Urban Farming untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan, Realitas atau Ilusi?

urban farming bercocok tanam kota rumah kaca mojok (1)

urban farming bercocok tanam kota rumah kaca mojok (1)

Hamparan pot-pot dan pipa-pipa paralon yang ditanami kangkung, bayam, brokoli dan cabe, tampak menghiasi pekarangan rumah-rumah warga. Sayup-sayup terdengar gemericik air, yang mengalir ke dalam media-media tanam tersebut. Sesekali tampak beberapa petani memeriksa kondisi tanaman-tanaman tersebut.

Suasana yang hijau, asri dan mengalirkan aroma pedesaan ini ternyata tidak berasal dari suatu desa di pelosok tanah air kita. Suasana ini, ternyata dapat kita temui di perkampungan, di tengah-tengah kota Jakarta. Ya, kondisi ini adalah salah satu contoh dari apa yang disebut dengan urban farming.

Urban farming merupakan salah satu cara yang disebut-sebut menjadi salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi masalah ketahanan pangan selama pandemi. Pada dasarnya, metode ini mencoba untuk mengalihkan sedikit banyak pasokan bahan makanan dari desa ke kota.

Seperti sudah kita ketahui bersama, bahwa kota-kota besar sangat bergantung pada pasokan bahan makanan dari sentra-sentra produsen bahan makanan di sekitarnya. Pasokan ini tentu saja selama masa pandemi menjadi sedikit banyak terganggu, disebabkan salah satunya adalah terhambatnya transportasi dari desa ke kota.

Ide ini sekilas terlihat sangat bagus dan ideal. Selain untuk menggantikan pasokan bahan makanan dari tempat lain, ada harapan bahwa masyarakat di kota akan mendapatkan penghasilan tambahan. Atau paling tidak, diharapkan mereka dapat mengurangi pengeluaran bulanannya.

Namun, di balik semua ide tersebut, tersimpan beberapa masalah atau hambatan yang sangat mungkin akan menghambat, atau bahkan menggagalkan ide yang terkesan sangat brilian tersebut.

Seperti juga halnya pada produksi barang di pabrik-pabrik, dari input yang berkualitas diharapkan dapat menghasilkan output yang bagus. Input dalam bercocok tanam, salah satunya adalah bibit tanaman. Tentu saja dalam hal ini yang dibutuhkan adalah bibit tanaman yang cukup dan berkualitas.

Berbicara masalah kecukupan bibit, tentu kita akan melihat kuantitas yang tersedia di pasaran. Saat ini sudah banyak marketplace-marketplace yang menyediakan bibit tersebut. Yang kemudian akan menjadi potensi masalah ialah pada pasokan bibit. Lagi-lagi, pasokannya biasanya didapat bukan dari kota-kota besar, melainkan dari pelosok desa.

Belum lagi jika kita harus mengimpor bibit tersebut. Siapa yang tidak mengenal kangkung Bangkok? Bibit yang sangat terkenal di kalangan petani hidroponik ini, sangat menjadi andalan para petani. Nah, walaupun sebagian sudah diproduksi di dalam negeri, namun sebagian masih harus diimpor dari negara asalnya.

Ketidakmandirian dalam pasokan bibit ini, tentu mengakibatkan beberapa masalah. Dari mulai harga bibit yang menjadi relatif mahal, sampai pada pasokan yang terkadang tersendat-sendat akibat masalah transportasi pada masa pandemi ini.

Berbicara mengenai bibit, tentu masalah kualitas juga harus sangat dipertimbangkan. Masalah yang timbul adalah sangatlah sulit untuk membedakan bibit yang berkualitas baik dan yang kurang baik. Terlebih bagi para petani pemula, seperti yang ada di kota-kota besar.

Kemampuan dalam mengenali kualitas bibit, dapat sangat menentukan keberhasilan dari panen kita nanti. Sebagai salah satu contoh adalah budidaya sayuran kangkung. Dengan bibit yang berkualitas, hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk menghasilkan kangkung yang siap untuk dipanen. Padahal jika kita menggunakan bibit yang biasa-biasa saja, maka akan dibutuhkan waktu tidak kurang dari 30 hari.

Selain masalah kualitas dan kuantitas bibit, terdapat satu masalah lagi yang cukup pelik dan sangatlah sulit untuk diatasi. Masalah ini adalah masalah air.

Seperti sudah kita ketahui bersama, biasanya program urban farming memanfaatkan sistem hidroponik untuk bercocok tanam. Cara ini dipilih karena sistem hidroponik tidak membutuhkan lahan yang sangat besar. Cukup dengan lahan beberapa meter persegi saja, kita sudah bisa bercocok tanam. Bahkan kita bisa bercocok tanam dengan hanya memanfaatkan botol-botol mineral bekas, untuk kemudian digantungkan pada pagar rumah kita.

Sayangnya sistem ini membutuhkan sangat banyak air, sebagai salah satu media sebagai tempat bagi pasokan nutrisi bagi tanaman. Dan sudah menjadi pengetahuan umum, kualitas air tanah di kota-kota besar biasanya cukup buruk. Bahkan pada beberapa tempat, sudah tercemar dengan logam berat seperti air raksa dan helium.

Menurut catatan Pemda DKI Jakarta pada 2019, terdapat setidaknya 30 kelurahan yang masuk kedalam kategori tercemar berat. Dan ini berarti bercocok tanam di Jakarta, akan menjadi suatu tantangan yang cukup berat.

Lalu kira-kira hal apalagi yang bisa memberatkan para urban farmer kita? Satu hal yang sudah pasti harus dimiliki oleh seorang petani adalah mentalitas pantang menyerah dan disiplin yang tinggi.

Bercocok tanam, walaupun terlihat mudah dan sederhana, sebetulnya merupakan hal yang cukup kompleks. Kompleksitas ini terjadi ketika Anda berhadapan dengan tanaman, cuaca, kondisi tanah, bibit, dan lainnya, maka akan sangat banyak sekali hal yang sulit untuk diprediksi. Mulai dari masa tanam sampai dengan masa panen, banyak sekali hal yang dapat terjadi.

Banyak hal yang terlihat sederhana, tetapi ternyata dapat menimbulkan masalah yang besar. Misalnya, sudah siapkah Anda, jika tiba-tiba hujan datang mengguyur? Itu berarti Anda harus menepikan tanaman Anda untuk sementara waktu, atau Anda harus menyediakan ruangan green house yang cukup aman dari terpaan hujan. Hal ini karena air hujan dapat mempengaruhi tingkat keasaman media tanam dari tanaman tersebut. Selain itu pada sistem hidroponik, air hujan yang bercampur dengan air nutrisi, dapat mempengaruhi tingkat kepekatan dari air nutrisi tersebut.

Lalu bagaimana dengan sinar matahari? Tanaman cabe misalnya. Pada beberapa variannya, jika sudah dewasa akan lebih cocok jika tidak terkena matahari langsung. Sangat berbeda dengan kangkung, yang selalu suka dengan sinar matahari yang terik.

Dan masih banyak lagi, hal-hal yang sulit diprediksi. Seperti misalnya masalah hama, masalah tingkat kepekatan larutan nutrisi/pupuk yang harus diberikan, sampai dengan masalah perbedaan jenis nutrisi yang harus diberikan, berdasarkan masa vegetatif atau generatif yang sedang berlangsung. Semuanya itu tentu membutuhkan mentalitas yang tekun, ulet, dan sekaligus sangat berbeda dengan mentalitas orang kantoran di kota besar.

Pada dasarnya, ide mengenai urban farming ini adalah sangat bagus. Sebab jika berhasil dilaksanakan, akan dapat memecahkan sebagian masalah pangan yang ditimbulkan oleh pandemi ini.

Hanya saja, sangatlah tidak mudah untuk merubah mentalitas orang kantoran menjadi mentalitas orang tani. Sangat sulit untuk berharap melihat orang yang terbiasa bekerja di kantor, untuk bisa setiap hari bangun pagi termasuk saat weekend, hanya untuk menyiram tanamannya dan memastikan tanamannya mendapatkan cukup sinar matahari pagi. Jadi, masihkah Anda tertarik dengan ide urban farming ini?

BACA JUGA Seberapa Pentingkah Anime dan Manga Dibuatkan Film Live Action?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version