Sebuah pesan masuk di grup WA emak-emak. Isinya sebuah instruksi agar anak-anak membawa setangkai bunga saat prosesi wisuda nanti. Sebagai salah satu warga grup WA tersebut, mau nggak mau saya mesem. Setelah beberapa waktu lalu hunting celana hitam, dasi hitam dan atasan putih buat persiapan wisuda si sulung, sekarang… bunga? Wah, jangan-jangan selanjutnya disuruh bawa 9 bola naga!
Mau heran, tapi gimana? Kenyataannya memang seperti itu, kok. Sejak acara pelepasan dan perpisahan siswa berubah nama jadi wisuda, biayanya pancen membengkak. Mirip es teh yang harganya berubah jadi sepuluh ribu rupiah saat namanya jadi iced tea.
Awalnya, saya memang nggak habis pikir dengan prosesi wisuda di jenjang TK dan bahkan hingga SMA. Like… apa, sih? Nggak penting banget. Pernah pula saya mengamini kekhawatiran jika prosesi wisuda di TK hingga SMA kini bisa membuat wisuda di perguruan tinggi jadi kehilangan gregetnya.
Eh, tapi itu dulu. Sekarang saya sudah memilih berdamai dengan kenyataan. Bahkan saya sudah merasa bahwa wisuda di jenjang TK hingga SMA itu “B aja”. Kenapa?
Pertama, pendidikan sebagai bisnis. Sebagai orang yang juga berkecimpung di dunia pendidikan, saya tahu betapa legitnya bisnis pendidikan. Di dunia pendidikan, semua bisa jadi cuan.
Salah seorang kenalan saya yang 13 tahun lalu membuka sekolah, sekarang sudah tajir melintir. Asetnya di mana-mana. Bahkan blio mulai merambah ke banyak bisnis lain untuk jaga-jaga siapa tahu sekolah yang didirikannya mengalami kolaps.
Lantas, dari mana keran cuannya? Banyak. Salah satunya dari prosesi wisuda (tapi, ini keran cilikan, ya, Bosque). Maka bohong kalau sekolah nggak mengambil untung dari penyelenggaraan wisuda siswanya. Memangnya guru yang terlibat dalam kepanitiaan wisuda cukup diberi ucapan terima kasih saja? Kan nggak gitu~
Kedua, suka seremoni. Entah kenapa, masyarakat kita demen banget dengan yang namanya merayakan sesuatu, bahkan untuk hal sepele apa pun itu. Ada yang kelar sidang skripsi, dirayakan. Ada yang promosi jabatan, juga dirayakan. Bahkan patah hati maupun hari jadi sebulan sama ayang beb juga dirayakan. Wis lah. Pokoke seremonial selalu.
Jadi, masihkah kita perlu merasa heran ketika ada prosesi wisuda di jenjang TK hingga SMA? Buat apa? Simpan energimu, Sobat. Let’s riding the wave.
Ketiga, membuka pintu rezeki bagi orang lain. Kalian yang merasa gedebag-gedebug garap skripsi mungkin merasa jengah melihat adik kalian yang masih TK bisa pakai toga tanpa jalur skripsi. Pun sah-sah saja jika kalian merasa keagungan makna filosofis yang terkandung dalam wisuda jadi (((ternodai))).
Tapi, coba lihat. Prosesi wisuda di TK yang kita anggap wagu banget itu ternyata membuka pintu rezeki bagi banyak orang, lho. Mulai dari tukang rias yang kebanjiran order sampai usaha percetakan yang laris manis menerima pesanan samir. Ah, iya. Jangan lupakan buket-buketan dan boneka wisuda jahanam itu. Printilan-printilan prosesi wisuda yang astaganaga banyaknya itu telah membuat dapur banyak orang kembali ngebul, lho~
Keempat, mengabadikan tiap momen. Bagi orang tua, sekecil apa pun pencapaian yang diraih oleh anak-anaknya, akan selalu melahirkan bulir kebahagiaan. Oleh kakak mahasiswa, lulus TK hingga SMA mungkin dinilai biasa saja. Belum ada apa-apanya dibanding perjuangan mereka di bangku kuliah.
Tapi bagi orang tua, melihat anaknya satu per satu berhasil menyelesaikan pendidikan punya rasa kebahagiaan tersendiri. Kelak, di usia senja para orang tua, foto-foto wisuda anak mereka sedari TK hingga SMA yang tergantung di dinding rumah akan menjadi sesuatu yang menemani mereka bernostalgia.
Gimana? Setuju kan kalau wisuda di TK hingga SMA itu “B aja”? Sudah, nggak usah resah, nggak usah gelisah. Malu sama harga cabai merah, alias mahal amat gilak!!!
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Perbedaan Wisuda di Jepang dan Indonesia.