Upin & Ipin Adalah Gambaran ‘Bahagia Itu Sederhana’ Milik Anak-anak Tahun 90-an

Mari Bersepakat Upin & Ipin Adalah Gambaran Masa Kecil Anak-anak Tahun 90-an terminal mojok

Siapa yang nggak kenal si kembar botak Upin dan Ipin? Bahkan balita 1 tahun barangkali sudah hafal betul rupa si kembar botak itu lantaran wajah mereka yang kerap nangkring di layar kaca televisi kita hampir setiap hari.

Serial anak-anak yang sudah tayang di Indonesia sejak tahun 2007 ini merupakan serial favorit saya hingga hari ini. Saking favoritnya, saya pernah mengoleksi DVD mereka dengan niatan agar saat Upin & Ipin sedang nggak tayang, saya masih bisa menyaksikan kepala botak mereka di TV. Padahal episode-nya itu-itu saja, tapi herannya, kok saya ndak bosan, ya?

Kisah keseruan mereka dikemas sedemikian apik dengan setting pedesaan Malaysia yang masih cukup kental dengan kearifan lokalnya. Meski sebenarnya agak membingungkan juga, sih, lantaran berbagai budaya negeri lain turut ditampilkan untuk mewarnai tiap episode. Ada budaya Tiongkok yang ditampakkan lewat karakter Mei-Mei dan juga Paman Ah Tong. Budaya India yang mereka kemas lewat Jarjit dan Paman Muthu. Hingga budaya Indonesia yang nggak terlalu nampak karena memang 11-12 dengan budaya Malaysia, namun tetap ditampilkan lewat karakter Susanti.

Meski cukup membagongkan karena nggak menampilkan budaya mereka sendiri saja, saya cukup menangkap maksud yang hendak disampaikan si pembuat cerita. Yap, rasa toleransi yang tinggi. Tapi itu terserah mereka, sih, yang penting kita tetap menikmati serialnya. Toh yang akan saya bahas bukan soal budayanya, melainkan keseruan si kembar botak bersama kawan sejawatnya yang uwu sekali.

Setiap kali nonton serial Upin & Ipin di TV, pikiran saya langsung mengatakan, “Saya juga dulu seperti mereka. Ah, jadi pengin balik lagi ke masa itu. (((Masa-masa di mana belum punya beban kayak sekarang)))” Meski saya lahir di tahun 2000-an, tapi saat kecil, saya masih sempat merasakan sisa-sisa kebahagiaan sebagai anak desa. Jelas membahagiakan, wong acara nyolong buah di kebun masih lekat banget, kok. Astaghfirullah.

Kenapa saya bilang “sisa-sisa”? Begini, saya bersyukur sekali masih sempat menikmati sisa masa kecil layaknya Upin Ipin sebelum tradisi kebahagiaan itu raib seperti sekarang ini. Melihat realitas sosial budaya anak-anak masa kini yang benar-benar 180 derajat berbanding terbalik dengan apa yang Upin Ipin dan kawan-kawannya lakukan. Nggak ada batu seremban, nggak ada masak-masakan, dan nggak ada main kelereng atau karet-karetan. Mungkin, di beberapa desa, keseruan yang dilakukan anak-anak Kampung Durian Runtuh masih sempat dilakukan juga oleh mereka yang berada di pelosok. Namun, terhitung jari lah yang masih melestarikan tradisi masa kecil itu. Wong lompat tali saja sudah kalah kok sama kabel headset. Gimana mau lestari? Apalagi ada Covid-19 dan sekolah disuruh daring, ya semua pada fokus sama layar ponsel masing-masing.

Sekarang ini, anak-anak kecil di desa—termasuk adik saya yang masih berumur 5 tahun—sudah nggak main masak-masakan yang uwu seperti saya dan Mei-Mei lakukan dulu. Iya, sih, mereka main masak-masakan juga, tapi sudah virtual. Masaknya pakai aplikasi canggih yang bisa panggang roti cuma dua detik langsung matang. Titik menyenangkannya hilang kalau gitu caranya, Dek. Apalah daya saya yang masak tanah dikasih air dan jadilah adonan penuh cokelat yang bikin cacing tambah cacingan. Hehehe.

Dulu, saya main masak-masakan 11-12 dengan permainan yang dimainkan Mei-Mei dan Susanti. Bedanya, saya pakai alat masak asli punya Emak. Dan itulah yang bikin saya kena tausiyah Emak sepanjang sore lantaran wajan dan teflonnya dipenuhi blekok alias lumpur. Yang nggak kalah bikin geger Emak adalah saya yang keluyuran bareng teman-teman ke kebun yang jaraknya jauh dari desa. Demi apa coba? Ya demi ayam-ayaman lah. Kan yang gede-gede ada di kebun, di halaman depan rumah mah nggak ada. Nah, kalau ini beda tipis sama Mei-Mei dan Susanti, soalnya mereka cari bahan masakan nggak jauh-jauh sampai kebun Tok Dalang.

Di beberapa episode Upin & Ipin, Mei-Mei dan Devi memainkan beberapa batu bercorak dengan satu bola sebagai kunci permainan. Mereka menyebutnya batu seremban. Kalau di tempat saya, permainan ini namanya bola bekel atau bekelan. Sistem mainnya sama seperti batu seremban Devi itu. Kita memantulkan bola sambil mengambil bekel saat bola mengudara. Seiring bertambahnya level permainan, kita pun harus membolak-balik bekel tengkurap atau telentang, bahkan sampai miring juga. Agak sulit, tapi kalau sudah ahli kayak saya sih mudah, Mylov.

Parahnya, karena dulu nggak kuat beli bekel, saya dan teman-teman yang ekonominya menengah bawah memilih buat pecahin keramik untuk selanjutnya dibentuk kotak-kotak sebagai ganti bekel. Jadi, uangnya kami pakai untuk beli bola saja. Lah, kok pakai keramik? Iya, soalnya keramik bisa dibolak-balik, kayak hati kamu gitu. Xixixi.

Sekarang ini, saya sudah mulai kesulitan menemukan penjual bola bekel, bahkan penjual mainan pun sudah jarang yang menjual mainan satu ini. Alasannya rata-rata hampir sama, “Bekelan sekarang sudah nggak zaman, Mbak, makanya nggak saya jual, wong nggak laku.” Miris sekali dengarnya, padahal si bekel ini pernah mewarnai masa kecil saya dulu. Huhuhu.

Selain batu seremban, ada juga permainan kelereng dan karet gelangnya Mail. Tahu juga cara memainkan dua benda legend itu? Meski saya cewek, saya pernah tuh merasakan main kelereng, jago malahan. Dulu saya pernah ngumpulin jarahan kelereng dari teman-teman cowok saya hampir stoples. Wqwqwq. Nah, dalam beberapa scene, Upin dan Ipin beserta kawan-kawan sering terlihat memainkan dua benda legend tersebut. Bahkan, mereka nggak jarang berdebat gara-gara letak si karet maupun kelereng yang kadang bikin gumush.

Aih, ketiga permainan itu hari ini mulai luntur dari peredaran mainan anak-anak. Bocil milenial lebih suka main Ludo King daripada main kelereng. Mereka lebih suka kue virtual yang tampilannya menarik ketimbang kue lumpur yang bikin teflon emak belepotan. Nyaris semua bocil zaman now yang punya HP Android canggih memilih main tembak-tembakan virtual daripada pakai karet atau pistol bambu yang pelurunya kertas basah. Hal-hal uwu nan sederhana tapi bikin bahagia yang Upin Ipin dan kawan-kawan lakukan sudah tergantikan oleh hal-hal virtual yang menipu itu. Meresahkan sekali ya, Bund.

Ketahuilah, bocah milenial, makan jambu yang dipetik langsung dari pohonnya dan dimakan seketika adalah kebahagiaan luar biasa yang pernah generasi kami rasakan. Kalian juga nggak pernah tahu gimana ambyarnya perasaan kami saat bekel kami sudah masuk level tersulit, eh, malah mati dan harus ngulang dari awal. Sebuah hal membagongkan yang menyenangkan sekali.

Padahal cuma ngerasain “sisa-sisa” loh, tapi bahagianya nggak terkira. Saya nggak bisa membayangkan gimana senangnya jadi anak-anak zaman dahulu yang masih menjunjung nilai kebersamaan dan kebudayaan mereka. Dan mari bersepakat bahwa di momen-momen tertentu, gambaran bahagia itu sederhana dari masa kecil anak-anak tahun 90-an tertuang dalam beberapa episode serial Upin & Ipin.

Sumber Gambar: YouTube Upin & Ipin

BACA JUGA Upin & Ipin Itu Kembar Dua, Saya Nggak Termasuk Kembaran Mereka, lho!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version