Dalam kamus hidup saya, wisata adalah sebuah tajuk pengiring kepada hal-hal yang berbau menyenangkan. Ke tempat penuh tawa, warung penjual cinderamata berjejeran, dan tawa riang sang anak yang meminta ayah dan ibunya untuk menggandeng tangan mungilnya. Wisata menuju kebahagiaan, itulah yang berputar di kepala saya. Hingga pada suatu akhir titimangsa 2018 yang penuh debu di bilangan Choeung Ek, Phnom Penh, saya menarik ulang segala konsep wisata yang ada di kepala saya. Lebih tepatnya di Choeung Ek Genocidal Center yang lebih akrab disebut Killing Fields.
Di sini, betapa tidak adilnya saya kepada sebuah kata yang maknanya bisa amat luas. Killing Fields, sebuah imbas dari perang sipil di Kamboja pada 1970 yang melibatkan pihak kerajaan dan Partai Komunis Khmer Merah. Phnom Penh yang penuh debu pembangunan sebagai ibu kota yang selalu bersolek, menyimpan kesedihan di penjuru Tenggara ibu kota.
Sekolah yang beralih fungsi jadi penjara S-21
Dari pusat kota, saya menggunakan Tuk-tuk, sejenis ojek khas Indocina, yang membelah jalanan luas Phnom Penh dengan debu yang tak henti-hentinya mengganggu pengelihatan. Kurang dari 20 menit, setelah saya mengunjungi Tuol Sleng. “Sebuah sekolah yang dialih fungsi jadi penjara,” kata supir tuk-tuk bernama Dan.
Dengan menggunakan kartu mahasiswa, saya gratis untuk masuk tempat tersebut. Dengan menyewa sebuah earphone sebesar beberapa dollar, saya mendapatkan banyak informasi dari apa yang dikatakan oleh si penutur. Khmer Merah berhasil menduduki Phnom Penh dan menggeser Presiden Lon Nol. “Rakyat bergembira karena tidak puas dengan Lon Nol,” begitu informasi yang saya dapat.
Gegap gempita itu hilang kala Khmer Merah justru lebih parah. Bentuk paling memilukan adalah mengubah SMA Tuol Svay Prey menjadi sebuah penjara bernama Security Prison 21 atau S-21. Wisatawan semua menunduk, menyaksikan betapa bejatnya rezim Pol Pot dalam membumihanguskan intelektual Kamboja pada saat itu.
Ruang demi ruang menggambarkan betapa sunyinya bekas manusia-manusia disiksa sampai meregang nyawa. Dari kurang lebih 17 ribu tahanan intelektual, yang selamat hanyalah 7 orang saja. Ada kuburan tanpa nama, papan gantung yang digunakan tentara Khmer Merah menyiksa, hingga gentong air guna memasukkan kepala tahanan sebagai ancaman interogasi.
Ngilu rasanya. Tapak demi tapak memiliki perasaan berat dan seakan kondisi sekitar begitu biru dan bergelayut penuh kesedihan.
Ladang pembantaian massal di pinggiran Phnom Penh
Dari S-21, Dan memacu tuk-tuk menuju sebuah tempat yang nggak jauh-jauh amat. Debu tentu saja hinggap, tapi pemandangan metropolitan yang sedang digencarkan pembangunannya, berubah menjadi suburban yang penuh dengan rawa dan rumah-rumah kayu memiliki gaya panggung. Antisipasi meluapnya rawa dan hewan-hewan liar, barangkali.
“Ini masih ibu kota negara saya, tapi lihat saja bagaimana keadaannya, kontras, bukan, dengan pusat kota?” kata Dan seakan bangga akan ketimpangan di kotanya. Nggak seperti di negara asal saya yang justru menutupi fakta bahwa adanya ketimpangan.
Dan melewati jalanan lumayan sempit. Aspal penuh dengan tanah dan pasir yang terlihat amat licin. Rumah-rumah kecil yang mengingatkan saya pada pinggiran Jakarta. Lumrah bukan bahwa di sebuah metropolitan selalu ada distrik?
Perut saya masih mulas karena mendengar penjelasan penyiksaan di S-21. Bagaimana saya mengingat kata demi kata dalam audio yang berputar di kepala saya. Belum pulih seutuhnya, Dan mengatakan, “Selamat datang di Killing Fields. Sebuah tempat yang membuatmu bersyukur hidup dalam lintas waktu yang damai seperti ini.”
Dan memberi saya secarik kain seperti sarung guna saya kenakan. “Di dalam, nyewa kain itu mahal, pakai punya saya saja. Walau jelek, tetapi gratis. Di dalam, kamu nggak boleh pakai celana pendek. Ini untuk menghormati korban pembantaian massal Rezim Khmer Merah.”
Killing Fields bahkan amat luas. Beberapa gundukan tanah mengepung sebuah bangunan berstupa yang amat tinggi. Memorial Stupa namanya. Tinggi sekali. Kontras dengan lingkungan samping yang kebanyakan pasir, pohon, dan beberapa bangunan museum.
Saya perhatian lamat-lamat, sekujur tubuh saya merinding hebat. Di tengah stupa tersebut, seutuhnya berisikan… tengkorak manusia. Iya, bangunan setinggi itu, dindingnya terbuat dari kaca dan di dalamnya tampak tulang belulang manusia.
Tengkorak ini tidak asal disusun. Katanya, tengkorak itu disusun berdasarkan umur dan bagaimana cara mereka terbunuh. Tak jauh dari sana, terdapat bangunan kecil yang berisikan alat-alat membunuh seperti parang, balok kayu, dan ah… Ngilu saya.
Ada yang terbunuh ketika punya anak kecil dan anak tersebut dibanting, ada yang diberondong di sebuah gundukan tanah, ada ah… Ngilu saya.
Pol Pot dalam mengimplementasikan Chnam Saun, yakni segalanya dimulai dari nol, juga menjadikan Kamboja sebagai negara utopia agraria tanpa kelas, berimbas pada terbunuhnya berjuta-juta rakyat Kamboja. Para intelek yang dianggap mengancam hingga lawan politiknya, terbunuh dengan keji di sini.
Wisata yang benar-benar mengubah pandangan hidup saya akan konsep sejarah. Ketika Kamboja berani mengungkap fakta sejarah, kapan ya Indonesia bisa melakukan itu semua? Ah, yang jelas, yang terbaik dilakukan di sana adalah doa. Wisata yang penuh dengan kiriman doa. Di sana saya menemukan sebuah doa yang bersifat universal, yakni kemanusiaan yang setara dan berimbang.
BACA JUGA Pekalongan Itu Nggak Cocok Dijadiin Kota Wisata, Pemerintah Jangan Ngeyel dan tulisan Gusti Aditya lainnya.