Wawancara dengan Eiichiro Oda, Perihal Perdebatan One Piece dan Naruto

Wawancara dengan Eiichiro Oda, Perihal Perdebatan One Piece dan Naruto terminal mojok.co

Hujan baru usai mengguyur UGM kala saya baru saja datang ke sebuah seminar yang diberikan Eiichiro Oda pada kampus tersebut. Tajuk seminarnya pun ndakik banget, “Seminar Pemersatu Bangsa: Kiat One Piece Menyatukan Pemuda Indonesia” mak tratap saya pun datang. Bukan untuk mendengar ceramah blio, tapi saya ingin bertanya mengenai One Piece yang katanya hendak mencapai puncaknya setelah arc Wano Kuni. Selain itu, ada beberapa hal yang ngganjel.

Jebul penjagaannya nggak ketat-ketat banget. Setelah selesai ngisi seminar, blio ini malah duduk-duduk di GSP sambil liatin orang jogging sore. “Assalamualaikum,” sapa saya. Blio nggak jawab, hanya mesem-mesem. “Nggak jawab Akatsuki!”

“Waalaikumsalam.”

“Boleh saya ikut duduk, Oda Sensei?” ia nggak balas lagi pertanyaan saya, hanya senyum-senyum. Saya pun duduk njejeri blio. “Saya mau bertanya banyak hal sama Oda Sensei,” kata saya memberanikan diri.

Oda Sensei pun langsung membuka ponselnya. Duh, sepertinya saya ganggu blio. Ya bagaimana, ya, blio ini sibuk banget, seriusan. One Piece tayang seminggu sekali. Libur seminggu saja fansnya pada sambat, padahal kebanyakan dari mereka bacanya di situs ilegal. Oda Sensei terus ngotak-ngatik ponsel miliknya. Tiba-tiba memperlihatkan ponselnya kepada saya, “Iki piye carane ya, Mas?” kata Oda Sensei hampir bikin saya ngakak nggak karuan.

Bagaimana nggak ngakak. Jebul Oda Sensei sudah pesen Gojek. Ia hendak cancel karena mau menjawab beberapa pertanyaan dari saya. “Biar nanti Mas Gojeknya saya transfer saja sebagai ganti akibat saya cancel,” kata Oda Sensei dengan sopan. Ketika saya tanya transfer apa, blio menjawab transfer beberapa komik One Piece. Duh, kalau itu mah saya juga mau, Sensei.

Sambil order Gofood sate klatak dan beberapa makanan ringan ditraktir blio, kami pun terus-terusan dipentelengi SKKK (satpam kampus UGM, red) supaya nggak nyampah sembarangan. “Gimana, mau nanya apa, Mas?” katanya. Oda Sensei pakai kemeja necis dengan kerah yang agak lusuh. Hal ini seolah menjawab penasaran saya gaya berpakaian seorang Mangaka yang kaffah.

Saya yang ragu-ragu pun akhirnya memberanikan diri bertanya, tanpa tedeng aling-aling ke pokok keresahan saya, “Apakah One Piece lebih baik dari pada Naruto?”

Oda Sensei pun langsung ngakak nggak karuan. Matanya mendelik-mendelik dan mengeluarkan beberapa bongkah air mata. Hih gemes rasanya pengen tak culek. Dengan mengatur napas, blio pun berhenti sejenak. Oda Sensei menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menjawab, “Naruto udah nikah, Luffy belum nikah. Naruto sudah mewujudkan mimpinya, Luffy belum. Jadi, coba simpulkan sendiri, bagusan mana?”

“One Piece.”

Oda Sensei kembali kemekelen sambil menepuk-nepuk punggung saya. Ya, wajar to saya jawab begitu. Kalau yang nanya Mashashi Kishimoto, empunya Manga Naruto, dengan naluriah dan kesadaran yang paling tinggi, saya juga bakalan menjawab…. One Piece. Ckkkuuaakkkss, hiyaa hiya hiya!

“Poinnya nggak begitu, sih, Mas,” kata Oda Sensei dengan bijak. “Yang bikin One Piece besar sampai sekarang, banyak fansnya yang militan dan sering bikin opini-opini sampah adalah hadirnya Naruto yang turut serta membuat libido saya terpacu.”

Saya pun membayangkan, bagaimana jadinya kalau saingan One Piece dulu bukan Naruto, tapi Black Clover, duh, bagaimana jadinya. Mungkin Oda Sensei males banget saingan sama manga yang gambarnya seperti “seri cantik” yang tokohnya matanya lentik-lentik, hidungnya kayak jarum dan dicantik-cantikin seperti itu. “Bukan Dragon Ball ya, Sensei (sebagai pemacu persaingan, red)?”

“Dragon Ball?” tanya Oda Sensei, saya hanya mengangguk. “Hahahahahaha,” dirinya malah ngakak nggak karuan lagi. “Itu bukan saingan One Piece. Levelnya sudah berbeda. Dragon Ball adalah dewa, sedangkan One Piece hanyalah anak baru yang sama sekali nggak bisa meruntuhkan kedigdayaannya,” jawabnya dengan merendah.

Saya pun mengeluarkan ponsel, memperlihatkan sebuah tulisan di Terminal Mojok yang judulnya No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto. Oda Sensei pun membaca dengan saksama, setelah selesai dirinya hanya melihat saya sambil geleng-geleng kepala. Ia langsung berkomentar pada bagian pertama yang mengkomparasi gajinya dengan Masashi Kishimoto dan mencatut nama Akira Toriyama, empunya Dragon Ball, “Lha wong sama-sama makan ramen dan takoyaki, sama-sama napas dan juga sama-sama menikmati dunia dengan gratis, masih saja ada yang banding-bandingin keuangan saya dengan mangaka lain, hadehhhh!” Oda Sensei pun tepuk jidat.

“Lalu, bagaimana dengan statement yang bilang bahwa One Piece menyimpan cerita dan karakter penuh misteri. Naruto menyimpan cerita dan karakter yang itu-itu aja, Sensei?”

“Lho, dengan karakter yang itu-itu saja, ceritanya bisa panjang dan nggak mbulet lho,” kata Oda Sensei sambil makan sosis Indomaret yang sausnya lumer kemana-mana. “Saya suka twist yang dihadirkan Bro Kishimoto dalam menggambarkan tokohnya semisal Zetsu dan Itachi yang bener-bener mind-bloowing.”

“Oh, jadi Sensei baca Naruto juga?”

Rumangsamu!

Saya pun membuka bungkusan kacang kulit rasa, saya kletus tanpa dibuka kulitnya terlebih dahulu. Langit di UGM kian jingga kala kami sibuk ngobrol. Oda Sensei sangat menikmati suasana Jogja kala sore. Bahkan ia bertanya rekomendasi tempat di Jogja untuk inspirasi bagaimana bentukkan Raftel kelak. Saya pun menyarankan Babarsari.

Obrolan pun berlanjut, saya bertanya dengan sopan, “Dalam tulisan tersebut, ada poin yang menyatakan bahwa One Piece bikin mata segar, Naruto bikin mata cuma fokus ke Tsunade. Menurut Sensi bagaimana?”

“Sepertinya saya harus bikin bagian khusus saat Sanji terdampar di Pulau Momoiro. Hahaha!” saya pun ikut ngakak. Tiba-tiba wajah Ivankov terbesit dalam pikiran dan merindinglah bulu kudu saya.

Saya kembali membuka ponsel, memperlihatkan tulisan tandingan yang mencoba meruntuhkan argumennya penulis sebelumnya. “Ini, Sensei, ada tulisan yang judulnya Hah, Serial One Piece Lebih Baik? Padahal Ceritanya Aja Bermasalah! Bagaimana tanggapan Sensei?”

“Judulnya harus banget pakai ‘hah?’ gitu, ya?” Oda Sensei pun tertawa.

“Hah?”

Oda Sensei pun membaca dengan cermat. Ia terus mesem-mesem, sesekali kembali tertawa, kali ini tertahan seperti orang sedang kepising. Keringatnya pun mengalir perlahan. Padahal, Jogja pasca hujan sedang manja-manjanya. “Bingung aku, Mas, sama tulisannya,” komentarnya. Sebelum saya tanya kenapa, blio langsung nyerobot menjelaskan. “Katanya kan One Piece ceritanya bermasalah, tapi kok poin terakhir bilang One Piece kebanyakan misteri. Ini seakan menyangkal pendapatnya dari nomer satu dan seterusnya. Lha gimana, kalau nggak ada misteri ceritanya jadi apa?”

Sekarang saya yang ngakak mendengar penjelasan Oda Sensei. Iya juga, ya, dibilang ceritanya bermasalah tapi di bagian akhir seakan memuji bahwa One Piece banyak misteri yang belum terselesaikan dan menambah keseruan di dalamnya. Tapi, jika boleh jujur, Oda Sensei alih-alih muntab, ia malah mencoba membuka bungkus sate klatak yang dari tadi nggak tersentuh.

“Tapi ini pertanyaan sekaligus kritik yang bagus, Sensei, bajak laut masa nggak bisa berenang?” tanya saya. Ia yang tadi mencoba makan sate klatak pun nggak jadi lagi.

User devil fruit itu terlalu over power menurut saya. Kalau nggak punya kelemahan, terus bagaimana cara mereka dikalahkannya? Terkhusus Luffy, udah punya Haki, kekuatan dari buah setan gomu gomu no mi dan punya semangat “D”, gimana coba cara nerf si Luffy selain bikin nggak bisa berenang?”

Oda Sensei pun kembali mencoba membuka bungkusan sate. Melihat beberapa sate yang masih ngepul mengeluarkan asap. Hayoh kowe, Sensei keinget Smokers mesti?

Kemudian saya membuka ponsel lagi, memperlihatkan satu tulisan untuk dibaca oleh Oda, gagallah dirinya makan sate klatak khas Bantul yang uenak itu. Oda Sensei membaca tulisan yang judulnya One Piece Mungkin Ceritanya Bermasalah, tapi Naruto Jelas-jelas Sampah. Wajahnya pun menunjukkan wajah ngeri sebagaimana wajah kagetnya Sugar ketika dikalahkan God Usopp.

Ia hanya berkomentar, “Sebenarnya yang sampah itu One Piece dan Naruto atau kalian-kalian yang membandingkan kami, sih?” ujarnya sambil dongkol. “Gini lho, Mas, Naruto yang biarlah dinikmati sebagaimana orang-orang yang mau menikmati. Sebaliknya, One Piece pun juga. Pun kalau cuma suka salah satu ya silakan, nggak usah ngatain sampah segala.”

Saya hanya angguk-angguk. Oda Sensei kembali mencoba menikmati sate klatak yang dari tadi ia puter-puter terus. Sensei mencoba melahap santapan di depannya. Dengan nggak tahu dirinya, saya pun bertanya lagi, “Tapikan pada kenyataannya Naruto emang sampah, Sensei? Masa yang nonton bocah-bocah baru tumbuh jenggot halus. Tumbuhnya pun cuma satu helai.”

“ASUUUUUU!” umpat Oda Sensei.

Saya pun mak tratap ketakutan. Astagfirullah masa aku dimarahin sama idola. Dengan menguatkan tekad, saya bilang, “Maaf, Sensei, kalau pertanyaan saya nggak sopan.”

“Bukan, bukan, bukan masalah itu,” katanya sambil memegang mulut. “Sate klatak e isih puanas jingak!”

BACA JUGA Bukan One Piece atau Naruto, Manga Terbaik Itu Doraemon atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.
Exit mobile version