalam pertempuran penderitaan itu.

Sampai seringkali muncul kalimat-kalimat seperti:

Ah lo masih mending!

Yaelah gitu doang. Gue pernah malah bla bla bla.

Mungkin memang sudah dari sononya budaya kompetisi tersebut. Lihat saja bagaimana pendidikan saat ini semakin mengiming-imingkan pelajarnya untuk berkompetisi meraih peringkat terbaik di sekolahnya. Di satu sisi, tentunya hal itu bisa memotivasi mereka untuk semakin giat belajar dan berprestasi. Tapi di sisi lain, tahukah kalian kalau hal itu membuat motivasi belajar mereka hanya sekedar untuk meraih peringkat tinggi dan tidak sungguh-sungguh mencari ilmu?

Menurut KBBI, kompetisi/kom·pe·ti·si/ n 1 persaingan: di antara para siswa harus diciptakan suasana — yang sehat dalam belajar. Kalau memang artian kompetisi dalam kegiatan akademik sekarang secara harfiah diterapkan, saya sih setuju-setuju saja. Tapi kalau sampai ada transformasi motivasi belajar ke nilai dan peringkat tersebut, saya sangat tidak setuju.

Hanya sekedar demi prestise di depan teman-teman dan orang tua, sekarang banyak pelajar (termasuk saya saat masih sekolah) yang motivasi datang ke sekolahnya bukan hanya mencari ilmu, tapi untuk mendapat nilai bagus. Sedangkan mereka yang peringkatnya rendah, akan diejek dan dicap tidak pandai dalam masyarakat.

Kompetisi selanjutnya ialah konsumsi gawai ponsel canggih yang baru-baru ini diluncurkan. Sejak kemunculannya pertama kali, ponsel dengan harga fantastis itu langsung diserbu masayrakat. Masalah ini sangat ramai di media sosial, hingga menjadi berbagai guyonan yang berujung pada tindak pamer dari masyarakat yang sudah serta mampu membeli ponsel tersebut.

Tentunya hal itu memunculkan kompetisi di masyarakat. Kini masayrakat seperti berlomba-lomba memiliki ponsel teranyar itu demi memuaskan standar kehidupan sosialnya. Apabila tidak, maka mereka akan “kalah” dalam kompetisi ajang memamerkan kekayaan tersebut. Tentunya lingkaran persaingan ini akan terus berlanjut dan terus ditimpali oleh orang-orang lainnya dengan teknologi lebih canggih di luar sana.

Yah, begitulah memang lingkungan masyarakat kita, di mana sekarang semuanya sudah bak kompetisi. Tak ada yang ingin mengalah, seolah-olah titel “kekalahan” dalam sebuah kompetisi selalu dicap dengan keburukan. Padahal, kompetisi olahraga saja tidak begitu. Mereka yang kalah pasti akan tetap disemangati dengan kata-kata “Jangan patah semangat. Kekalahan bukan akhir dari segalanya”.

Karena semuanya sudah seperti kompetisi di masyarakat hari ini, kemudian banyak yang menjustifikasi kalau membanding-bandingkan masalah kita dengan orang lain itu benar. Padahal, tentunya itu perbuatan yang salah karena masalah setiap orang itu berbeda-beda. Kita mungkin atau tidak memiliki penderitaan yang lebih berat dari seseorang, tapi apakah perlu kita membandingkan hal tersebut layaknya hal itu dapat membuat orang tersebut merasa lebih baik?

Agaknya hal ini menjadi cambuk juga bagi saya. Dulu, saya seringkali mendengarkan keluh-kesah dari teman-teman saya. Ceritanya bisa tentang apa pun. Mulai dari cerita bahagia, masalah yang berhubungan dengan privasi, hingga keluh kesah keseharian mereka belaka. Untuk urusan yang terakhir itu, saya seringkali menyepelekannya.

Kadangkala saat teman saya menceritakan keluh kesahnya; saat sedang marah atau kesal atas sesuatu, saya tak jarang memilah apakah masalah yang mereka keluhkan itu lebih berat dari masalah saya. Dengan gampangnya, saya akan menganggap reaksi mereka berlebihan. Toh saya juga pernah mengalami hal yang lebih sulit dan itu tidak masalah.

Tapi saya sadar, egosime yang tertanam itu tak boleh lagi dan salah dilakukan. Setiap orang memiliki masalah yang berbeda-beda. Mungkin masalah mereka tidaklah seberat yang saya hadapi, namun apakah perasaan dan emosi yang mereka rasakan saat berhadapan dengan hal itu sama seperti apa yang pernah saya rasakan? Tentu berbeda.

Lagipula, apa sih untungnya kalau kita membanding-bandingkan kesusahan kita dengan teman kita? Apakah hal itu akan membuat mereka merasa lebih beruntung? Atau hal itu malah membuat mereka merasa lebih terbungkam dan tertekan?

Tidak semua orang mampu mengeskpresikan apa yang dirasakannya dengan gamblang pada orang lain. Beberapa dari kita mungkin kesulitan mengutarakan isi hati dan membuka diri pada orang lain. Bayangkan bagaimana rasanya apabila sudah susah-susah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan hal tersebut dan malah dibanding-bandingkan. Yang ada sudah down duluan jadinya.

Membanding-bandingkan kedua hal tersebut layaknya kompetisi juga sangat tidak membantu kedua pihak. Mereka yang sedang kesusahan tersebut tentunya sangat tak terbantu dengan ucapan kompetitif tersebut. Alih-alih mendapat solusi, malah jalan pikirannya dibuat semakin rumit. Ia akan menelaah kembali apakah memang dirinya sedang bertindak berlebihan atau menjadi semakin kesal karena dibanding-bandingkan.

Hal itu juga tidak berfaedah bagi sang kompetitor. Jikalau penderitaannya lebih berat, apakah dengan membanding-bandingkan justru membuat temannya itu jadi merasa lebih beruntung? Lantas, apakah hal itu membuat dirinya menjadi semakin merasa superior atau justru malah kalut karena ternyata masalah hidupnya lebih berat dari orang lain? (*)

BACA JUGA Wejangan Hidup Ala Kirana Larasati yang Patut Ditiru Oleh Netizen atau tulisan Indah Evania Putri lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version