Menceritakan masa kecil memang tidak ada habisnya. Setelah beberapa hari lalu saya menceritakan bagaimana keinginan masa kecil saya untuk kesurupan dan belum tercapai sampai sekarang, saya akan menceritakan lagi betapa anehnya masa kecil saya. Salah satu kebiasaan aneh saya waktu kecil adalah saya (dan teman-teman sebaya) suka sekali menghitung dosa.
Mungkin kebiasaan menghitung dosa bukan kebiasaan yang aneh, mengingat saat ini banyak sekali moralis-moralis yang suka mendaftar dosa orang lain. Tetapi, ini dilakukan oleh anak kecil, anak yang usianya lima atau enam tahun, dan memangnya apa sih dosa anak seusia itu. Mabuk juga tidak mungkin, berzina apalagi, membunuh orang juga apalagi. Lagian anak seusia itu katanya belum dihitung dosanya, masih suci. Tapi yang namanya anak kecil, ada saja ulahhya dan ini salah satunya.
Saya lupa apa yang menyebabkan kebiasaan ini muncul. Tiba-tiba saja waktu itu kami suka sekali menghitung dosa. Lalu dosa apa yang dihitung? Ya, sederhana saja, seperti ngomong “jancuk” atau misuh-misuh yang lain. Lalu, soal kami yang tidak puasa (meskipun anak seusia itu juga wajar kalau tidak puasa), dan dosa-dosa aneh lainnya. Kebiasaan ini berlangsung cukup lama, sekitar satu tahunan. Mulai saya masih TK B hingga SD kelas satu. Anehnya lagi, setiap peka, kami seakan restart, yaitu dosanya nol lagi. Aneh, kan?
Perkara misuh, ini juga ada yang aneh. Aturan di kami, misuh itu baru dihitung dosa kalau diucapkan tiba-tiba yang biasanya diucapakan ketika marah. Jangan heran mengapa anak seusia itu sudah bisa misuh. Itu wajar di daerah saya. Misuh baru tidak dihitung dosa, ketika di awal kita meminta maaf dulu pada Tuhan sebelum misuh. Jadi, misalnya kalau tiba-tiba kita biilang “jancuk!”, dosa kita dihitung satu. Namun, kalau kita bilang, “Astaghfirullah, maaf Tuhan, nuwun sewu, jancuk!”, kita tidak dihitung dosa. Gila, kan?
Saya pribadi punya pengalaman menarik soal hitung-menghitung dosa ini. Jadi, saya adalah orang yang cukup menjaga agar dosa saya tetap nol dan tidak bertambah. Saya tidak mau punya dosa, apalagi yang menentukan teman-teman sendiri. Gengsi, dong. Ceritanya begini, saat itu, kakak sepupu saya menikah. Seperti kebiasaan orang di daerah saya ketika menggelar hajatan, mereka menyewa organ tunggal dangdut. Organ tunggal ini baru mulai ketika sore menjelang malam dan memang begitu biasanya. Di sinilah malapetaka bagi saya dimulai.
Ketika malam, organ tunggal dangdut sedang main. Saya yang waktu itu masih kecil, disuruh oleh om dan pakde saya untuk ikut joget di depan biduannya. Ya sebagai anak kecil, saya nurut saja. Maka saya menuju ke dekat biduan, dan saya joget selama beberapa lagu. Nah, ternyata, saya adalah satu-satunya anak kecil malam itu. Maklum, ini acara kakak sepupu saya sendiri dan orang tua saya memberikan toleransi jam malam. Saya cukup menikmati malam itu, ikut joget bersama biduan dengan iringan musik dangdut. Malam itu saya merasa dewasa sekali.
Keesokan harinya, saya menemui teman-teman saya (biasalah, untuk main). Mereka mengatakan bahwa dosa saya bertambah satu. Saya bingung, perasaan saya baru datang dan tidak melakukan apa-apa. Ya mereka bilang bahwa mereka tahu saya kemarin joget-joget bersama biduan dan menurut mereka itu dosa. Mendengar hal itu, saya benar-benar sedih sampai mau nangis. Saya masih ingat tempatnya, di tembok depan rumah orang, saya menunduk sedih, dan mata sudah berkaca-kaca. Ternyata semua yang sudah saya jaga rapat-rapat, akhirnya bobol juga. Saya punya dosa.
Itulah betapa anehnya kebiasaan masa kecil saya. Setelah saya dewasa, saya mikir-mikir lagi: buat apa saya suka menghitung dosa seperti ini? Maklum, anak kecil. Dosa yang dihitung pun sangat remeh, misuh, joget bareng biduan, itu-itu saja. Namun, kami senang waktu itu (ya, meskipun saya sempat sedih ketika tahu dosa saya bertambah) dengan kebiasaan menghitung dosa. Meski ternyata, kebiasaan tersebut sekarang masih ada dan yang melakukannya malah orang dewasa. Dasar kekanak-kanakan.
BACA JUGA Dari Dulu Saya Ingin Sekali Bisa Kesurupan dan Itu Belum Tercapai Sampai Sekarang dan tulisan Iqbal AR lainnya.