Kita sebenarnya sudah tahu bagaimana penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan. Liga tetap berjalan, Arema FC tak peduli, bahkan mereka yang mengatasnamakan Aremania malah menjadi penjilat klub, tak berusaha mencari keadilan. Pada akhirnya tidak ada keadilan yang ditegakkan, bahkan oleh mereka yang bertugas memberikan keadilan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memberikan vonis bebas kepada mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang, Bambang Sidik Achmadi pada Kamis, 16 Maret 2023. Hakim PN Surabaya menilai bahwa Bambang, meski memerintahkan pasukannya untuk menembak gas air mata, tak patut disalahkan.
“Gas air mata tersebut tak sampai tribun selatan karena terbawa angin. Hal ini diperkuat dengan keterangan ahli,” ujar Hakim.
Semua pihak yang masih punya hati dan nalar pasti menyayangkan keputusan ini. Keputusan yang tidak manusiawi, keputusan yang mencederai keadilan Apalagi dengan menjadikan angin sebagai kambing hitam. Dalih macam apa itu? Apa nggak kasihan sama angin? Angin ini sebenarnya nggak tahu apa-apa, kok malah dijadikan kambing hitam. Menyalahkan bakul tempe di Vanuatu jelas lebih masuk akal ketimbang angin.
Upaya menguak fakta
Maka dari itu, saya coba untuk menghubungi angin, menanyakan bagaimana perasaannya dan responsnya setelah dijadikan kambing hitam. Untungnya angin tidak sulit untuk dihubungi, bahkan sangat bersedia untuk ditemui. Saya juga tidak perlu pihak perantara untuk menghubungi angin. Di sebuah malam yang sunyi dan dingin, saya melakukan wawancara singkat dengan angin.
Terima kasih sudah bersedia saya wawancarai, Lek Angin. Saya panggil Lek aja ya, biar akrab. Maaf kalau saya agak grogi. Ini adalah kali pertama saya mewawancarai angin. Biasanya saya mewawancarai orang soalnya.
Iya, Mas. (suaranya ketus, belum makan mungkin)
Dari pernyataan hakim di pengadilan kasus Kanjuruhan, Anda adalah penyebab gas air mata itu terbawa ke tribun. Gimana perasaannya?
Ya tentu campur aduk, Mas. Saya ini nggak ngerti sama sekali soal sepak bola. Saya cuma berhembus kesana-kemari, nggak ada urusan soal semua itu. Lha kok tiba-tiba disebut sebagai “aktor utama” Tragedi Kanjuruhan. Kudu misuh aku rasanya, Mas. Nggak terima.
Saya itu juga heran, Mas. Kok bisa-bisanya saya “disalahkan” atas apa yang sebenarnya dilakukan oleh manusia. Mengapa kami yang dijadkan kambing hitam? Yang nembak gas air mata itu manusia, yang bikin semua itu terjadi juga manusia, eh yang jadi kambing hitam saya. Po ra icingkiwir, Mas?
Putusan hakim yang aneh
Putusan Hakim kemarin banyak membuat orang kecewa, khususnya korban Tragedi Kanjuruhan. Lalu banyak pemberitaan yang mencatut nama Anda. Gimana Angin menyikapinya?
Jangankan korban, saya juga kecewa, Mas. Kata Hakim kemarin gas air matanya terbawa angin. Ini logikanya sudah kelewat ngawur. Jobdesc saya itu cuma berhembus kesana-kemari, tanpa ada tendensi apa pun. Itu sudah jadi takdir saya yang digariskan Sang Pencipta. Kalaupun ada yang terbawa, ya itu bukan kehendak saya. Itu sudah jadi kehendak Sang Pencipta. Lha mereka pikir saya mau gitu bantuin polisi? Mlz.
Kalau nggak mau terbawa angin, ya jangan menembakkan gas air mata, lah! Gitu aja kok nggak ngerti, sih?! Masak ya jelasin hal beginian ke orang-orang yang katanya terlatih ini. Anak kecil kalau main layang-layang aja memperhatikan angin, kok. Ini mereka yang nembak gas air mata kok malah abai soal itu. Bodoh apa gimana? Mereka yang jahat, tapi kita yang jadi kambing hitam. Aneh!
Kalau soal pemberitaan, ya saya nggak terlalu risau sih, Mas. Toh saya sudah tahu rasanya terkenal. Mas tahu lagu “Angin” dari Dewa 19, Mas? Sing dimaksud ki aku, Mas.
Serius, Lek?
Ha mbok tenan.
Suku Angin pun murka
Kemarahan Suku Angin
Apakah kabar ini sampai di dunia per-angin-an? Angin-angin yang lain gimana perasaannya? Apakah kecewa juga?
Ya pasti sampai, Mas. Geger geden malah. Suku Angin di pucuk gunung rahasia sana marah-marah. Tapi saya tenangkan mereka. Biar saya selesaikan sendiri. Rasanya ingin membalas dengan bikin masuk angin, tapi kasian. Lemah teles, Mas. Gusti Allah sing mbales.
Berarti nggak ada tindakan lanjutan dari Angin? Melaporkan ke pihak yang berwajib dengan pasal pencemaran nama baik, misalnya?
Buat apa, Mas? Pertama, pasal itu pasal karet. Kami nggak suka. Kedua, hasil pengadilan kemarin itu sudah jadi bukti. 135 lebih nyawa yang hilang karena tindakan brutal aparat saja tidak mendapat keadilan. Semua divonis ringan, bahkan ada yang dibebaskan sama pengadilan. Ngapain kami cari keadilan ke orang-orang goblog dan nggak punya nurani, yang tidak bisa memberikan keadilan?
Tapi, tentu saja kami tetap membuat laporan, yaitu kepada Tuhan. Sebab, hanya Tuhan Yang Maha Adil.
Terus gimana perasaan Lek Angin melihat para korban yang tidak mendapat keadilan soal kasus ini?
Tentu prihatin, Mas. Saya juga heran dan kecewa, kok para korban Tragedi Kanjuruhan ini tidak mendapat keadilan. Angin-angin gini saya masih punya nurani, masih punya rasa peri kemanusiaan.
Intinya, kami ya cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk korban, Mas. Semoga mereka diberi kekuatan, ketabahan untuk menjalani hidup yang penuh ketidakadilan ini. Mungkin sekarang para korban tidak mendapat keadilan. Tapi suatu saat, keadilan akan datang dengan cara-cara yang terbaik. Itu doa dari kami.
Berhubung hari sudah malam, saya juga sudah ngantuk dan mules banget, kayaknya saya sudahi dulu wawancaranya. Terima kasih sudah bersedia saya wawancarai.
Sama-sama, Mas Iqbal. Saya lihat Mas Iqbal tadi beberapa kali menguap dan bersendawa sambil ngelus-ngelus perut. Kalau saya makin lama berada di sini, nanti Mas Iqbal malah masuk angin. Intinya, terima kasih juga sudah memberikan saya ruang untuk bicara. Salam untuk para korban, dan semoga keadilan tetap berpihak pada korban.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka