Dari tahun ke tahun, keadaan Waduk Mrica di Banjarnegara makin memprihatinkan…
Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terkenal memiliki banyak tempat wisata alam. Salah satunya yang paling terkenal adalah Dataran Tinggi Dieng. Selain Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara juga memiliki waduk terpanjang di Asia Tenggara yang diberi nama Waduk Jenderal Soedirman.
Waduk Jenderal Soedirman atau yang dikenal juga dengan nama Waduk Mrica adalah waduk yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Bahkan berdasarkan penuturan dari ibu saya, waktu peletakan batu pertama dan peresmian, tempat tersebut dipenuhi warga lokal dan juga warga dari luar kota. Kebetulan waduk ini dekat dengan tempat tinggal saya di Kabupaten Purbalingga, maka tak heran kalau warga desa saya juga banyak yang main-main ke waduk ini. Sayangnya, kejayaan Waduk Mrica di Banjarnegara makin memudar dari tahun ke tahun, sehingga keadaannya pun makin memprihatinkan.
Daftar Isi
Jalanan di sekitar waduk rusak
Lantaran letaknya yang cukup dekat dari rumah, saya sering ke waduk ini untuk melepas penat atau sekadar lewat. Dari dulu hingga sekarang, bendungan satu ini tak pernah berubah. Kenapa saya bilang begitu? Karena jalan di area ini rusak parah. Sejak saya masih duduk di bangku SMA hingga masuk semester 8 bangku kuliah, jalanan di sana tetap sama. Rusak.
Lucunya, sudah jalannya rusak, eh ditambah ada polisi tidurnya. Duh, jalanan yang rusak saja bikin pengendara enggan lewat sana, apalagi ditambah polisi tidur. Sudah pasti jalanan sekitar Waduk Mrica Banjarnegara ini sepi sekali.
Oh ya, saya selalu mengamati bahwa Waduk Mrica akan ramai pengunjung hanya saat weekend atau libur Lebaran seperti kemarin. Sepinya pengunjung membuat wisata Waduk Mrica minim pemasukan. Loket buka hanya saat weekend dan libur Lebaran. Di luar hari itu, nggak ada petugas yang berjaga dan pintu masuk akan dikunci.
Kalau boleh saya bilang, waduk yang berada di Kabupaten Banjarnegara ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Hal ini juga dibuktikan dari tingginya ilalang dan rumput di sekitar area waduk yang dibiarkan begitu saja tanpa ada yang merawat.
Baca halaman selanjutnya
Warga enggan melewati area waduk di malam hari…
Warga enggan melewati area waduk di malam hari
Kalau kalian melewati area Waduk Mrica pada malam hari, saya jamin kalian bakal putar balik. Lha, kok bisa? Iya, soalnya lampu penerangan di sini sangat minim. Selain itu, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, jalanan yang rusak dan ilalang yang tinggi menambah kesan mistis area ini.
Seharusnya jika jalanan di area sekitar waduk rusak, penerangannya setidaknya diperbaiki biar nggak gelap-gelap banget. Makanya kalau kalian hendak melewati area ini di malam hari, jangan nekat, deh. Soalnya peteng banget, Luuur!
Sementara itu pada sore hari, di sepanjang jalan menuju waduk, kalian bakal melihat muda-mudi yang asyik pacaran. Kadang waktu pacaran ini kebablasan sampai malam hari. Ngapain coba berduaan sampai malam di pinggiran waduk? Yo embuh.
Jadi tempat nongkrong siswa yang bolos sekolah
Beberapa kali saya melewati area Waduk Mrica Banjarnegara di siang hari saat jam sekolah. Tak sengaja saya malah melihat beberapa anak sekolah yang masih pakai seragam membolos dan merokok dengan santai di pinggir waduk. Mungkin karena tempatnya yang sepi, area sekitaran waduk jadi tempat yang strategis untuk membolos, ya.
Nggak cuma satu dua orang yang membolos, lho, kadang sampai satu geng sekaligus ada di sana. Terkadang saya mengira mereka pulang sekolah gasik karena ada acara di sekolah, tapi kok sering banget, ya? Malah hampir setiap hari. Mau husnuzan, tapi kok nggak bisa.
Kondisi di Waduk Mrica Banjarnegara tersebut memerlukan campur tangan pemerintah setempat untuk segera menuntaskannya. Kalau nggak segera ada perbaikan, bukan tak mungkin keadaan Waduk Mrica makin bertambah buruk. Padahal potensi wisata waduk ini cukup besar, lho. Semoga saja segera ada tindakan nyata dari pemerintah daerah setempat, ya, supaya waduk ini nggak berakhir mangkrak begitu saja.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi