Marco telah enyah dari tubuh PSS Sleman. Ia kini digantikan oleh Andhywardhana Putra, Direktur Utama PSS Sleman yang baru. Walau begitu, “arwah” Marco masih saja gentayangan. Ia kini berkilah, merasa disakiti dan memaksa para Sleman Fans untuk mendengarkannya. Layaknya orang kepepet, bisa apa Marco selain gaslighting?
Lebih nggatheli lagi, blio menuding bahwa Andhywardhana Putra mencari celah guna masuk dalam jajaran PT. PSS. Tudingan ini ditepis Andhywardhana yang mengatakan pengangkatannya ini keputusan pemilik saham.
Hal sekecil ini membuktikan bahwa Marco memang alot ketika hendak melepas PSS Sleman. Padahal, setiap sudut Sleman sudah dihiasi dengan pamphlet yang bertuliskan namanya dengan akhiran “out”. Ya, #MarcoOut lebih riuh ketimbang baliho Reno Candra Sangaji, lurah Condongcatur yang katanya mau maju itu.
Marco juga menunjukan wajah manusia ketika sudah kepepet dan kalap. Bagaimana pun, tudingan bahwa Andhywardhana menekan pihak atas agar mendapatkan jabatan dan menggeser blio, itu nggak mashoook babar blas. Pemegang saham PT. PSS itu ada 14 orang dan mau bagaimanapun kelewat ampuh semisal Andhywardhana menekan 14 orang sekaligus demi jabatan Marco.
Toh jabatan Marco kini menjadi sebuah bola panas. Hanya orang gila yang menerima jabatan, ketika jabatan tersebut menjadi sasaran kritik. Apalagi ini urusan sepak bola, di mana selalu muncul kata “perjuangan kolektif” ketika sebuah tim sedang nggak baik-baik saja. Apalagi—lagi—ini adalah PSS Sleman. Sebuah tim yang bukan milik 14 orang pemegang saham, melainkan seluruh masyarakat Sleman.
Walau modern ini memang agak aneh ketika membicarakan bahwa sebuah tim milik kolektif suporter. Mau bagaimana pun, sepak bola pasca Revolusi Industri adalah sepak bola yang selalu bertautan dengan pemilik modal. Sepak bola bukan hanya hiburan, namun juga perputaran uang. Namun, mau bagaimana pun, ini adalah PSS Sleman. Sehebat apa pun Marco menahkodai, jika nggak dapat restu warga Sleman, palingan ya bernasib seperti Perseru Serui.
Marco, PSS Sleman itu bukan Badak Lampung FC. Gairah nggak didapat hanya ketika dirimu memindah home base ke daerah lain. Serui ke Lampung, itu jauh sekali. Memang, bisnis adalah perkara wahid mana kala mempertahankan sebuah tim adalah harga mati. Kejeniusan bisnismu di Sleman itu nggak payu. Di sini, lebih mementingkan hadirnya sebuah tim yang diwariskan dari kakek hingga bapak.
Sekarang Marco tampil dalam YouTube maupun podcast, menyebar narasi yang menjurus kepada asumsi pribadi dirinya. Dengan nada-nada yang membosankan—seperti biasanya—Marco menyebar hal-hal yang mengatasnamakan perjuangan pribadinya. Narasi-narasi macam ini, seperti yang saya sebutkan di awal, bisa apa sih pihak yang kalah selain melakukan gaslighting?
Di sebuah kanal YouTube yang sedang butuh AdSense karena jarang jadi komentator lantaran gaya komentatornya sudah ketinggalan zaman dan kelewat berisik, Marco mengatakan bahwa proses pemecatannya via media sosial. Ia juga mengatakan bahwa, “Saya tidak mau buka aib perusahaan, tetapi ini yang memang terjadi. Kita pikir di sepak bola itu bisa dimusyawarahkan semua ternyata engga.”
Benar, Marco, saya kira sepak bola itu bisa dimusyawarahkan. Lantas ke mana Anda ketika Sleman Fans berkeringat-keringat menuntut kejelasan kepada Anda? Katanya, sepak bola bisa dimusyawarahkan, lha kok pas Anda dicari malah ilang-ilangan?
Untuk Sleman Fans, saya sarankan perbanyak narasi. Tampil di podcast dan kanal YouTube yang menyuarakan keluh kesah kalian sebagai suporter. Jangan narasi-narasi ini berat sebelah kepada diri Marco. Oleh karena sepak bola adalah perjuangan, maka memperjuangkan narasi yang benar dan bermartabat juga merupakan salah satu bentuk perjuangan itu sendiri.
Ketika pihak yang menyebalkan mengutarakan keresahan karena nggak mendapatkan keadilan, maka bisikan kepada dirinya, di telinganya kalau bisa, lha wong dulu kita nyari blio, blio malah sulit dijumpai. Situ Dirut PSS Sleman apa Avatar? Lha kok ketika Sleman Fans membutuhkan dirinya, Anda malah menghilang.
Selamat berkoar-koar, Marco.
Sumber gambar: Pixabay